Minggu, 23 Agustus 2009

masih dalam proses editing...
To be Continued.....

Mars Voyager 1

PROLOG

Sore itu di penghujung musim gugur yang sejuk, lima orang anggota True Friends dan enam orang teman sekelasnya datang ke rumah Russell. Mereka duduk-duduk di depan perapian sambil membicarakan opera Hercules the Kingdom’s Hero yang akan ditampilkan besok di acara pesta kenaikan kelas dan kelulusan siswa Gibson Hills, dengan ditemani semeja penuh makanan ringan.
Rumah cukup sepi. Jack masih sekolah dan ayahnya sedang sibuk mengamati misi Jupiter Bright yang dipimpinnya bersama empat koleganya John Balton, Robert Clark, Gilliant Hopkins, dan James Godart di observatorium.
Enam bulan yang lalu Sir Thomasevich Yuri Fedorovski ditunjuk sebagai pemimpin misi peluncuran pesawat observasi ke planet Jupiter setelah memenangkan persaingan dengan lima kandidat lainnya. Mereka bekerja sama dengannya, kecuali seorang. Orang itu lebih memilih mengundurkan diri dari tim daripada harus bergabung dengan Jupiter Bright. NASA tidak ambil pusing dengan masalah ini selama misi masih bisa berjalan sesuai rencana.
Di antara kesebelas kawannya, hanya Russell yang tampak gelisah. Berkali-kali ia memastikan persiapannya untuk besok telah sempurna dan mondar-mandir mengecek kalendar. Rupanya ia sudah tidak sabar ingin segera berlibur dan mengisinya dengan semua hal yang sangat ia inginkan.
Semua memakluminya. Selama ini Russell sangat memantikan liburan itu. Tapi sebelumnya ia harus berhadapan dulu dengan opera yan menuntutnya untuk bermain maksimal sebagai pemeran utama. Betapa menjengkelkan!
Dua minggu yang lalu ia menggelar jumpa pers ketika sedang melakukan kunjungan ke Aspen. Ia baru saja dinyatakan hampir sembuh dari cedera fatal yang mengakibatkannya koma berbulan-bulan dan terpaksa harus melakukan transplantasi ginjal setelah mengalami kecelakaan ski yang dinilai paling mengerikan dalam satu dasawarsa terakhir.
Dalam jumpa pers itu ia mengumumkan pada publik bahwa ia akan kembali berlaga di padang salju dengan peralatan ski istimewa hadiah dari presiden pada liburan nanti. Ribuan bahkan jutaan penggemarnya di dunia menyambut kabar gembira itu dengan antusias. Sang pemain ski nomor satu dunia termuda akan kembali bermain setelah hampir setahun tidak meramaikan kancah olahraga yang hingar-bingar.
“Kau akan tampil besok, Russell?” tanya ayahnya dari ambang pintu. Russell dan kawan-kawannya menoleh. Sore itu mereka kembali memilih kostum dan mengepak barang yang akan dipakai besok ke dalam carrier 150 liter milik Russell. “Dan kau seperti akan menghabiskan waktumu di McKinley daripada memerankan tokoh Hercules.”
Russell tersenyum. Ayahnya masuk, lalu duduk di depan perapian. Ia tampak kelelahan. Wajahnya berair dan selalu berkerut. Tapi ia berusaha untuk menyembunyikan senua itu di hadapan Russell.
“Ya. Nanti malam kami harus ke sekolah untuk gladi resik. Pertunjukan ini harus benar-benar matang dan membuat semua puas,”jawab Russell. “Kau lelah, Dad? Bagaimana dengan misi Jupitermu?”
Ayahnya tampak melamun. Sesekali desahan napas berat terdengar seperti ada beban pikiran yang mengganjal di kepalanya. Russell bisa membaca keadaan ayahnya sore itu. Mungkin memimpin misi ini tidaklah mudah baginya.
“Entahlah, Russell. Mungkin lusa aku harus ke NASA dan tinggal disana untuk beberapa saat. Kolegaku mengatakan ada seseorang yang berusaha menggagalkan misi ini. Yang kutahu dia adalah salah satu kandidat pemimpin misi yang kalah bersaing denganku. Menurut Godart orang itu adalah Morryse Barkeley yang keluar dari tim. Tapi aku tidak bisa menuduhnya begitu saja meskipun dia tidak mempunyai alibi yang kuat di mata kami.”
“Oh…aku turut prihatin, Dad. Apa yang dia perbuat pada Jupiter Bright? Apakah NASA tahu?”
“Tentu saja. Tapi mereka tidak tahu orang itu Morryse. Di mata publik Morryse adalah wanita yang berkharisma dan menjunjung tinggi misi ini meskipun dia ada di belakang layar. Tapi di depan kami ceritanya lain lagi. Ia pernah kepergok untuk menyabotase misi ini tapi dia mencoba membuat alibi sehingga semuanya menjadi kalang kabut!”
Ayahnya menatap Russell dengan tajam. Russell hanya diam dan kawan-kawannya kembali sibuk dengan tugas masing-masing. Mereka tidak ingin angkat bicara dalam situasi seperti itu.
“Kau tahu, Russell? Kalau misi ini gagal negara akan rugi milyaran dollar! Aku tidak bisa membayangkan kalau itu sampai terjadi. Aku akan menjadi orang yang paling bertanggungjawab kalau Jupiter Bright sampai gagal! Kau pasti bisa membayangkan seperti apa dampaknya padaku dan keluarga kita jika ini sampai gagal.”
“Tak bisa kubayangkan…”
“Ya, akupun begitu. Misi ini sangat berat, Russell. Tapi aku harus berhasil dan sebisa mungkin bertahan dari kendala apapun. NASA dan pemerintah telah membayarku dengan sangat mahal. Aku tidak boleh mengecewakan mereka. Aku harus membuktikan bahwa mereka tidak salah mempercayaiku.”
“Kau tampak kurus, Dad.” Russell simpati.
Ayahnya tersenyum pahit. “Kurasa begitu. Tapi aku tidak mengerti mengapa Dourise bisa semakin gendut.”
Russell menyeringai geli. Lalu menatap ayahnya dengan lembut. Mata birunya tampak berkilat-kilat. Air mata yang tak kuasa ia bendung jatuh membasahi pipinya.
“Aku bangga padamu, Dad. Kurasa mommy dan Jack juga begitu. Aku percaya kau pasti bisa mengemban tugas itu. Kau harus berjuang, Dad…”
Ayahnya memeluk Russell dengan erat. Kesebelas kawannya diam seribu bahasa.




















BAB 1
DUA TAWARAN

“Ehem!” Seseorang berdeham mengejutkan keenam anak True Friends yang baru keluar dari gedung kesenian Sekolah Gibson Hills. Keenam anak itu baru turun dari auditorium setelah menggelar pertunjukan opera Hercules the Kingdom’s Hero. Opera yang mengisahkan seorang ksatria Hercules yang berperang melawan Pluto si Dewa Kegelapan demi mempertahankan kerajaan dan mendapatkan putri kaisar, mampu membuat penonton berdecak kagum. Termasuk orang yang berdeham di belakang mereka.
Mereka serempak menoleh. Seorang pria kira-kira berumur empat puluh tahunan yang bertubuh langsing tersenyum. Ia bermuka lonjong dan berpakaian perlente, nampak ramah dan serius. Orang itu membungkuk di hadapan Russell. “Anda Russell Stanley, Sir?”
Russell mengangguk mantap. “Ya, saya Russell Stanley Fedorovski dan anda jangan menambahkan kata Sir karena itu berkesan aku sudah tua. Ini teman-teman saya Kylle, Justin, Dawson, dan Clarence. Ini Aimee Forsythe, pacar saya.”
Orang itu tersenyum dan menyalaminya. “Hai, senang berkenalan dengan anda, Aimee.”
“Hai, senang bertemu dengan anda, Sir.”
Pria asing itu mengulurkan tangannya ke arah Russell. “Saya Jarvis Northon.Sebuah kehormatan yang besar saya dapat berjumpa dengan anda, Russell Stanley.” Russell mengangguk-angguk dengan mata agak dipincingkan. Itu kebiasaannya kalau bertemu dengan orang asing dan mencoba berlagak sok menyelidik.
“Oh, anda. Saya juga senang bertemu denganmu, Master Jarvis,” kata Russell.
“Ehem!” Jarvis berdeham kembali. “Sejujurnya saya kagum dengan akting kalian dlam pertunjukan opera tadi. Khususnya anda, Russell. Anda memerankan tokoh Hercules dengan sangat brilian! Tapi sayang tubuh anda terlalu…”
“Gendut, maksudmu? Berani sekali anda bicara begitu padaku. Kalau tidak ada hal penting yang aka disampaikan, aku akan pergi!” Russell benar-benar merasa tersinggung dengan ucapan orang itu. Ia lantas melangkah hendak pergi jauh-jauh dari sana.
“Tunggu dulu, Russell. Saya tidak bermaksud menyinggung anda. Saya tidak pernah mengatakan anda gendut, bukan?” cegah Jarvis. Russell memutar langkah. Dengan malas ia berdiri di hadapan orang tiu dengan sikap yang menantang. Ia sudah merasa sebal menghadapai orang yang baru dikenal itu yang sepertinya gemar melakukan pembicaraan yang bertele-tele.
Lalu entah dari arah amana seorang wanita muda berpenampilan menor dan berambut pirang seperti rambut boneka muncul dan menabrak Jarvis. Wanita itu terkesiap, memandang Jarvis dengan ketakutan. Isi tas besarnya berhamburan ke jalan.
“Maaf,”kata wanita itu.
Jarvis tersenyum dan mengedipkan matanya dengan genit. Sekilas ia melihat wajah cantiknya yang terhalangai rambutnya. Dengan tergesa-gesa wanita itu membenahi barang-barangnya. Sesekali ia menatap Jarvis seakan memohon bantuannya. Tetapi sepertinya Jarvis tidak mengerti arti tatapan itu.
Wanita itu menggerutu. Secepat kilat ia berlari melewati anak-anak True Friends yang memperhatikannya, dengan rambut menutupi wajahnya. Wanita itu memakai cardigan wool panjang, celana jens putih, sepatu berhak pendek dengan ujung lancip, dan di tangannya terdapat sebuah tustel.
Jarvis mengangkat bahunya dan berseru memanggil wanita itu. “Nona, tunggu!” Tetapi wanita muda itu tidak menghiraukan Jarvis, malah mempercepat larinya. Di depan gerbang sekolah ia masuk ke mobil sedan Mazda hitam yang diparkir tak jauh dari mobil para undangan dan mengemudikannya sampai hilang di balik bukit.
Mereka mengangkat bahunya. “Hm, kurasa wanita itu diburu sesuatu yang membuat larinya secepat kijang. Bagaimana kalau dia kuberi nama Nona Gesit, karena begitu terburu-buru?” kata Justin.
“Ide yang bagus,” komentar Jarvis. “Di jalan tidak enak, anak-anak.”
Mereka menyingkir dari jalan.dan duduk-duduk di bangku taman. Dari dalam auditorium orang berduyun-duyun keluar. Tak selang lama mereka sudah memenuhi jalan, berdesak-desakan memburu jalan keluar seolah hanya memiliki sedikit waktu.
“Apa yang hendak anda bicarakan pada kami, Jarvis?” tanya Russell dengan sikap yang mulai ramah. Kakinya ditumpangkan dengan santai seolah orang yang dihadapinya sudah tidak asing lagi baginya.
“Begini, Russell,”katanya dengan nada yang lebih serius. “Saya seorang produser film dan kebetulan saya bekerja disini.”
Selembar kartu nama berkertas mengkilap ditunjukkan pada Russell. Di kartu itu tertera nama sebuah perusahaan film, alamat, dan gambar beruang coklat meringis.
THE ROLLAND STUDIOS COMPANY
New York-Amerika Serikat
“Skier and Detective-Bagian ke-1”
“The Lost Grizzly”
Sutradara: AZ. Rouze
Produser: Jarvis Northon
Russell dan teman-temannya membaca kartu itu dengan seksama. Ia mengangguk-angguk lalu mengembalikannya pada Jarvis.
“Wah gaya, man! Kita ditawari main film. Kita akan terkenal sampai ke pelosok dunia, bahkan sampai ke bulan,”kata Justin berdecak kagum. “Siapa tahu ada makhluk pribumi yang kenal dengan kita. Kalau aku jadi astronot kelak, aku ingin terbang ke bulan. Semoga saja ada makhluk bulan yang amu menyediakan penginapan garatis untuk sang superstar Justin McLarson!”
“Kurasa mereka tidak akan asing denganmu karena kau memang salah satu anggota populasi dari mereka, hi…hi…hi…,” kata Aimee, disambut tawa sedap Jarvis dan anak-anak True Friends.
“Ya,ya,ya. Dugaan Justin memang benar. Saya datang jauh-jauh dari NY ke Kalifornia untuk mencari orang yang benar-benar memenuhi syarat untuk masuk dunia entertainment. Dan kurasa kalainlah orang yang kumaksud. Demi Tuhan, Russell. Kau memerankan Hercules dengan sangat brilian!” Russell hanya tersenyum.
“Anda datang dari NY?”tanya Kylle hampir tak percaya.
Jarvis mengangguk. “Ya, Kylle. “Saya datang untuk mencari orang yang akan menjadi bintang flm Sir Rouze.”
“Kenapa anda datang jauh-jauh ke Gibson Hills? Bukankah disana masih banyak orang yang berbakat akting? Atau anda dapat pergi ke Hollywood, misalnya?” tanya Dawson menyelidik
“Ehm, begini. Saya datang kesini karena em…ah, karena Gibson Hills adalah sekolah yang sangat populer. Instingku sebagai orang film menduga disini terdapat banyak bintang. Bukan begitu, hm? Kalian bersedia?” tanya Jarvis. Dawson tersenyum riang mendengar perkataan Jarvis. Dari kecil ia berangan-angan menjadi seorang bintang film. Tapi niat itu sampai sekarang belum kesampaian.
“Kalian bersedia?” tanyanya lagi. Mereka saling pandang dan berbisik-bisik satu sama lainnya.
“Anda jangan terburu-buru, Jarvis. Kami sedang memikirkannya,” sahut Russell. “Oh ya, apakah film ini film seri, Northon?”
“Ya. Ini Film seri. Baiklah, kurasa kalian harus tahu seperti apa isi cerita dari film ini. Film ini menceritakan tentang sekelompok detektif remaja yang ditugaskan oleh kepolisian Amerika Serikat untuk menyelidiki kasus penyelundupan dan perburuan liar beruang grizzly di Alaska. Sekelompok orang tak dikenal berhasil menyelundupkan beruang grizzly dari sebuah suaka alam di Alaska dengan cara pembiusan. Dengan jejak sepatu mereka, detektif-detektif muda itu berhasil melacak sarang mereka,” jelas Jarvis.
“Jadi gambar beruang meringis itu simbol dari film anda?” tebak Justin.
“Ya, Justin. Kau benar. Beruang meringis itu menandakan kesedihan mereka. Kira-kira seperti itu, True Friends.”
Mereka mengangguk-angguk. Dari sikap mereka Jarvis dapat melihat anak itu mulai bersikap ramah dan menurutnya tawarannya akan diterima.
“Aku yakin film ini bercerita tentang sekelompok pemain ski handal yang juga bekerja sebagai detektif dari sebuah biro penyelidikan. Aku tahu dari kalimat Skier and Detective. Bukankah begitu?”tanya Russell.
“Ya. Anda tertarik, Russell?” tanyanya memastikan.
“Tentunya dengan kejar-kejaran sama penjahatnya, bukan?”tanya Russell bersemangat.
“Ya, dengan ski. Kurasa kau sangat cocok memerankan tokoh utama sebagai Neptune Bracksley, penyelidik utama dari Agen Rahasia Nept. Kau tidak hanya berakting sebagai seorang aktor. Tapi saya dan sutradara AZ. Rouze menginginkan anda bermain seperti yang anda lakukan dalam kompetisi ski dunia.”
“Anda tidak ragu dengan kemampuan kami yang terbatas ini, Sir?”tanya Clarence merendah.
“Tidak. Kebolehan kalian dalam berakting sungguh luar biasa. Bagaimana, kalian bersedia?” tanya Jarvis untuk yang kesekian kalinya. Rupanya ia mulai merasa jengkel dengan anak-anak itu yang diperhatikannya semakin semangat untuk bertanya. Juga ia tidak sabar ingin cepat-cepat tahu jawabannya dari para calon bintang di hadapannya.
Russell mengangkat alisnya. Kelima temannya dipandanginya satu persatu. Mereka mengangguk sebagai tanda persetujuan.
“Kami mau. Ini tentu akan menjadi pengalaman yang menarik bagi kami. Sejarah yang berkesan bagi klub persahabatan True Friends,” kata Clarence.
“Daddy akan senang mendengarnya. Anda tahu Sir, Daddy seorang seniman yang sangat menghargai segala bentuk kesenian,” kata Kylle.
“Ya, Aku sempat mengenal George Wattson Kylle ketika melihat pameran lukisan Carollaus Quentyne Shandrini di Gorki Street Rusia,” kata Jarvis. “Jangan khawatir, anak-anak. Kami akan memberi kalaian peran yang penting dan honor yang menggiurkan.”
“Baiklah kalau begitu. Kalau anda memang berminat, kami selalu siaga 24 jam. Kecuali kalau kami tertidur nyenyak,” kata Russell dengan kartu nama yang lebih mengkilap terselip di antara telunjuk dan ibu jarinya. Lalu Jarvis membacanya.
“TRUE FRIENDS”

Sahabat Sejati Terbaik di dunia
“Kami akan datang ketika kau membutuhkan kami”
1.Russell Stanley Fedorovski………………………..Pemimpin klub
2. Aimee C. Forsythe………………………………Pemimpin kedua
3. Justin McLarson……………………………….....Data dan Arsip
4. Dawson Handsley Richardson………………………….Keuangan
5. Kylle Aniston……………………………….…Perencana program 6. Clarence Sheldon rogerry……………………..…Pengatur rencana

“Wow! Aku terkesan dengan simbol telepon di kartu nama kalian. Apa artinya, Russell?”tanya Jarvis.
“Itu tandanya kalau orang memnutuhkan kami, tinggal menghubungi klub ini. Seperti motto klub kami, kami akan datang ketika kau membutuhkan kami,” jelas Russell. “Anda juga bisa menghubungi salah satu dari kami atau markas rahasia melalui telepon, alamat, atau apa saja yang tercantum di kartu itu.”
Jarvis membolak-balik sehelai kertas licin itu. Setelah diteliti ternyata tidak ada yang dapat dihubungi. “Aneh. Tidak ada apa-apa.” Jarvis nampak kebingungan. Kartu itu ditepuk-tepuk seolah penasaran ingin melihat ada benda apa di dalamnya.
Keenam anak True Friends yang terkenal paling kocak seseantero sekolah itu terbahak. Betapa bodohnya Jarvis di mata mereka.
Russell merebut kartu nama klubnya tanpa permisi. Dengan menerawang kartunya pada sinar matahari ia dapat membaca tulisan bayangan dari balik kertas yang berisi alamat anak-anak True Friends. Kemudian Jarvis meniru apa yang dilakukan Russell setelah kartu itu kembali diberikan Russell padanya.
Jarvis menggeleng takjub. “Canggih. Kalian memang berselera tinggi. Bukan hanya agen rahasia saja yang punya identitas tersembunyi. Tapi sekarang klub kalian juga punya hal yang seperti itu.”
“Ya, begitulah. Kami sekelompok detektif, Jarvis. Sebagai buktinya kami pernah meringkus seorang koruptor baru di sekolah kami. Kasihan, padahal dia baru beraksi pada waktu itu,”kata Russell.
Jarvis melihat arlojinya. Waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. “Saya harus kembali.Kalau kalian tertarik, kalian bisa menghubungi kami di alamat ini,” kata Jarvis seraya memberikan kartu nama yang baru pada Justin. Mereka membacanya lalu kartu itu dimasukkannya ke saku celana Justin.
“Pine House Kalifornia? Katanya anda orang NY!” gerutu Russell setelah membaca kartu itu.
“Itu alamat vila teman saya. Kebetulan saya menginap disana selama berkunjung kesini. Saya datang kesini bersama Sir Rouze bersama calon istrinya, Gyordine Claire sekalian menikmati keindahan alam disini. Dia sangat mencintai kekasihnya karena Claire mirip dengan Zerelda Ferrel, istrinya yany meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat airbus di Bermuda saat berlibur dengan anak laki-lakinya. Ah, sudahlah,” kata Jarvis akhirnya setelah melihat mereka termenung.
“Kalau kalian mau lusa saya akan menjemput kalian di rumah Russell untuk berlibur di Pine House. Kalian akan kuajak menjelajah ke hutan, piknik ke danau Tahoe, dan bermain ski di Squaw Valley kalau salju sudah turun. Aku ingin melihat Russell bermain dengan peluncur istimewanya. Bukankah kau akan bermain perdana pada liburan nanti, Russell?”
“Oh, tentu. Anda sudah tahu rupanya. Ya, aku akan bermain bersama anda. Kebetulan aku bermain bersama tokoh-tokoh perfilman yang hebat sepertimu. Tenang saja. Cederaku sudah sembuh. Dokterku tidak akan khawatir kalau aku mencoba ngebut lagi dan sekiranya tidak akan membuatku koma berbulan-bulan seperti tahun kemarin.”
“Kami akan berlibur bersama anda. Kami sangat senang dengan tawaran anda, Sir,” kata Clarence, disambut sorak sorai kawan-kawannya yang sama-sama penggila liburan.
“Lusa saya akan menjemput kalian ke rumah Russell. Aku tahu Evergreen Hills itu dimana.”
“Jangan khawatir. Besok kami akan memberi keputusan. Tunggu saja telepon dari kami,” kata Aimee.
Jarvis melenggang dengan santai menuju ke tempat parkir setelah mengucapkan terimakasih pada mereka. Di jajaran paling depan ia masuk ke sebuah Rolls-Royce hitam bermodel antik. Semenit kemudian mobilnya melaju ke luar gerbang dengan diikuti ratusan mata yang berdecak kagum.
* * *
Enam orang anak True Friends berjalan ke tempat parkir mobil hendak menemui orang tuanya Russell.
Russell Stanley Fedorovski adalah pemimpin utama klub yang terkenal anak paling kocak dan paling banyak akalnya, tetapi kau jangan coba-coba mempermainkannya karena dia akan bersikap judes padamu seumur hidup! Ia seorang pemain ski muda yang pernah memperoleh medali emas dalam kompetisi ski dunia dan dibanggakan Amerika. Tetapi ia tidak pernah menyombongkan prestasinya yang luar biasa itu. Ia akan bergaul dengan siapa saja asalkna orang itu mau berteman dengannya. Walaupun ia suka bercanda terkadang Russell akan menjadi pemarah kalau ada orang yang menyebutnya gendut. Ia menjadi seperti itu setelah menjalani operasinya beberapa bulan yang lalu. Entah mengapa ia jadi mempunyai napsu makan yang tinggi. Pipi tembem, tubuh jangkung yang gempal, dan mulut yang selalu terisi makanan seolah merubah penampilan fisiknya. Tetapi Aimee menyukai Russell yang rakus daripada Russell yang susah makan.
Aimee adalah gadis Inggris yang cantik dan paling nomor satu dalam urusan makanan, juga sangat pintar. Dulunya ia lulusan kedua terbaik di sekolah terfavorit di Inggris dan sekarang ia memperoleh peringkat kedua setelah Justin McLarson di Gibson Hills.
Sedangkan Justin McLarson kebalikannya dari Russell. Ia memiliki tubuh tinggi kurus, berambut ikal
pirang, dan berkacamata minus 12. Kelebihan dari anak yang satu ini otaknya yang brilian seperti komputer pentium 4! Tidaklah heran kalau ia pernah menjuarai olimpiade matematika tingkat internasional. Ia paling suka mengotak-atik angaka-angka rumit. Apabila ada ulangan atau tugas yang rumut, ia selalu menjadi sasaran teman-teman sekelasnya sebagai tempat bertanya. Di klub ini ia memiliki kedudukan penting sebagai pengurus arsip-arsip kegiatan kulub.
Dalam bidang kerjanya Justin dibantu oleh Dawson yang mengurus keuangan klub. Dawson adalah satu-satunya anak yang berkulit coklat. Ia keturunan ayah yang ber-ras Negroid dan ibu yang berkulit putih, atau disebut juga dengan orang Mulatto. Ia memiliki bibir yang tebal dan kaki panjang yang tangkas. Dengan kakinya ia menjadi seorang pemanjat tebing handal dan sering diandalkan teman-temannya dalam urusan panjat-memanjat.
Sedangkan Kylle dan Clarence adalah gadis-gadis cantik yang keduanya berasal dari Long Beach. Kedua gadis itu juga mempunyai kedudukan penting sebagai pengatur rencana klub.
Selain klub persahabatan, sekelompok anak remaja enam belasan ini juga merupakan sebuah biro penyelidikan. Mereka sudah terbiasa memecahkan kasus termudah sampai kasus yang membingungkan walaupun terkadang mereka sering mengacaukan kasus yang sedang diselidiki detektif lain. Klub ini mempunyai empat markas besar dan sangat rahasia. Keempat markas itu bernama Pondok Tikus, Markas Planet Berisik, Chomolungma, dan Rumah Gorila Gila.
Pondok Tikus merupakan sebuah markas rahasia yang terletak di ruang bawah tanah rumah Maddox Preston, pelatih ski dan kawan akrab True Friends yang tinggal di Alpineverst. Pada mulanya ruang bawah tanah itu belum ditemukan dan tidak pernah ditemukan olehnya. Maddox tahu di rumahnya ada ruang bawah tanah tetapi ia tidak pernah tahu dimana jalan masuknya, sehingga pada suatu hari True Friends bersedia untuk mencarinya. Setelah berhasil ditemukan, secara diam-diam mereka menggunakannya untuk markas rahasia dan sampai saat ini Maddox belum tahu mereka telah menemukannya. Hanya saja pada hari-hari tertentu Maddox selalu ditakuti oleh suara berisik di bawah. Itulah suara gaib anak-anak True Friends. Tetapi kini markas itu tidak pernah dipakai lagi karena tempatnya sangat kotor. True Friends memindahkan markas rahasianya ke salah satu kamar di Alpineverest, klub ski yang dikelola Maddox, Russell, dan Stanley, sepupunya Russell. Markas itu diberi nama Chomolungma.
Markas Planet Berisik terletak di belakang peneropongan bintang yang terletak di bukit sampaing rumah Russell. Markas itu berupa sebuah ruangan yang tidak terlalu besar yang terletak di dekat kamar arsip ayahnya Russell. Lagi, ruangan itu terlupakan! Sebelum keluarga Fedorovski pindah dari Florida ke rumah yang lengkap dengan observatoriumnya di Kalifornia, tempat itu pernah dimasuki kawanan pencuri yang akan menggondol teleskop dan alat-alat canggih lainnya dengan cara mendobrak pintu di samping kamar arsip dan memecahkan kaca jendela di ruang foto. Oleh Russell jendela bolong itu ditutupi gambar planet Saturnus dan dijadikan tempat keluar masuk dengan cara menggeser gambar penghalang itu ke samping. Seorangpun tidak akan menyangka di balik gambar itu terdapat markas besar yang dilengkapi alat-alat canggih. Bahkan terkadang banyak tamu ayahnya yang masuk kesana hanya bertahan sebentar. Beberapa menit kemudian mereka lari tunggang langgang setelah mendengar suara gaib dari balik gambar planet Saturnus. Itulah suara anak-anak True Friends. Gambar planet di observatorium memang tidak mencolok.
Sedangkan Markas Gorila Gila berupa rumah pohon yang dibangun di atas pohon oak di pinggir danau kecil yang terletak tak jauh dari rumah Justin. Tempat itu cukup untuk menampung enam orang anak sekaligus. Setiap hari Justin selalu menggunakannya sebagai tempat menyepi dan belajar.
* * *
Di tempat parkir orang tuanya Russell menunggu mereka di depan Rolls Royce jenis Phantom keluaran terbaru miliknya. Tampak Pak Thomasevich dan istrinya, Dourise mengobrol dengan seorang pria berperut gendut yang berpakaian setelan jas mahal dan beberapa orang tua siswa. Begitu True Friends muncul mereka menyambutnya dengan gembira. Mereka melakukan tos dengan para orang tua, tapi tidak dengan orang gendut yang masih asing bagi mereka.
“Perkenalkan, True Friends. Ini Sir Jones Edward Maximillian. Dia dari Twentieth Century Fox,” kata Pak Tom. Mereka memperhatikan orang bertubuh gemuk itu dengan pandangan segan. Orang yang bernama Sir Jones memiliki tampang menyeramkan dengan kumis dan cambang yang lebat, dagu gendut yang berlapis dua, dan mata hitam yang setajam mata elang.
“Halo, Sir…,”sapa mereka gugup. Mereka nyengir ngeri tetapi diusakannya untuk bisa tersenyum manis.
“Halo, True Friends,” balas Sir Jones dengan anggukan kepala disusul uluran tangannya. Justin menyalaminya takut-takut, lalu menariknya kembali sebelum orang gendut itu meremas jari-jarinya yang kecil. Ia ngeri bersalaman dengan orang itu. Kalau itu sampai terjadi, mungkin ia akan berurusan dengan dokter ahli tulang.
“True Friends, Sir Jones ingin bicara empat belas mata dengan kalian,” kata Pak Tom. Mereka melongo. Justru hal itulah yang sangat tidak diinginkan mereka.
Tiba-tiba Russell meringis sambil memegangi kepalanya. Tak selang lama ia terjatuh di samping ayahnya. Mereka mendadak panik. Obrolan serius mereka terpaksa ditunda.
“Oh, ya Tuhan! Russell Ski, kau kenapa, Nak?”
Ibunya merangkul Russell dengan perasaan cemas. Wajahnya memucat dan sorot matanya memperlihatkan ketakutan. Dengan langkah gemetar Pak Tom menghampiri Sir Jones, sementara Dourise membaringkan Russell di dalam mobil dan ditemani oleh Aimee dan adiknya Russell, Jack.
“Maaf, Sir. Saya rasa pembicaraan ini lebih baik ditunda dulu. Saya harus membawa Russell ke Rumah sakit. Saya takut terjadi sesuatu yang buruk pada putraku. Saya mohon maaf, Sir.”
Sir Jones menepuk pundaknya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sir Thomas. Jangan khawatir. Keselamatan Russell sangat penting.” Pak Tom mengangguk-angguk sebagai tanda terima kasih.
“Saya juga terburu-buru, Sir. Saya sampai lupa sekarang ada meeting. Oh ya, True Friends…”
Mereka terperanjat dan jadi salah tingkah. “Ya, Sir…,” sahutnya dengan suara gemetar.
“Saya membutuhkan kalian unuk bermain dalam film action terbaruku. Apakah kalian bersedia?”
Mereka saling pandang dan bergidik ngeri, tapi tidak sampai ketahuan Sir Jones. “Ngg…akan…kami…pikirkan dulu…Sir…,” jawab Justin terbata-bata. Saking gugupnya tiba-tiba ia merasakan kakinya bergetar hebat. Rangsangan ingin kencing seketika menyerangnya. Dengan susah payah anak ceking itu menahan kencingnya supaya tidak keluar dulu.
Orang tua dan True Friends berpamitan. Mereka mengerti Pak Tom sedang terburu-buru. Mereka berjanji akan berkumpul beberapa hari lagi di rumahnya untuk mengobrol dan makan-makan yang telah menjadi agenda rutinnya di setiap akhir tahun ajaran.
Dengan tergesa-gesa Pak Tom mengeluarkan kunci mobil dari saku jasnya, sementara istrinya duduk di samping kanan Pak Tom yang aka mengemudi.
Pak Thomasevich Yuri Fedorovski adalah orang Rusia yang menjadi warga negara Amerika. Ia seorang ahli antariksa yang handal dan selalu dipercaya untuk memimpin misi-misi penting yang dilakukan NASA. Ia memiliki tubuh tinggi kekar dan penuh kharisma. Ia ayah yang baik. Sesibuk apapun, dia selalu dapat meluangkan waktunya untuk berkumpul dengan keluarga.
Sedangkan Dourise de Cardenaz seorang keturunan Prancis yang bertubuh tinggi besar, humoris, penyayang, dan tukang ngatur. Tidak ada kata lain apabila melihat anak-anaknya pelang terlalu sore, ‘cepat naik ke atas, mandi yang bersih, ganti baju yang rapi, lalu kerjakan PR-mu!’ Seorang pun tidak akan bisa lolos dari pengawasannya.
“Aimee, bagaimana dengan Russell sekarang? Dioa sudah sadar?” tanya Pak Tom yang sesekali menengok ke belakang untuk melihat kondidi anaknya.
“Belum.”
Tak selang lama kemudian Russell terbangun, lalu terbahak. Nadanya begitu sedap. Orang-orang yang ada di dalam mobil menatapnya lekat-lekat dengan pandanga penuh pertanyaan.
“Akting yang bagus, bukan?” tanya Russell di sela tawanya. Dengan spontan Pak Tom menghentikan mobilnya. Bannya mendecit karena direm mendadak dan menimbulkan kemacetan di belakangnya.
“Apa maksudnya dengan akting yang bagus, Russell Stanley?”
Russell nyengir kuda. “Hi…hi…hi…Ehem! Begini, Daddy,” katanya dengan lagak sok serius. Tak lupa kakinya ditumpangkan dengan santai.
“Sir Jones itu sangat menyeramkan. Aku tidak sanggup bicara dengannya. Dia seperti akan menelanku hidup-hidup seperti orang yang memakan sushi dengan ikan yang masih bernapas! Bayangkanlah Dad, bagaimana reaksimu kalau kau yang menjadi ikannya? Apakah kau akan menggigit lidah orang yang akan memakannya atau pura-pura mati? Aku kasihan pada Justin yang seperti mau ngompol. Kayaknya dia lupa waktu itu dia sedang ada di luar kamar mandi.”
“Entahlah, Russell. Aku belum pernah merasa seperti ikan. Aktingmu memang sangat bagus, tapi kau membuatku ketakutan setengah mati!”
“Yang penting tidak sungguhan, bukan? Oh ya, siapa itu Sir Jones?”
Pak Tom menengok ke belakang lalu kembali mengemudikan mobilnya setelah terdengar bunyi klakson yang bernada memaki. “Oh, kau membuat macet, Tom. Untunglah tidak ada polisi di jalan ini,” kata Dourise.
“Sir Jones seorang produser. Dia menawarimu untuk bermain dalam film terbarunya. Dia produser yang hebat. Dia sudah membuat lebih dari sebelas film bersama sutradara terkenal Sir Greg Stephenson dan hampir semua filmnya berhasil menyabet piala Oscar. Oh ya, tadi aku melihatmu ngobrol dengan seseorang. Sipa dia? Kurasa aku belum pernah melihatnya,” tanyanya serius.
“Dia Jarvis Northon. Dia produser dari The Rolland Studios Company NY. Kami akan bermain dalam film detektif. Aku sendiri akan dijadikan sebagai pemeran utama.”
“Orang NY? Hm, 99904. Tapi nomor polisi mobilnya menunjukan bukan orang Manhattan. Dia orang Kalifornia,”kata ayahnya penuh curiga.
“Entahlah. Selama Jarvis ada disini dia tinggal di Pine House, villa temannya. Kurasa dia menyewa mobil itu disini karena tidak mungkin dia membawa mobil dari NY. Aku kurang senang kalau gaya bicaramu seperti seorang detektif sungguhan. Memangnya seperti apa filmnya Sir Jones?”
“Film itu berjudul Cross Country yang mengisahkan seorang pemain ski nomor satu dunia, Sean Jefferson yang berpetualang melintasi pegunungan es yang ekstrim bersama keenam kawannya dalam pertandingan ski lintas alam yang diselenggarakan selama sepekan. Sean adalah satu-satunya saksi mata peristiwa pengeboman gunung salju yang tahu siapa pelakunya. Dalam pertandingan itu Sean dan temannya terus diteror oleh sekomplotan teroris target buruan nomor satu Amerika yang menyamar sebagai peserta lomba. Dia akan membunuh Sean. Film ini memang penuh teror, tetapi disajikan dengan penuh komedi. Terutama tokoh Sean yang kocak dan banyak akalnya untuk menjebak teroris itu dengan cara yang membuat penonton tertawa. Tadi aku sempat membaca skenarionya sekilas dan berhasil membuatku terhanyut.
“Dan perlu kau ketahui, kau akan berperan sebagai tokoh Sean! Ketahuilah, Sir Jones telah berkeliling dunia mencari orang untuk berperan dalam filmnya. Tapi tak ada satupun yang cocok untuk berperan sebagai Sean. Satu-satunya jalan terakhir adalah dengan memilihmu, sayang. Kau adalah ikon ski yang paling berpengaruh. Dengan memilihmu sebagai tokoh Sean, film itu akan menarik perhatian dunia.”
“Peran itu sangat baik untukmu, Russell. Banyak orang yang mendambakan ingin bermain dalam filmnya meskipun hanya menjadi peran pengganti. Kau akan bermain dengan aktor muda Henry Rogers. Begitu pula dengan True Friends. Mereka akan ikut bersamamu. Sir Jones menilai mereka punya bakat istimewa. Secara tidak sengaja dia pernah melihat kau dan temanmu bermain teater di panggung-panggung. Katanya kalian sangat brilian!” kata ibunya.
“Tapi kami sudah terlanjur janji dengan Jarvis mengenai film pertamanya Sir AZ. Rouze. Aku bingung. Nanti kupikirkan lagi keputusan mana yang paling baik. Mungkin minggu depan,” kata Russell.
“Baiklah,” kata ayahnya.
Mobil mereka berbelok ke sebuah kompleks perumahan eksklusif yang terletak di sebuah bukit yang terkenal dengan nama Evergreen Hills. Jutawan-jutawan intelek seperti Pak Tom banyak yang tinggal disana.
Rumah Pak Tom yang paling mewah di Evergreen Hills berdiri di bukit tertinggi yang terpisah dari rumah-rumah lain. Hal ini disengaja agar observatoriumnya tidak terkontaminasi oleh polusi cahaya yang dapat mengganggu proses penelitian ruang angkasa.
Rumah itu terkenal dengan sebutan Laugh House karena penghuninya selalu tertawa. Seluruh halamannya ditata oleh ahli taman profesional dan sangat semarak. Di sampingnya terdapat rumah mungil yang dibatasi pagar besi setinggi enam kaki yang tak kalah indah dengan rumah utama. Tukang kebun dan pembantunya tinggal di rumah itu.
“Fiuh! Tiga minggu ini aku akan menikmati udara bebas!” kata Russell sambil menggeliat malas di kursi mobil.
“Aku juga libur. Aku hanya menunggu hasil penelitian Jupiter Bright di rumah. Tapi minggu ini aku harus ke NASA. Mungkin aku akan tinggal disana selama beberapa hari.”
“Hm, kurasa itu definisi yang salah untuk menyatakan libur,” komentar Russell.
“Ya, kau benar. Sekarang kita masuk dan bersiap-siaplah,”kata Pak Tom.
“Ada rencana lain, Dad?” tanya Jack.
“Ya. Di sekolahmu kau mendapat peringkat pertama, Russell peringkat tujuh, dan Aimee menjadi kedua terbaik. Itu bagus. Kita harus merayakannya. Tapi sayang Justin tidak hadir. Padahal dia juara kelas. Aku akan mengajak kalian ke pantai. Kita akan menikmati senja dan makan malam disana.”
Mereka bersorak gembira. “Aku mau!”
“Wow! Ini sangat menarik. Aku ingin menikmati suasana Pasifik,” kata Nyonya Meggy, ibunya Aimee.
“Ya. Bersama calon keluarga. Aku dan Aimee sudah pacaran selama dua tahun. Anda sudah tahu sebelumnya, bukan? Kurasa ini juga perlu dirayakan,” kata Russell.
“Ah, yes! Aku menyukaimu, my good man,” kata ayahnya Aimee.
“Oh, hari yang indah, Dadda,” kata Aimee dengan manja. Lalu dipeluknya ayahnya dengan erat.

























BAB 2
TAMU TAK DISANGKA

Hari Sabtu sore keluarga Fedorovski dan keluarga Forsythe menghabiskan waktu di pantai Pasifik. Disana mereka berlayar dengan jetski, makan malam di bungalow, dan nonton film sampai tengah malam. Pada pukul tiga dini hari mereka pulang dengan perasaan puas. Mereka baru tertidur setelah jam berdentang empat kali. Mereka terbangun pada pukul delapan pagi dan langsung mengantar keluarga Aimee ke bandara. Mereka bermaksud pulang ke London karena ada urusan bisnis dengan seorang pengusaha di Inggris. Mereka diantar oleh orang tua Russell dan Jack, tetapi Russell tidak ikut. Ia tertidur sangat pulas sehingga mereka tidak berani membangunkannya.
“Russell, kau belum bangun, sayang?” tanya ayahnya sepulang dari bandara. Di tangannya terdapat sebuah nampan yang berisi menu sarapan pagi, bistik daging, salad, puding, susu, buah-buahan, dan beberapa potong sosis. Ia sengaja membawakannya sarapan karena dari pagi tadi Russell belum turun ke ruang makan.
Pak Tom tersenyum melihat anaknya yang masih terlelap. Lalu ia menyimpan nampannya di meja dan duduk di samping tempat tidurnya.
“Russell, bangunlah, sayang. Aku bawakan kamu makanan kesukaanmu,” katanya sambil menepuk-nepuk punggungnya.
Russell menggeliat malas sambil menggerutu. Matanya tampak berat dan memerah. “Ada apa, Dad?” tanyanya dengan suara yang serak.
“Aku kira selama ke bandara kau sudah bangun dan sarapan. Tapi makanan di meja masih utuh seperti tadi,” jawabnya seranya mengambil nampan di meja. “Kau tidak boleh telat mekan. Itu sangat tidak baik untuk kesehatanmu.”
“Aku ngantuk, Dad.”
“Baiklah, sekarang kamu makan. Ini sangat enak. Biar aku yang menyuapimu.”
Russell membiarkan ayahnya menyuapinya. Walau usianya hampir enam belas tahun, ia masih suka disuapi.
“Enak?” tanya ayahnya.
“Ya. Masakan buatan mommy pasti selalu enak.
“Meskipun gembrot Dourise sangat menarik. Dia bisa merancang gaun yang indah, menyanyi, memijat, pengetahuannya luas, dan makanan buatannya benar-benar sempurna. Tapi dia sangat cerewet dan tidak mau mengaku gendut,” kata ayahnya.
“Kau benar, Dad. Aku bangga punya ibu yang luar biasa seperti mommy.”
Dari ambang pintu muncul Aimee, Jack, dan ibunya. Mereka melempar seulas senyum.
“Hai, lihatlah Russell, Aimee! Dia disuapi Daddy!” Aimee tersenyum geli. Seketika wajah Russell memerah.
“Dasar pengiri! Kau mau apa kemari, Jack?” tanya Russell ketus.
“Marah cepat keriput, Russell Ski,” jawabnya kalem. Dengan lincah ia melompat-lompat ke tempat tidur Russell. Disana ia bermanja-manja di samping kakaknya. Tapi dengan cepat ia menghindar. Bau ketiak Russell telah berhasil mengusirnya.
“Aku belum mandi, Jack. Tapi anggaplah ini sebagai pengganti parfum Chanel no.5. Kau menyukainya, Jack?”
Jack bergidik jijik. “Seleraku tidak serendah itu, Russell!”
Mereka terbahak. Suasana kamar menjadi hangat. Keluarga Fedorovski selalu riang dan bahagia walaupun terkadang banyak masalah besar yang menghantui mereka.
Russell sangat beruntung dilahirkan dari keluarga Fedorovski. Tapi sepupunya, Stanley tidak seberuntung Russell. Ia dilahirkan di tengah keluarga yang kacau. Ketika berusia lima tahun ibunya meninggal dunia di saat ayahnya sakit keras. Setelah ia besar semua keuangannya diblokir Zhenya, kakaknya dan hidupnya tidak bahagia. Pak Tom memutuskan untuk mengadopsinya setelah Zhenya berubah menjadi pengacau keluarga yang sangat dibenci Fedorovski manapun.
Tiba-tiba dari araj pintu muncul seekor anjing golden retriever yang besar. Ia melompat ke tempat tidur dan menjilati pipi Russell dengan lembut. Russell melepaskan jilatannya setelah terasa geli.
“Ada apa, Dexter? Mana lima belas kawanmu?” tanya Russell. Dexter menyalak dengan mata tertuju ke pintu. Russell tahu maksudnya. Di luar sedang ada tamu yang tidak pernah datang sebelumnya.
Dengan terburu-buru mereka menuruni tangga yang berkelok-kelok. Tampak di ruang tamu duduk seorang wanita cantik yang berusia tiga puluh tahunan. Ia tampak melamun dengan mata tertuju ke plafon yang digantungi lampu kristal besar. Wanita itu tidak asing bagi keluarga Fedorovski. Ia memiliki postur tubuh seperti biola, berambut coklat terang, dan berbibir penuh yang seksi. Tubuh tinggi langsingnya dibalut dengan kaus putih yang dipadu dengan cardigan merah dan celana jeans. Tas besar, sepatu mungil, syal biru, dan perhiasannya buatan Rusia. Bahkan sebatang rokok menyala yang terselip di jarinya dibuat di negara yang sama, negara Mikhail Gorbachev!
Pak Tom melihat tamu barunya dengan pandangan kurang senang. AC yang mendinginkan ruang tamu terpaksa dimatikan. Menurutnya wanita itu kampungan dan tidak tahu aturan.
“Sudah lama kau disini, Zhenya Sofia?” tanya Pak Tom dengan ketus. Ternyata tamu Pak Tom yang tidak disangka sebelumnya adalah Zhenya, putri pertama dari kakaknya, Sofia Romanovna Fedorovski. Ia wanita pemabuk dan penghambur kekayaan yang baru saja dibicarakan di kamar Russell. Entah ada angin dari mana tiba-tiba ia muncul seolah ada kepentingan khusus yang mendesak.
Pak Tom menatap Zhenya lekat-lekat. Ia sudah menerka orang itu akan menjawabnya dengan sikap menantang. Tetapi wanita itu malah bersikap sebaliknya. Ia menunduk. Dari balik rambut tang menutupi wajahnya terdengar isak tangis yang memilukan.
Pak Tom dan keluarganya duduk di hadapannya dengan sikap yang acuh tak acuh. “Ada apa kau datang kemari? Apakah kekayaan orang tuamu sudah kau makan semua? Hei, jawab, Zhenya!”
Zhenya semakin memperkeras tangisannya. Gadis pembuat sengsara itu tampak memohon dan mencoba menarik simpati keluarga Fedorovski dengan seolah-olah hidupnya menderita.
“Paman Tom…aku putrinya Sofia…Aku datang padamu karena kau pamanku…dan Fedorovski yang paling baik…,” kata Zhenya diantara isak tangisnya. Jari-jarinya mempermainkan ujung syalnya seolah dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
“Benar, aku paman yang sangat baik. Tapi Sofia tidak pernah mempunyai seorang putri yang sepertimu. Kau hanya seorang anak yang tidak tahu malu dan hanya menebar petaka! Kau tahu, keluarga Fedorovski tidak punya orang serendah kau, Zhenya!”
Zhenya menatap Pak Tom dengan wajah penuh air mata. Ia menggeleng sedih. Di gadapanya ia seperti orang yang paling hina. Walaupun ia bertabiat keras, ia tidak punya keinginan untuk melawan pamannya.
“Aku memang bukan orang yang diharapkan papa dan mama Sofia. Tapi berikan aku kesempatan sekali lagi, Tom…Aku tidak akan menyia-nyiakannya lagi…”
“Kesempatan apa? Apa yang kau inginkan dariku, Zhenya?” tanya Pak Tom dengan suara yang lebih rendah. Marahnya mulai reda setelah Dourise menenangkannya. Sementara itu Russell, Jack, dan Aimee menyimak obrolan mereka dengan bertumpang kaki.
“Aku kesini untuk minta maaf dan mencari Stanley. Mungkin ini terdengar konyol, tapi aku masih menyimpan rasa sayang padanya. Selama ini aku telah menyia-nyiakan adikku yang seharusnya aku jaga dengan baik.” Tangisnya mulai reda setelah Pak Tom bersikap ramah padanya.
“Kau masih menganggap Stanley adikmu?” tanya Pak Tom serius.
“Ya, Tom. Dia adikku. Aku membutuhkan dia. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Stanley dan papa yang tak kunjung sembuh. Keluargaku yang lain sudah terlanjur jauh membenciku. Aku datang kemari karena hanya kaulah yang masih peduli pada kami. Aku bahagia karena Stanley aman bersamamu.
“Aku terpaksa melakukan semua itu karena aku marah pada Tuhan yang telah mengambil mama dan menyakiti papa. Aku merasa kehilangan semua tumpuan hidupku. Tuhan sangat tidak adil padaku, Tom. Mengapa keluargaku yang lain selalu bahagia dan beruntung, sedangkan aku hanya ditimpa kemalangan yang bertubi-tubi. Aku merasa Tuhan memperlakukan hidupku dengan tidak adil!”
“Zhenya, salah besar jika kau menganggap Tuhan tidak adil. Setiap orang pasti pernah mengalami susah sepertimu dan kau pasti memberimu bahagia. Itu semua tergantung bagaimana manusia menyikapinya. Apakah dia akan bersyukur dan tabah, apakah dia akan menghakimi Tuhan.
“Tuhan mengambil Sofia karena Dia menyayangi ibumu. Kalau kamu mengaku sebagai anak Sofia, tidak sepantasnya kau melakukan perbuatan kotor itu demi ibumu. Seharusnya kau doakan dia dan menyayangi keluargamu sebagaimana nasihat ibumu sebelum meninggal. Kau adalah anak tertua di keluargamu. Sudah seharusnya kau mengayomi mereka, menjadi panutan bagi adikmu, dan berdamai dengan Fedorovski yang lain. Bagaimanapun juga kau adalah bagian dari keluarga besar kita. Apapun yang terjadi padamu, kami turut bertanggung jawab. Percayalah Zhenya, ibumu akan bahagia jika melihat putrinya masih mengingat dan menjalankan pesan-pesannya selama dia masih hidup.”
Pak Tom menggenggam tangan Zhenya. Seburuk-buruknya keponakannya ia masih menyayangina. Ia tidak akan membiarkan bagian dari keluarganya tersesat lebih jauh.
“Zhenya, Stanley sudah menikah dengan Snefflestyne Louise dua tahu yang lalu dan sudah dikaruniai seorang putra. Dia pemain ski dan agen FBI.”
“Kevin hampir berusia du tahun. Dia sangat tampan seperti adikmu,” kata Dousrise.
Zhenya tersenyum haru. Ia tidak menyangka sebelumnya, adiknya yang telah berpisah selama bertahun-tahun sudah menikah dan memiliki seorang anak.
“Aku ingin melihatnya, Tom. Dia pasti gendut seperti Russell. Waktu kecil dia sangat mirip dengan Russell. Sekarang entah bagaimana.”
Russell mendongak begitu namanya disebut. Wajahnya merah padam. “Aku memang gendut, Zhenya. Berani sekali kau mengucapkan kata-kata itu di hadapanku! Kau mau aku judes padamu seumur hidup?”
“Maafkan aku, Russell.” Zhenya jadi serba salah. Ia tidak tahu sifat Russell yang sebenarnya. Pak Tom mencolek Russell sebagai tanda ia harus bersikap ramah.
“Kalau kau mau, datanglah ke Palmdale atau ke Alpineverest. Disana dia tinggal dan mengelola klub ski Alpineverest. Stanley sudah bekerja. Ia seorang vulkanolog dan penjelajah yang handal. Tapi dia masih melatih dan bermain ski seperti dulu.”
Pak Tom membuka laci meja telepon yang berisi data keluarganya dan mengaduk-aduknya sampai yang dicarinya ditemukan. Selembar kartu nama diberikannya ke Zhenya.
“Datanglah ke alamat ini. Aku yakin Stanley akan senang melihat kedatanganmu. Oh ya, sejak kapan kau meninggalkan Rusia?”
“Dua bulan yang lalu. Aku ke Amerika bersama tunanganku. Dia seorang pria setengah baya yang penuh daya tarik. Aku bertemu dengan dia ketika aku berkunjung ke pameran lukisan Quentyne di Gorki Street. Dia begitu mencintaiku karena aku mirip dengan mendiang istrinya. Dia Theodore. Ayahku terlihat sangat bahagia saat dia tahu aku akan menikah dengannya.”
“Sekarang dengan siapa dia di Moskow?” tanya Dourise.
“Dia bersama Eilena dan Nikolay.Mereka yang merawat ayahku semenjak dia terserang stroke berat. Kalau ada mereka aku tidak terlalu mengkhawatirkannya. Apakah kamu sering bertemu dengan Stanley, Russell?”
“Ya. Setiap minggu aku selalu datang menemuinya di Alpineverest atau dia sendiri yang datang padaku. Kau bodoh sekali menelantarkan dia. Stanley sangat baik. Kau tahu apa yang dia lakukan padaku saat aku akan mati? Dia mendonorkan satu ginjalnya padaku. Aku sangat menyayanginya, Zhenya. Dia melakukan apa saja untuk membuatku bahagia.”
“Aku memang bodoh, Russell.” Zhenya mulai nyaman ngobrol dengannya walaupun ia agak takut setelah Russell memarahinya dan bersikap judes padanya.
“Selama dua bulan ini kau tinggal dmana? Kenapa kamu bisa tahu rumahku disini?” tanya Russell dengan sikap sok detektif.
“Aku tinggal bersama Theodore di Oakland. Tidak sulit mencari rumahmu. Hampir semua media massa menggembar-gemborka tempat tinggalmu. Oh ya, kemarin aku melihatmu tampil disekolah. Kau memerankan tokoh Hercules dengan sangat brilian.”
“Kau melihatku? Tapi aku tidak melihatmu.”
“Aku menonton di kursi paling belakang. Aku belum siap untuk bertemu kalian pada waktu itu. Oh ya, kemarin aku melihatmu ditanyai orang yang bermobil Rolls Royce. Siapa dia?”
“Memang benar. Dia Jarvis, produser film dari NY. Aku langsung akrab dengan orang itu. Bahkan besok aku akan berlibur ke Pine House dengannya. Aku akan melakukan permainan perdanaku dengan orang itu.”
“Dengan peralatan ski emasmu?” selidik Zhenya. “Aku tahu kau mendapatkan penghargaan itu dari presiden Amerika. Beritanya menyebar sampai ke Rusia.”
“Oh, tentu.”
“Peralatan skimu akan dipinjam oleh Bibi Jersey. Dia menelepon kemarin, katanya akan berlibur disini. Nanti malam dia akan menelepon, langsung ke kamarku,” kata ibunya.
“Tapi kau akan memakai peluncur yang itu, bukan?”tanya Zhenya.
“Tentu saja. Aku tidak mau permainan perdanaku hanya memakai peralatan ski yang biasa.”
“Adikmu ikut ke Pine House?”
“Tentu saja. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian di rumah. Ah, kau cerewet sekali, Zhenya!”
Pembicaraan mereka berlangsung hangat. Tidak ada di antara mereka yang bersikap judes seperti tadi. Tapi pembicaraan mereka terpotong oleh Bibi Kirrin, pembantunya yang membaea enam gelas minuman hangat dan makanan kecil yang masih mengepulkan asap.
“Maaf, tadi saya di belakang. Kebetulan tadi Paltrow memberitahuku ada tamu,”katanya sambil membungkuk di hadapan Pak Tom. Paltrow yang dimaksudnya adalah tukang kebun. Ia seorang pria berusia lima puluh tahun yang tinggal di samping rumah Russell bersama istrinya, Mathilda yang biasa dipanggil Bibi Mathe.
“Russell Ski, ada telepon dari Kylle,” sambungnya.
“Kylle Aniston? Oh! Dia pasti mengabariku tentang piknik besok. Yuk Aimee, kita hubungi dia!”
Russell menyambar gagang telepon yang tergeletak di samping akuarium ruang keluarga. “Hai, Kylle. Kau akan ikut ke Pine House?” tanya Russell dengan gencar.
“Tadi aku menghubungimu lewat ponsel tapi tidak kau angkat.”
“Oh, maaf. Ponselku di kamar. Aku tidak tahu kau menelepon. Aku sedang kedatangan tamu. Zhenya datang, Kylle.”
“Zhenya? Kakaknya Stanley yang memuakkan itu?”
“Ya. Dia datang menceritakan kisah yang bermacam-macam.”
Dari ruang tamu muncul Zhenya dengan tergesa-gesa. Aimee dan Russell menoleh ke arahnya. “Kau mencari apa, Zhenya?” tanya Aimee curiga.
“Aku mau ke kamar mandi,” jawabnya. Aimee mengangguk-angguk.
“Oh. Kamar mandi di belakang sana,” katanya sambil menunjuk ke arah kamar mandi yang terletak di dekat tangga yang menghubungkan ruang makan dengan lantai atas.
Zhenya tersenyum kecil. Tas besarnya bergoyang-goyang saking cepatnya ia berlari. Aimee mengangkat bahunya. “Hm, orang dewasa memang selalu terburu-buru. Aku bisa mengerti dia pasti sudah kebelet. Dia memang mirip dengan Nona Gesit di tempat parkir di sekolah.”
“Kylle ingin bicara denganmu,” kata Russell. Aimee menerima gagang telepon yang diberikan Russell padanya.
“Hai, Kylle. Kau akan ikut besok?”
“Maaf, Aimee. Sepertinya besok aku tidak akan ikut kalian,” jawbnya dengan suara merendah. Aimee mengkerut. Air mukanya berubah menjadi kecewa.
“Kenapa? Huh, kau tega sekali.”
“Selama tiga minggu ini aku akan berlibur ke rumah nenek di Huntington Beah. Maafkan aku, Aimee. Aku tidak bermaksud mengecewakanmu.”
“Hm, padahal liburan di hutan pinus lebih sejuk daripada di pantai. Tapi…kalau memang begitu tidak apa-apa. Aku mengerti masalahmu. Keluarga lebih penting, Kylle. Lagipula kamu jarang ketemu dengan mereka. Mungkin mereka sudah kangen padamu. Aku juga rindu dengan keluargaku di Inggris. Aku bsa merasakannya. Tapi kau akan datang ke acara permainan perdananya Russell?”
“Pasti. Aku tidak akan mengecewakan dia.”
“Bagaimana dengan yang lain? Mereka akan ikut?”
“Justin dan Dawson akan ikut kalian. Tadi mereka menelepon katanya akan kesana sore nanti. Tapi Clarence senasib denganku. Dia akan ke rumah neneknya di Fresno.”
“Oh…”
“Selamat berlibur saja, Aimee. Ingat, Pine House itu di tengah hutan. Kau harus membawa banak makanan. Aku tidak mau kau dan pacar gembulmu kelaparan di tengah hutan.”
“Tentu saja, Kylle. Aku tidak akan lupa. Selamat berlibur juga. Kapan-kapan kita kumpul lagi di markas besar kita dan merencanakan liburan bersama.”
“Oke. Hati-hati ya, Aimee. The Rolland itu…”
Belum juga selesai Kylle bicara Aimee menutup teleponnya. Mereka kembali ke ruang tamu. Didapatkannya orang tua Russell sedang mengantar Zhenya keluar dan Bibi kirrin membereskan sisa hidangan. Dari balik kaca mereka melihat sedan hitam melaju meninggalkan rumahnya. Wanita Rusia itu sudah pulang.
“Dia pulang, Dad?”
“Ya. Sini duduk, Russell. Aimee juga. Ada kejutan untuk kalian,” kata Pak Tom.
“Kejutan?” tanya mereka serempak.
“Ya. Kalian pasti sudah tahu apa yang akan aku ceritakan. Kalian suka menyelidiki kasus-kasus, bukan?”
“Yeah! Tentu saja.”
“”Begini. Tadi Zhenya bercerita tentang pengalamannya ketika masih tinggal di Rusia, karena aku menanyakan padanya apakah ia tahu tentang masalah terheboh di Moskow saat ini. Dua bulan yang lalu, tepatnya tanggal 21 Juni 2008 Quentyne menggelar pameran akbar lukisan karyanya di Gorki Street.”
Mereka menyimaknya dengan serius. Yang dimaksud Quentyne adalah mertua kakaknya Dourise, seorang seniman besar Italia yang namanya terkenal sampai ke pelosok dunia.
“Hampir semua lukisannya terjual dengan harga-harga yang tinggi. Bahkan sebuah lukisan andalannya yang berjudul Un Femme terjual dan dibeli oleh seorang pengusaha hotel di Oakland, Jacquest Cardin seharga lima ratus ribu dolar. Bahkan tahun ada satu lukisan koleksi pribadinya yang dibeli oleh milyuner Prancis seharga empat juta dolar. Fantastis, bukan?
“Keesokan harinya lukisan koleksi pribadi termahal yang berjudul Bonsoir hilang entah kemana dan sampai saat ini belum ditemukan. Menurut polisi, itu pencurian yang sangat rapi. Pelaku tidak meninggalkan jejak apapun. Bahkan sidik jari pun tidak.”
“Hm, kukira kasus lokal. Itu sangat sulit, Dad. Itu urusan detektif sekaliber FBI,” kata Russell.
“Pelaku sulit diidentifikasi,” komentar Aimee. “Begini. Quentyne menggelar pameran di Rusia. Orang-orang datang dari berbagai negara datang menyaksikan, membeli, menawar, bahkan berniat mencurinya. Yang menjadi hambatan penyelidikan, pelaku entah dari negara mana dan sama sekali tidak meninggalkan barang bukti yang bisa dijadikan petunjuk.”
“Benar, Aimee. Pencuri itu telah mengenal lokasi itu. Benar-benar anti radar. Padahal ruang pameran memakai kamera yang canggih di setiap sudut dan dijaga ketat. Tapi lampu pada saat itu sempat mati beberapa menit. Setelah itu Quentyne menyadari Bonsoir hilang,” kata Pak Tom.
“Aku sudah melihat tayangannya di televisi. Tapi klub kami tidak berselera ikut campur dalam kasus aneh itu. Kami tidak mungkin datang ke Rusia hanya untuk itu. Tiket pesawat mahal dan belum lagi mengurus ini itunya. Tapi aku jadi tertarik untuk mnyelidikinya karena Dad seolah memberiku semangat untuk melakukannya.”
“Kasus ini adalah tantangan bagi semua orang yang akan menyelidikinya. Apalagi Quentyne telah menyediakan hadiah satu juta dolar. Menurut Zhenya kasus ini merupakan bagian dari pengalaman buruknya. Pada saat Theodore mengungkapkan cinta padanya di tempat pameran, lampu mendadak mati dan lukisan yang sempat ditawar Theodore hilang begitu saja.”
“Aku punya pendapat,”kata Russell. “Aku pernah melihat di tv, sakelar mengalami kerusakan dan dalam keadaan off dan sebuah granat aktif. Granat itu dilempar seseorang dan barang itu telah menjadi bukti oleh kepolisian Moskow. Granat itu tidak meledak. Hanya sebagai pemancing agar penjaga lengah dan terfokus pada benda itu. Setelah itu penjaga dibius dengan menggunakan panah yang ditembakkan dari jarak jauh.”
“Kau tahu siapa pelakunya?” tanya ayahnya.
“Mana kutahu! Aku hanya bisa membuat kesimpulan,” kata Russell. “Quentyne adalah seniman besar yang karya-karyanya terkenal di dunia. Dia memiliki lukisan koleksi pribadi yang diketahui oleh orang-orang. Menurutku pelaku melakukan pencurian murni bukan karena ingin keuntungan besar. Kalau pelaku berniat mencari keuntungan besar, tidak akan ada seorang pun yang mau membelinya. Kalau pelaku melakukannya itu sama saja dengan memberi jejak pada polisi. Jadi dapat disimpulkan bahwa dia hanya ingin membuat kekacauan atau balas dendam. Siapa lagi pelakunya kalau bukan saingan besar Quentyne? Kalau orang biasa, itu tidak mungkin.”
“Hebat kau, Russell! Tapi seniman mana yang kau maksud?”
“Entahlah. Tapi penyelidik sudah menyimpulkan pelakunya. Hanya saja kebenarannya masih diragukan. Tapi aku juga punya pendapat yang sama dengan mereka. Kita persempit saja identitas orang misterius itu. Setahuku, biasanya persaingan tidak sehat itu sering terjadi antar dua orang yang sama-sama menonjol pada saru daerah. Jadi dapat disimpulkan pelaku adalah orang Italia, bisa jadi orang Prancis, bisa juga orang Yunani. Ah, pusing sekali aku. Kita hanya perlu mencari data seniman khususnya pelukis Eropa Selatan daan tidak ada salahnya kita mulai dari sana,” kata Russell.
“Setelah kita mendapat data, baru kita cari seniman yang punya persaingan ketat atau punya koonflik atau punya masalah dengan Pak Quentyne. Kita akan memulainya dari sana. Kalau tidak ada hasilnya, kita harus selidiki sampai berjanggut atau biarkan saja orang-orang pintar yang memeras otak. Kita jadi penonton saja,” kata Aimee.
“Oke, setuju!” kata Pak Tom dan Russell serempak.
Aimee dan Russell kembali ke kamar masing-masing. Setelah mereka makan siang, Justin dan Dawson muncul dengan barang bawaan yang sangat banyak.
Mempunyai berita yang penting, tidak lupa Russell menyampaikannya pada kedua anggota True Friendsnya dan mereka sepakat akan melakukan penyelidikan apabila ada waktu luang di antara liburannya. Tapi tentu saja tidak dengan harus ke lokasi kejadian. Mereka cukup memanfaatkan berita dari berbagai sumber dan mencoba mencari benang merahnya, kalau bisa.
Pada malam harinya mereka belanja di mall untuk bekal besok dan menghubungi Jarvis untuk memastikan besok akan ikut ke Pine House. Bagi mereka malam ini merupakan malam yang sangat menyibukan!

BAB 3
LIBURAN KE PINE HOUSE

Keesokan harinya setelah sarapan pagi Russell masuk ke kamarnya. Sebuah lemari besi dibukanya dengan menggunakan kode rahasia yang hanya diketahui keluarganya dan teman-teman seklubnya. Lemari besi berkode itu berisi koleksi peralatan ski. Ia sengaja menempatkan semuanya di lemari khusus supaya tidak ada orang yang mencuri dan tidak lupa menyimpan.
Di antara pemain-pemain ski terkenal, Russell-lah yang paling banyak memiliki koleksi. Ia mempunyai tiga puluh pasang peralatan ski dengan berbagai motif dan sepasang peluncur istimewa pemberian Pak Presiden yang dihadiahkan padanya setelah memenangkan kompetisi ski dunia. Peluncur itu terbuat dari perak dan emas 24 karat dan beralaskan metal kualitas tebaik. Peluncur itu disimpannya dalam sebuah kantong khusus.
Russell mengeluarkan peralatan ski dan snowboard. Lalu dipilihnya yang terbuat dari emas itu untuk ia bawa ke Pine House.
“Kau akan membawa yang itu, sayang?” tanya ayahnya.
“Ya, Dad. Kau harus datang pada permainan perdanaku, ya? Aku akan sedih kalau kau sampai tidak hadir,” kata Russell.
“Tentu. Aku akan hadir dan akan mempersiapkan segalanya untukmu. Kapan kau akan melakukannya?”
“Entahlah. Kalau waktunya memungkinkan saja. Lagipula aku harus minta persetujuan Dr. Charlens dulu, apakah aku sudah aman untuk bermain ski dengan ngebut atau belum.”
“Baiklah kalau begitu. Oh ya, keluarga Bibi Jersey akan meminjam peralatan skimu. Dia akan datang besok dengan ketiga anaknya dan sepupunya. Kami akan ke Aspen.”
“Bukankah kau akan ke NASA?”
“Ya. Lusa aku akan menyusul ke Aspen. Aku harus memastikan dulu misiku berjalan dengan baik dan meminta sedikit waktu untuk berlibur singkat dengan keluarga.”
“Kau masih ingat kode lemarinya, Dad? Jangan sampai kau mendobraknya dengan laser karena kau lupa.”
“Aku belum pikun, Russell.”
Russell membenahi ransel dan barang-barang bawaannya. Dari lemari koleksi fotografinya diambilnya sebuah kamera digital yang tersimpan di samping sebuah kamera pengintai yang hanya sebesar penghapus.
Russell mengangkat bahunya. “Hm, kamera yang bagus. Cocok untuk mengintip orang. Pasti ini punya Aimee yang ketinggalan disini. Pacarku memang pelupa.”
Russell dan ayahnya turun dari kamar. Keempat anak True Friends dan Jack yang akan piknik ke Pine House telah siaga di depan rumah Russell menunggu Jarvis menjemput.
Kali ini penampilan mereka lain dari yang biasanya. Kelima anak itu memakai baju piknik paling bagus dengan wajah bersih berkilat-kilat. Dari tubuh mereka tercium wangi parfum lembut beraroma maskulin yang bernilai puluhan dolar. Mereka sengaja sedikit bergaya supaya lagaknya mirip dengan bintang-bintang Hollywood. Bahkan Dawson mempergaya penampilannya dengan memakai kacamata hitam ala John Lenon.
Beberapa menit kemudian muncul sebuah sedan mewah. Mobil Rolls Royce hitam bermodel antik dengan kap memanjang dan berlampu sorot yang sangat besar. Hampir semua aksesoris pelengkap mobilnya dilapisi emas! Tetapi kilaunya masih kalah dengan penampilan kelima anak yang berdiri tak jauh dari tempat mobil itu berhenti.
Dari dalam mobil Jarvis kleuar dengan pakaian yang santai—dengan kaos oblong putih, jaket parasut tipis, celana gombrong bergambar pantai, sandal plastik, dan sebuah tas kecil yang melingkar di pinggangnya. Penampilannya sungguh bertolak belakang dengan Rolls Royce yang dibawanya. Orang iut tersenyum. Kacamata hitamnya yang membuat dia semakin percaya diri.
Anak-anak True Friends, Jack, dan kedua orang tuanya Russell menyambut Jarvis dengan ramah. Ia diajak minum kopi dan ngobrol-ngobrol di sebuah gazebo yang terletak diatas kolam yang berkelok-kelok seperti sungai. Mereka membicrakan film pertamanya AZ. Rouze sambil memperhatikan sepasang angsa putih di sungai dan dekorasi halaman rumah yang luar biasa itu.
“Dari luar sini aku bisa merasakan kemewahan di dalam rumah anda, Sir,” kata Jarvis.
“Kami pindah kesini karena menurutku lokasi dan rumahnya lebih nyaman dari rumahku yang di Florida. Sayang kalau dikosongkan. Lagipula aku dapat pergi ke NASA dengan pesawat,” kata Pak Tom.
“Kalau dikosongkan rumah ini akan dijadikan tempat perkumpulan semua hantu Amerika. Aku ngeri memikirkannya. Bisa kubayangkan sekarang mereka mengobrol di tempat ini sambil menikmati secangkir kopi dan kue coklat,” kata Jarvis. Ia mengunyah kue coklat terakhirnya, disusul tawa renyah mereka.
Setelah setengah jam mengobrol Jarvis pamit. Pak Tom dan Dourise berpesan agar Jarvis menjaga kedua anaknya dan True Friends dengan baik.
“Jaga dirimu baik-baik, Russell. Kau jangan membahayakan dirimu dan jangan coba-coba membuat masalah yang akan membuatmu celaka. Aku dan Daddy selalu memikirkanmu,” nasihat ibunya.
“Ya, mommy. Russell janji. Aku tidak akan melakukan itu.”
Pak Tom dan Dourise memeluk kedua anaknya, demikian pula dengan anak-anak True Friends.
“Jaga adikmu, Russell. Jangan sampai kemana-mana,” kata ayahnya.
“Ya, Dad. Jack masih terlalu kecil untuk melarikan diri dariku.”
Pak Tom menepuk pundak kedua anaknya. Lalu dari balik mantel tebalnya dikeluarkannya sebuah amplop besar yang berisi uang. “Ini untuk bekal liburan kalian. Gunakan baik-baik, ya?” katanya seraya memberikan amplop itu pada Russell.
“Wow! Kita kaya, man!” seru Justin sambil mencium lembaran uang yang baru dikeluarkannya dari dalam amplop. “Bagiku uang sebesar ini untuk keperluan keluargaku dalam waktu sebulan. Itu pun tidak sebanyak ini.”
“Keren, ya? Dengan uang sebanyak ini aku bisa berlibur ke Italia dengan tiket pesawat kelas satu. Belum pernah rasanya aku memegang uang sebesar ini. Normalnya setiap hari aku hanya memegang uang sepuluh dolar. Itupun harus memijat ayahku dulu sampai tanganku benar-benar pegal,” kata Dawson.
Mereka masuk ke dalam mobil dengan diantar lambaian tangan orang tuanya Russell dan salak keenam belas anjing peliharaan keluarga Fedorovski.
Mobil mulai merayap meninggalkan Evergreen Hills. Di dalamnya mereka mulai menunjukkan keramaian. Mereka menyanyi dengan diiringi tepuk tangan dan gitar yang dipetik Dawson. Kali ini mobil itu penuh dengan keceriaan.
“Oh ya, Jarvis. Aku sangat menyukai mobil ini. Rasanya luar biasa sekali aku bisa menumpang di mobil anda. Sebenarnya milik siapa mobil ini?” tanya Justin.
“Oh…ini milik temanku. Dia sama-sama orang NY. Namanya Sir Teddy Marquine Koch. Dia teman akrab Sir Rouze dan Jackquest Cardin. Dia orang yang sama-sama berbakat dalam bidang film dan seni.”
“Jackquest Cardin yang membeli lukisan Un Femme di Rusia?” selidik Aimee.
“Ya. Kau tahu?”
“Tentu saja. Dia membeli lukisan itu seharga lima ratus ribu dolar. Tapi ada yang lebih fantastis lagi. Seorang milyuner Prancis membelinya dengan uang sebanyak empat juta dolar. Apa itu tidak gila namanya?”
Jarvis melotot dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sungguh gila! Aku tidak habis pikir kenapa orang-orang kaya begitu royal dalam membeli lukisan Quentyne.”
“Mungkin karena lukisannya sangat bagus,” komentar Russell. “Dawson, kau petik lagi gitarmu! Kita nyanyi lagi, oke?” Mereka menyambut ajakan Russell dengan bersorak ramai. Gitar mulai dipetik dan lahu My Happy Ending melantun.
So much for my happy ending oh…oh…oh…oh…
Let’s talk this over, it’s not like we’re dead.
Was it something I did?
Was itu something you said?
Tiba-tiba suara gitar Dawson berhenti. Russell menepuk Dawson yang tersenyam-senyum tak karuan. Kaki dan bokongnya bergoyang dengan cepat, padahal waktu itu tidak ada musik.
“Kenapa kau goyang, Dawson?” tanya Russell.
“Entahlah. Mungkin ada gempa vulkanik di bawah bokongku. O…ow! Ternyata benar! Kurasa di bokongku ada gunung meletus, he…he…he…”
Serempak mereka menutup hidung dengan dongkol. “Jorok sekali kau!”
“Sorry, man…Anggap saja itu hiburan. Kalian harus menganggap kentut itu aroma sapi panggang agar kalian bisa menikmatinya. Rasanya aku juga ingin buang air kecil.”
“Kalau kau mau buang air, tunggulah sebentar. Di depan kita akan masuk hutan. Kau boleh kencing dimana saja,” kata Jarvis.
Jarvis membelokkan mobilnya ke jalan yang agak sempit tetapi mulus. Di pinggir jalan itu terdapat papan besi yang bertuliskan Selamat datang di Hutan Redwood. Kata Jarvis sekarang mereka sedang menuju ke Pine House kira-kira 10 mil dari kota terdekat. Hutan Redwood merupakan kawasan hutan yang terletak di kaki Pegunungan Rocky dan didominasi oleh tumbuhan berdaun jarum. Hutan ini disebut Redwood karena kebanyakan tumbuhannya berkayu merah.
Disini hanya ada enam vila yang dibangun dan jarang dihuni, kecuali kalau pada hari libur panjang. Di antaranya Pine House, Morrysse Villa, Spruce Cottage, Decidus, Rosse-Mary, dan Kimberley. Yang termewah adalah Morryse Villa yang terletak tak jauh dari Pine House. Menurut Jarvis, vila itu milik seorang astronom wanita yang namanya tengah naik daun dan punya reputasi yang baik di mata publik. Ketika Jarvis mengucapkan nama itu Russell mendengus.
“Pilihlah tempat kencing yang paling kau sukai,” kata Jarvis seraya menghentikan mobilnya. Dengan terburu-buru Dawson keluar dan beberapa detik kemudian ia sudah bersembunyi di balik pohon kayu merah raksasa. Tak ada seorangpun di antara mereka yang melihatnya.
Dawson muncul dengan langkah yang santai. Di depan pintu ia mengancingkan celananya.
“Kau tidak pakai celana dalam, Dawson?” tanya Justin dengan geli.
“Tidak. Itu membuatku tidak bebas,” jawabnya kalem. Lalu ia duduk di samping Russell dengan pantat menindih sebungkus keripik seberat satu kilogram.
“Hai, kau menduduki keripikku!” seru Russell seraya menyerbu pantat Dawson yang mendudukinya. Dawson menengok pantatnya dengan berlagak bodoh.
“Mana? Disini tidak ada apa-apa.”
“Jangan pura-pura! Kau menduduki keripikku!”
“Tidak. Menurutku bunyi itu berasal dari dalam bokongku, bukan dari dalam bungkus keripik,” jawabnya dengan disusul tawa renyah teman-temannya. Russell benar-benar merasa kesal dipermainkan seperti itu. Secepat kilat ia menindih Dawson sampai akhirnya anak berkulit coklat itu benar-benar kepayahan.
“Menyingkirlah dari tubuhku, monster gendut! “
“Berikan dia keripik, Dawson! Aku tidak mau dia merengek seperti itu!” kata Justin.
“Baiklah. Makanlah ini, Russell!” Dawson melemparkankeripik itu. Russell senang. Dilahapnya keripik itu seorang diri sambil melihat-lihat pemandangan dari jendela samping. Tak ada seorangpun di antara mereka yang ditawarinya.
“Bagaimana rasanya, Russell?” tanya Jack.
“Entahlah. Tapi baunya seperti pantat. Aku nyaris tidak bisa membedakan mana keripik dan mana itu pantat.”
“Pantat yang renyah, bukan?” tanya Dawson.
“Ya. Baru kali ini ada pabrik keripik yang mengeluarkan produknya dengan rasa baru. Tapi bagiku ini bukan lelucon yang terlalu buruk.”
“Selera makanmu besar sekali, Russell,” kata Jarvis.
“Tentu. Bukan Russell namanya kalau tidak sanggup makan keripik satu kilogram. Tapi tenang saja. Aku tidak akan membuatmu bangkrut.”
Jarvis tersenyum geli. Tak lama kemudian ia menghentikan mobilnya di depan sebuah jalan setapak yangberpagar kayu dan tampak terawat baik. Mereka tidak begitu kaget. Pine House telah di depan mata!
Mereka turun dari mobil dan berjalan mengikuti Jarvis dengan membawa barang bawaan yang banyak. Terutama Russell. Ia membawa carrier besar, peralatan ski, dan tas plastik jumbo yang berisi macam-macam makanan. Dengan susah payah ia menelusuri jalan yang agak becek.
Jalan ke Pine House sangat lembab dan berair. Kalau tidak hati-hati bisa terpeleset dengan meninggalkan noda tanah di baju. Di kiri kanannya tumbuh pohon-pohon cemara yang terhalangi cahaya matahari, sehingga hutan itu tampak gelap dan lembab.
Di ujung jalan berdiri sebuah rumah yang tampak tenang. Rumah itu bermodel kuno dengan jendela besar tang hampir menyentuh tanah dan terbuat dari kayu mamout. Halamannya yang luas berpagar kayu oak setinggi enam kaki dan terlindungi oleh pohon-pohon berdaun jarum. Disana ditumbuhi berbagai bunga liar dan di belakang rumahnya terdapat kolam renang yang cukup luas. Halamannya cukup bersih walau ada di tengah hutan. Mereka menduga rumah itu ada penghuninya.
Dari dalam rumah muncul seorang pria yang berusia enam puluh tahunan. Ia memakai baju khas orang rimba dengan memakai topi koboi, sepatu boots, rompi bersaku banyak, dan kaos pendek. Orang itu menyambut tamu-tamu tuannya dengan ramah.
“Terima kasih, Brueno. Tolong masukkan mobilku ke dalam,” kata Jarvis. “Kemana yang lain?”
Brueno menengok ke belakang. “Oh, Sylvester dan Hannah di belakang. Mereka sedang membuat hidangan spesial untuk anak-anak ini,” kata Brueno dengan aksen Spanyolnya yang kental.
“Anda Russell Stanley pemain ski nomor satu dunia itu?”
Russell mengangguk. “Ya, saya Russell. Kalau boleh kutebak, anda pasti orang Spanyol,” kata Russell seraya menerima jabat tangan Brueno.
“Ya, anda benar. Dulu saya tinggal di Granada sebelum mengadu nasib disini.”
“Oh, aku terkesan. Sepertinya anda sangat ganteng di waktu mudanya. Anda mirip dengan Fernando Torres.” Brueno melongo.
Dengan dibimbing Jarvis mereka masuk ke kamar masing-masing. Jack ditempatkan di kamar paling depan, Russell, Justin, dan Dawson di kamar tengah, sedangkan Aimee dan Jarvis mengisi kamar paling belakang dekat kolam renang.
Russell membuka jendela kamar yang menghadap ke taman. Dari dalam hutan terdengar burung mencicit. Aroma kayu-kayuan dan bau tanah basah berhembus terbawa angin dingin di awal musim. Tak terasa kantuk mulai menyerang mereka. Perjalanan jauh kali ini cukup membuat kelelahan. Sembari menunggu waktu makan malam, mereka tertidur.



















BAB 4
HARI KETIGA

Selama tinggal dua hari di Pine House mereka benar-benar bersenang-senang. Mereka ikut Jarvis dan kedua pembantunya menjelajah ke hutan, memancing, dan berenang di danau yang tak jauh dari vila. Malam harinya mereka berpesta sampai larut malam dan dini hari baru tertidur.
Tetapi Aimee tidak bisa tidur. Kamar sebelah yang dihuni Jarvis sangat berisik oleh bunyi dering ponsel dan percakapan Jarvis. Walaupun perlahan tapi cukup untuk mengganggu tidurnya.
Aimee memukul bantal dan melempar selimutnya dengan sekuat tenaga. Kesabarannya sudah habis. Pagi ini ia ingin tidur nyenyak setelah semalam ikut begadang sampai pukul dua.
“Kau berisik sekali, Jarvis! Bisakah kau bersikap lebih tenang?” tegur Aimee. Kamar Jarvis hening seketika.
“Maafkan aku, Aimee. Aku kira aku tidak membuatmu terbangun. Oh ya, apa kau lapar?”
“Tentu. Kalau terbangun aku suka lapar.”
“Kalau begitu kita ke dapur saja membuat sandwich. Jam segini pembantuku sudah bangun dan memasak di dapur. Aku juga sudah lapar. Kalau kau mau aku akan menunggumu di luar. Ayolah Aimee, kau pasti lapar.”
Aimee beringsut dari tempat tidurnya. Setelah memakai jaket dan mengikat rambutnya ia keluar. Di ambang pintu Jarvis sudah menunggu dengan wajah keruh. Begitu Aimee muncul, ia meraba-raba semua saku celana gunungnya seperti ada sesuatu yang dicarinya.
“Kau mencari apa, Jarvis?”
“Oh, sepertinya rokokku ketinggalan di kamar. Aku menyimpannya di atas meja. Pagi ini sangat dingin. Rasanya aku ingin merokok di dapur. Begini saja. Kau duluan saja ke dapur. Aku akan mengambil rokok dulu dan menyusulmu.”
Jarvis tidak beranjak. Setelah Aimee pergi ke dapur ia berbalik.
* * *
Kira-kira pukul setengah lima Dawson terbangun. Ia merasa ingin buang air besar. Dengan langkah sempoyongan dan mata setengah terpejam ia berjalan menuju pintu kamar. Tetapi langkahnya mendadak berhenti setelah kakinya menyepak peralatan ski milik Russell. Ia meringis setelah ujung tongkat ski itu melukai kakinya.
“Aww…! Sss…aduh, dasar sial!” umpatnya dengan mata tertuju ke arah Russell yang masih tertidur dengan nyenyak. Ia tidur dengan menghabiskan dua pertiga tempat tidur sehingga Justin yang kurus benar-benar terpepet di sisi ranjang.
“Hm, peluncur mahal begini disimpan semabarangan.” Walaupun ia agak kesal Dawson menyimapn peluncur itu ke dalam tas. Lalu ia melenggang dengan santai ke toilet dan membiarkan pintu kamar terbuka begitu saja.
Dawson duduk di atas kloset sambil termenung dan merem melek. Ia teringat akan kasus rumit yang disampaikan ayahnya Russell dan tawaran Sir Jones yang diabaikan.
Tiba-tiba dari kamarnya terdengar suara jendela terbuka dan suara langkah halus dari depan toilet menuju ke arah dapur. Beberapa detik kemudian terdengar langkah berat yang disusul pekikan kecil seorang wanita dari dalam kamarnya. Setelah itu hening kembali.
Dawson beranjak dari duduknya dan menengokkan kepalanya di celah pintu. Seekor kucing russian blue melintas dari kamarnya dengan ekor mengembang dan mengeong ketakutan ketika melihat Dawson. Ia berlari dengan kencang ke halaman belakang.
“Aneh. Kucing siapa itu? Apakah itu kucing Jarvis? Kurasa aku tidak pernah melihatnya sebelumnya.” Dawson mengibaskan tangannya. “Ah, masa bodoh. Sial, menggangguku saja!” Dawson kembali duduk di kloset. Ditendangnya pintu toilet sampai tertutup toilet.
* * *
Di dapur Hannah dan Sylvester tengah mengiris sayuran. Mereka bersiap akan memasak, sementara Brueno membersihkan seisi rumah.
Aimee duduk di depan meja makan. Sesekali ia melihat jam dinding. Sudah sepuluh menit, tapi Jarvis tak kunjung datang.
“Kau ingin makan, Aimee?” tanya Hannah.
“Hanya sandwich saja. Aku tidak bisa tidur. Kurasa sandwich bisa membantuku untuk melupakan tidur. Pagi ini Jarvis berisik sekali. Apakah dia suka begitu, Hannah?” tanya Aimee sambil menyiapkan bahan-bahan sandwich untuk dua orang.
“Entahlah. Aku baru mengenalnya selama seminggu ini.”
“Oh…Tapi Sir Rouze sering kesini?”
“Tentu. Dia sering menginap disini bersama Gyordine. Tapi kami tidak pernah bicara banyak dengan mereka,” jawab Sylvester.
Jarvis muncul dengan senyum manis dan wajah yangberseri-seri. Suasana hatinya sedang cerah. Menurut Aimee, Jarvis sangat menarik. Terutama kalau sedang tersenyum.Tubuhnya bagus dan rahangnya kokoh. Tapi ia segera menepis pikiran itu dan menggantinya oleh bayangan Russell yang tengah tersenyum mesra dengan rambut ikal pirangnya yang tertiup angin. Ia jauh lebih manis jika dibandingkan dengan lelaki manapun di dunia ini.
“Maaf kau sudah menunggu lama.” Aimee hanya tersenyum.
Jarvis duduk dengan santai. Sebatang rokok dikeluarkan dan diselipkan di bibirnya, lalu menyulutnya. Jarvis menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya dengan penuh kenikmatan. Aimee terpaku saat pria itu menutup pemantiknya dengan gaya yang macho.
“Kau tertarik padaku, Aimee? Bagaimana dengan Russell?”
Aimee tersentak kaget. Ia tidak menduga sebelumnya Jarvis bisa menangkap isi pikirannya. Seketika wajahnya memerah.
“Aku hanya bercanda. Tapi naluriku sebagai seorang pria tidak mungkin salah. Kau benar-benar terpesona melihatku.”
“Huh! Kau terlalu percaya diri. Kau tidak ada apa-apanya dibanding Russell! Aku menatapmu karena aku tidak suka pria yang merokok!” Aimee mengambil sandwichnya. Lalu ia pergi ke kamarnya dengan perasaan yang aneh. Di dapur Jarvis hanya tersenyum geli.
* * *
“Kau sudah mengerjakan tugas matematika, Russell?” tanya Justin pagi itu setelah sarapan. Russell mereguk susu dan menutup cangkirnya. Lalu ditatapnya Justin lekat-lekat dengan tangan dilipat di atas meja.
“Apa? Tugas matematika? Oh, aku malas sekali. Nanti sajalah. Santai sedikit kenapa. Kalau kau bersedia, aku akan menyontek pekerjaanmu. Tenang saja, Justin. Kau akan kuajak ke pesta dansa.”
“Kau memang tidak pernah berubah, Russell,” kata Justin.
Russell nyengir. Seekor kucing russian blue melendot di kakinya dengan manja. Russell menarik kakinya dengan terkejut.
“Eh, kucing siapa itu, Jarvis?” tanya Dawson. Ia teringat akan kejadian aneh tadi.
“Oo…eh...itu Spears, kucingnya Sylvester,” jawab Jarvis gugup.
Russell memperhatikan Spears. Tampak di kepala kucing itu terdapat luka yang darahnya telah mengering. Tidak terlalu parah dan tidak ada bekas aliran darah di bulunya. Setelah diperhatikan dengan seksama luka itu seperti bekas cakaran.
Dengan lembut Russell membelainya. Mata kucing itu berkedip-kedip manis. Russell tersenyum. “Kasihan sekali kau, Spears. Siapa yang melukaimu, hm?”
Spears mengeong lirih. Dari kotak obat dikeluarkannya obat luka dan segulung perban. Olehnya luka itu dibersihkan dan diberi obat luka, lalu membalutnya dengan perban.
“Ah, Spears memang nakal. Mungkin dia dipukul karena mencuri ikan di dapur,” kata Jarvis.
“Apakah disini ada kucing lain selain Spears?”
“Kurasa…kurasa tidak ada.”
“Oh begitu. Luka ini bekas cakaran. Luka pukulan tidak seperti ini. Spears pasti berkelahi. Sylvester tidak mungkin memukulnya. Russian blue adalah kucing yang mahal.”
“Tak tahulah.”
“Ngomong-ngomong kapan Sir Rouze dan Gyordine kesini?” tanya Aimee.
“Mereka mengajak kita pertemuan di Alpineverest. Kebetulan disana salju sudah turun dengan lebat. Sekarang bersiap-siaplah. Pukul sepuluh berangkat. Kita masih punya waktu empat jam untuk bersiap-siap.”
“Kau tahu Alpineverest?” tanya Russell.
“Siapapun pasti tahu. Itu klub skimu, bukan?” Russell mengangguk mengangguk.
Dari ruang tengah terdengar telepon berdering nyaring. Dengan segera Jarvis mengangkatnya. Beberapa saat kemudian telepon diberikan pada Russell. “Telepon dari Sir Rouze.”
Russell menerima gagang telepon yang diberikan Jarvis. Tak lama kemudian terdengar suara Sir Rouze yang nyaring dan berbicara dengan aksen yang agak aneh.
Pembicaraan Russell dan Sir Rouze berlangsung dengan hangat. Ia mengajak Russell dan teman-temannya bermain ski di Squaw Valley.
“Oke, ma cherie. Au revoir et je éspere de vous revoir bientôt.” Sir Rouze mengakhiri pembicaraannya.
“Au revoir, Monsieur Rouze.” Russell menutup teleponnya.
“Dia orang Prancis, Jarvis?”
“Ya. Sir Rouze pernah tinggal di Paris sampai menikah dengan Zerelda Farrel,” kata Jarvis. “Ah, aku mau mandi. Sudah siang.” Mereka beranjak dari duduknya.
Sebelum menyiapkan barang yang akan dibawa, Justin duduk di luar kamar. Ia mengambil majalah Ski edisi terbaru milik Russell dari tasnya dan membukanya halaman demi halaman. Dengan serius ia membacanya sambil bertumpang tumpang kaki. Tetapi konsentrasinya mendadak buyar begitu terdengar ribut-ribut di kamarnya. Ia menutup majalahnya dan diam-diam mengintip kamar dari celah pintu.
“Demi Tuhan, Russell. Aku benar-benar tidak tahu! Waktu ke toilet tadi masih ada! Aku sendiri yang menyimpannya ke dalam tasmu. Huh, yang benar saja peralatan skimu hilang? Aku tidak percaya! Gara-gara kau kamar ini jadi berantakan. Kau memang pengaduk kamar yang hebat! Ini lebih buruk daripada ledakan pesawat Colombia.”
Dawson marah besar setelah keluar dari kamar mandi ia mendapati isi kamarnya berantakan. Pakaian dan makanan ringan mereka bertebaran dimana-mana. Bahkan tempat tidurpun nyaris terlempar dari jendela kamar yang besar.
“Dan ini sebagai bukti peralatan skimu masih ada pukul lima tadi. Aku menyepak tongkatnya. Kau lihat ini?” tanya Dawson sambil menunjuk jari kakinya yang diplester. “Maling macam apa yang mencuri peralatan skimu?”
“Tapi peralatn skiku benar-benar hilang, Dawson. Aku tidak akan bisa melakukan permainan perdanaku tanpa peluncurklu yang itu…” Russell terduduk di lantai dengan pasrah. “Aku mendapatkan peralatan ski itu dengan susah payah.”
Justin menutup pintu dengan perlahan lalu mematung dengan bingung. “Ya Tuhan, itu peralatan ski yang istimewa—Jack? Kemana dia? Aku belum melihatnya. Bahkan dia tidak kulihat mandi dan sarapan. Kemana anak itu?”
Dengan penasaran Justin mengecek kamar Jack dan ke sekeliling rumah. Tapi sia-sia belaka. Setelah ditanyakan pada pembantunya Jarvis, mereka hanya menjawab tidak tahu. Justin mulai risau. Jack tidak ditemukan dimana-mana. Dia tetap hilang meskipun Justin sudah mencarinya ke dalam hutan dengan memanggil-manggil namanya.
“Oh, Tuhan. Bencana apa lagi ini?”
Di dalam kamar susana semakin memanas. Dawson masih marah-marah. Sementara itu Russell dipeluk Jarvis yang mencoba melerai mereka.
“Sudahlah, Dawson. Ini bukan salah Russell. Ini salahku juga. Aku ikut mencarinya. Russell panik, Dawson. Peralatan skinya benar-benar hilang. Kau jangan membuat Russell sedih. Coba kau banyangkan bagaimana seandainya kau yang ada di posisi Russell.”
Dawson terdiam. Ia memandang Russell dengan iba.
“Maafkan aku, Russell. Aku tidak bermaksud memarahimu. Sekarang kita tidak boleh diam seperti ini. Aku yakin pasti ada jalan keluarnya. Percayalah padaku, Russell. Kau harus yakin kau akan melakukan permainan perdanamu dengan peralatan skimu yang itu.”
“Rumah ini sudah tidak aman lagi, kawan.,” kata Justin dari ambang pintu. Keempat orang itu menatapnya dengan penuh pertanyaan.
“Aku harus mengatakannya walaupun aku tidak tega. Russell, tenangkan dirimu. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu saat kau mendengarnya.” Justin menggenggap tangan Russell yang terasa dingin dan bergetar.
“Apa yang akan kau katakan, Justin? Kau menemukan peluncurku? Kau tahu dimana Jack? Dari tadi aku tidak melihatnya.”
Justin menarik napasnya dalam-dalam dan dihembuskan perlahan. Ia menatap Russell dengan tajam.
“Jack…Jack…hi…lang…Russell. Ak…aku…sudah….mencarinya kemana-mana…”
Russell berdiri dengan tubuh menegang. Bibirnya bergerak-gerak tetapi sulit untuk berkata-kata.
“Jack…Jack…hilang? Kau bohong, kan?” tanya Russell dengan suara perlahan dan gemetar. Justin menunduk seolah menyesal telah berbuat kesalahan yang fatal pada Russell.
“Maafkan aku. Aku terpaksa bicara langsung padamu. Jack benar-benar hilang, Russell...”
Russell menggeleng-gelengkan kepala seolah tidak percaya akan apa yang didengarnya. Wajahnya yang berkulit putih kemerahan tampak masak seperti buah apel. Air matanya berlinang-linang. Ia ingin menangis tapi malu oleh teman-temannya.
“Aku sudah mencarinya ke hutan tapi…” Justin tidak melanjutkan kata-katanya. Russell terkulai lemas dalam pelukan Aimee. Tanpa ragu lagi ia menangis.
“Apa yang harus aku lakukan? Kenapa semua ini harus terjadi padaku, Tuhan?”
Aimee semakin mempererat pelukannya. Ia membelai rambutnya untuk menenangkan Russell.“Jack adikku, Aimee. Aku rela kalau peralatan skiku yang hilang. Asalkan jangan adikku! Aku bukan kakak yang baik bagi Jack. Aku tidak bisa menjaga adikku…”
BAB 5
JEJAK MISTERIUS

“Menangis tidak akan memberi solusi. Kita harus mencarinya, Russell. Aku yakin kita bisa menemukan adik dan peralatan skimu. Siapa tahu dia mempermainkan kita. Jack sangat bandel, Russell,” kata Dawson.
“Kami akan mencari petunjuk. Siapa tahu kita bisa menemukannya dengan cepat,” kata Justin. Ia tersenyum ke arah Russell dan berharap pemain ski kesayangan Amerika itu membalas senyumnya. Ternyata tidak. Russell masih terlalu sedih untuk bisa tersenyum.
Mereka meninggalkan Russell yang masih tersedu-sedu. Sadar mereka meninggalkannya ia menyusut air matanya. Walaupun masih merasa kacau, ia mengikuti teman-temannya untuk mencari Jack. Ia membulatkan tekadnya. Apapun yang terjadi Russell akan terus mencari adik dan peralatan ski kesayangannya.
Di dekat jendela kamar ia melihat semak-semak bunga liar roboh dan patah-patah seperti ada yang merusak. Ia penasaran dengan apa yang dilihatnya. Russell ingin tahu apa yang menyebabkan semak itu rusak. Dengan hati-hati ia mendekati semak itu dan menyibaknya.
Tampak olehnya beberapa jejak sepatu kecil dengan ujung lancip terdapat di antara tanah yang lembab dan agak becek. Russell jingkok dan mengamati jejak itu dengan seksama, sementara pikirannya mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah melihat bentuk sepatu seramping itu. Jejak itu masih baru. Di ujungnya samar-samar terlihat ada angka 36 dan bertulisan huruf KM.
Russell berdiri dengan mata tak lepas dari jejak itu. Tanpa menunggu waktu ia memotretnya untuk barang bukti. Dengan adanya jejak itu ia mulai bisa tersenyum. Rasanya ia mulai terlibat dalam kasus ini dan semakin cepat untuk bertatap muka dengan pelakunya.
Di dinding dekat jendela kamar, tak jah dari tempatnya berdiri terdapat jejak kaki kucing yang besar. Tetapi hanya samar-samar. Sekali lagi Russell memotretnya.
Melihat Russell memotret, Jarvis dan ketiga temannya yang sedang berkumpul di dekat jendela kamar Jack mendekatinya.
“Apa yang kau temukan, Russell?” tanya Justin. Russell menoleh ke arah mereka.
“Jejak sepatu lancip berinisial KM. Aku yakin ini sepatu wanita. Kurasa tidak mungkin ada laki-laki bersepatu sangat lancip, kecuali Aladdin. Selain itu, jejak kaki kucing di jendela ini ada keganjilan. Kurasa kucing itu melompat dari luar ke dalam kamar. Tapi jejaknya hampir tidak terlihat, sedangkan tanah disini luar biasa becek. Tidak mungkin kucing itu masuk ke dalam tanpa membawa kekotoran, kecuali kalau kucing itu mencuci kakinya dulu sebelum masuk. Tapi satu-satunya jawaban yang masuk akal adalah kucing itu sengaja dimasukkan oleh seseorang yang menggendongnya kemari.”
“Menurutku kucing itu melompat dari kamar, makanya jejaknya tidak kotor,” komentar Jarvis.
“Itu tidak rasional. Kalau memang kucing itu melompat dari kamar, jari-jari kucing itu harus menghadap ke luar jendela. Tapi ini menghadap ke dalam kamar. Menurutku, KM-lah yang memasukkannya ke dalam kamar. Buktinya di tanah ini tidak terlihat ada jejak kucing tapi di jendela ada.”
“Masuk akal juga. Tapi aku tidak mengerti kenapa wanita itu memasukkan kucing ke dalam kamar,” komentar Jarvis.
“Memang aneh. Oh ya, waktu sedang buang air besar tadi aku melihat ada kucing russian blue keluar dari kamar kita. Dia terlihat sangat ketakutan. Anehnya, aku tidak pernah melihat kucing itu sekalipun Spears adalah kucing Sylvester. Dalam tiga hari ini aku belum pernah melihat Spears. Aku jujur saja, Jarvis. Pagi tadi aku mendengar suara jendela terbuka dan suara langkah dari ruang belakang, disusul pekikan kecil seorang wanita di kamarku. Mustahil laki-laki bersuara seperti itu. Itu seperti suara gadis remaja yang ditakut-takuti temannya dengan seekor kecoak. Begitu aku menengok dari celah pintu aku melihat Spears lewat dari kamar dan langsung melesat ke halaman belakang. Mengenai jeritan itu, kurasa inilah jawabannya,” kata Dawson seraya menunjukkan bercak darah yang sudah mengering di jendela. Semua menatapnya tanpa kedip. Demikian pula dengan Jarvis yang pada saat itu gemetar karena ia dipandang ikut terlibat dalam masalah ini gara-gara kucing pembantunya.
“Aku punya kesimpulan. Kusebut saja wanita itu KM, oke? KM membawa kucing itu dari rumah atau mencurinya dari Sylvester. Buktinya dia sekarang tidak meributkan masalah kucingnya. Waktu KM melihat Dawson nongol dari toilet ia gugup dan melepas kucing itu untuk mengelabui Dawson. Sebelum hal itu terjadi, Spears melukai KM dan inilah darah dia yang tertinggal begitu saja. Darah ini cukupbanyak. Makanya orang itu menjerit,” kata Justin.
“Kau yakin itu darah manusia?” tanya Jarvis.
“Ya. Tadi aku melihat luka Spears tidak terlalu parah dan di bulunya tidak terlihat bekas lelehan darah. Wanita itu tidak mungkin menjerit kalau kucing itu tidak menyakitinya.”
“Kurasa itu bukan kucing Sylvester, Justin,” kata Russell.
“Oh ya? Kenapa?” tanya Justin. Jarvis menatap Russell lekat-lekat.
“Kucing itu terluka. Seharusnya dia yang mengobati luka kuving itu, bukan aku. Padahal biasanya dia bangun sejam lebih awal dari kita. Lagipula dia acuh tak acuh saja saat dia melihat kepala kucing itu sudah diperban. Yang kedua, sebelum Spears melukai Km kucing itu terlebih dahulu disakiti wanita itu. Makanya dia berontak dan melukai KM. Lihat saja luka Spears yang seperti bekas cakaran,” kata Russell.
“Tapi kenapa KM membawa kucing?” tanya Aimee penasaran.
“Entahlah. Mungkin untuk mengelabui seisi rumah. Tapi rasanya terlalu beresiko kalau pelaku membawa seekor kucing besar kalau hanya untuk mengelabui penghuni rumah. Padahal pencuri cukup dengan memakai baju serba hitam dan membawa obat bius,” komentar Dawson.
“Rasanya baru kali ini aku menemukan pencuri macam itu. Yang aku tidak mengerti kenapa wanita itu mencuri peralatan skiku dan harus menculik Jack. Kenapa wanita sialan itu bisa tahu aku membawa peralatan ski kesayanganku dan kita liburan disini. Padahal aku tidak pernah buka mulut ke media massa bahwa ku akan liburan ke Pine House dengan membawa peralata ski yang itu. Ini mustahil hanya kebetulan. Kalau memang begitu, pencuri itu harusnya menggondol uang kita dan menggasak harta rumah ini sampai habis., dan tentu saja dengan tidak harus menculik Jack! Menurutku orang itu punya radar khusus sehingga dia tahu kita liburan disini, di rumah terpencil di Hutan Redwood yang jaraknya 10 mil dari pusat kota terdekat. Ini benar-benar gila!” kata Russell dengan penuh emosi.
“Itulah pertanyaan yang harus kita jawab,” kata Justin.
“Inisial KM itu sama saja dengan Kasus Membingungkan atau Kasus Memusingkan. Pintar sekali dia memilih sepatu,” kata Aimee.
“Kurasa wanita itu tahu disini ada Spears,”komentar Jarvis.
“Kalau memang begitu, KM bukan wanita yang asing bagi rumah ini. Masa pencuri luar yang tidak tahu apa-apa tentang rumah ini bisa tahu disini ada Spears? Siapa wanita yang tinggal disini? Hannah? Tidak mungkin dia yang melakukannya. Lagipula tubuhnya gendut dan berkaki besar. Tidak mungkin kakinya bisa muat dalam sepatu lancip yang berukuran 36,” kata Russell.
“Hannah punya alibi yang kuat. Pagi tadi dia sudah ada di dapur sedang memasak bersama Sylvester,” kata Aimee.
“Ada sebuah petunjuk lagi selain jejak kucing dan sepatu KM,” kata Jarvis.
“Apa lagi itu? Jejak penculik adikku?”
“Ya, Russell. Tadi kami berkumpul di depan kamar Jack. Kami menemukan jejak sepatu besar yang berjejak kasar. Ayo ikut aku, Tussell,”kata Justin. Russell mengikuti langkah keempat oramg itu. Tetapi sebelumnya ia berhenti sejenak di dekat semak tak jauh dari jejak sepatu KM. Di atas semak ia menemukan puntung rokok yang sudah lembab. Di penghisap rokok itu tertulis sebuah kata yang bertulisan mirip huruf biasa tapi agak aneh. Russell memasukkannya ke dalam kantong plastik.
“Hm, puntung ini akan membawaku semakin dekat ke sarang pelakunya. Aku tahu asal rokok ini dari labelnya. Aku tahu tulisan apa ini. Hm, ternyata KM bukan orang sini. Ajaib dia tahu Pine House!”
Seperti yang dikatakan Justin, di bawah jendela kamar Jack terdapat jejak sepatu besar yang tergenangi air. Itu terjadi karena tanah Pine House sangat lembab.
“Jejak sepatu lagi. Apa-apaan ini? Sepatu yang beda, di tempat yang beda pula. Kita memang menghadapi Kasus Memusingkan, Aimee,” kata Russell.
“Ya, begitulah. Detektif memang pantas disuguhi hidangan semacam ini. Tapi seharusnya bukan kita yang terkena masalahnya,” kata Aimee.
Sejenak mereka mengamati jejak itu. Mereka membandingkan antara jejak sepatu KM dengan jejak di bawah jendela kamar Jack.
“Ini satu lagi yang tahu Jack liburan disini. Menurutku ini jejak sepatu pria dewasa.,” kata Dawson.
Russell mengangguk. Ia menginjak jejak itu untuk diukur dengan menggunakan patokan ukuran sepatunya yang cukup besar.
“Lebih besar sedikit dari sepatuku yang bernomor 41. Ini nomor 42. Orang ini harus memiliki tubuh yang tidak jauh lebih besar dari tubuhku,” kata Russell.
“Kau yakin ini sepatu pria? Bukankah wanita juga bisa memakai sepatu boots?” tanya Dawson.
“Aku yakin. Biar ini kujelaskan,” kata Aimee.”KM yang mungil tidak mungkin menggendong Jack yang gendut. Seorang pria biasanya punya kaki yang lebih besar dari wanita dan lebih pas menggunakn sepatu seperti ini daripada seorang wanita. Mereka datang kesini di malam yang sama. Mungkin juga mereka sepasang kekasih, suami istri, atau apa saja yang ada hubungannya dengan kata pasangan. Oh ya Russell, Justin, kalian tidak mendengar ada seorang wanita menjerit dan menggerayangi tasmu?”
Russell dan justin kompak menggeleng. “Tidak…”
Aimee mendengus. “Huh, kalian memang seperti kerbau!”
“Oh ya Jarvis, bolehkah aku minta tolong padamu?” tanya Russell.
“Tentu. Dengan senang hati. Untuk apa?”
“Bisakah aku memintamu untuk melaporkan kasus ini pada polisi? Kami tidak mungkin menyelidikinya tanpa bantuan mereka.”
Jarvis mengerutkan keningnya pertanda sedang berpikir. “Oke. Aku akan membantumu dan kalau ada apa-apa aku siap menjadi saksi. Jadi dengan begini kau tidak perlu melapor lagi. Kebetulan aku akan menemui Sir Rouze di Squaw Valley.”
“Bagus. Kau memang dapat diandalkan. Sampaikan pada Sir Rouze dan Gyordine, siang nanti kami tidak bisa memenuhi undangan, sekiranya sampai kasus ini selesai!” kata Russell.


















BAB 6
PETUNJUK BARU

Jarvis masuk ke Rolls Royce-nya dengan memakai baju yang lebih rapi. Sepertinya dia juga tahu tatakrama yang harus dipakai saat akan bertemu dengan orang-orang penting. Dengan tenang mobilnya meninggalkan Pine House seolah sayang mobil antik itu terkotori genangan air. Setelah mobil hilang di belokan, keempat anak True Friends masuk ke rumah. Russell sengaja menyuruh Jarvis pergi supaya mereka bebas mengungkapkan pendapat-pendapatnya mengenai petunjuk yang ditemukan.
Mereka berkumpul di ruang tamu karena kamar mereka sudah tidak nyaman untuk dipakai. Dari dapur Russell muncul dengan membawa tujuh buah roti isi yang dibuatkan Hannah dan Sylvester. Di meja bundar mereka duduk melingkar dengan serius, kecuali Aimee dan Russell yang asyik menikmati rotinya. Tak ada seorangpun dari mereka yang menegurnya. Bagi semua anggota True Friends hal itu sudah sangat biasa.
“Setelah kupikir-pikir, Rolls Royce itu sangat mencurigakan,” kata Russell di tengah keasyikannya mengunyah roti.
“Kenapa harus curiga, Russell?” tanya Aimee.
“Bisa kujelaskan,” jawabnya serius. “Kalian pasti masih ingat dengan nama pemilik mobil yang dipakai Jarvis itu.”
Mereka mengiyakan dan mencoba mencari alasan dari kecurigaan yang diutarakan Russell.
“Aku masih ingat. Dia Teddy Marquine Koch, orang NY. Apa yang kau sembunyikan, Russell?” tanya Justin.
“Aku menyembunyikan rahasia nomor polisinya. Yang dikatakan Jarvis bahwa Teddy adalah orang NY. Tapi nomor polisinya 99904. Itu adalah nopol asal Kalifornia! Dad pernah bilang padaku seperti itu. Yang meragukan Teddy orang NY adalah nopolnya. Apakah dia memakai nopol Kalifornia selama tinggal di NY? Dia kesini hanya untuk mencari bintang film dan Kalifornia bukan tempat tinggalnya!
“Apakah Teddy mengganti nopolnya setiba di Kalifornia? Itu buang-buang waktu saja bagi orang sesibuk mereka.”
“Dia bisa saja menyewanya dari rental mobil disini, bukan?” tanya Dawson.
“Jarvis tidak menyewa, tapi meminjamnya dari Teddy. Dia juga yang bilang sendiri bahwa Teddy itu adalah orang NY! Apakah dari sana dia membawa mobil itu kesini? Tidak mungkin! Kalau memang iya, nopolnya harus nopol NY. Hanya satu alasan yang masuk akal, Teddy adalah orang Kalifornia.
“Jarvis sudah dua kali menipu kita. Yang pertama darimana Teddy berasal, dan yang kedua tentang pemilik kucing itu. Tadi aku sudah menanyakan pada Sylvester tapi dia mengaku tidak punya kucing russian blue yang bernama Spears! Bukan begitu, aimee?”
“Ya. Tadi Russell bertanya saat membuat roti ini.”
Kedua temannya saling pandang. Mereka merasa cocok dengan pendapat Russell. Itu sungguh sebuah kesimpulan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Kali ini mereka benar-benar memuji kehebatan Russell yang jeli pada hal sekecil apapun, meskipun dia sangat rakus. Belum juga mereka makan roti isi, Russell sudah menghabiskannya dan melanjutkannya dengan memakan biskuit keju.
“Masuk akal, Russell,” kata Dawson. “Sekarang kita punya jawaban kenapa KM dan pria itu tahu kita disini.”
“Teddy memberi pinjaman pada Jarvis dan AZ. Rouze. Secara otomatis Teddy mengetahui kita ada disini. Tapi yang membuatku penasaran, siapa KM dan siapa pula pria bersepatu besar itu? Apa hubungannya dengan Teddy, Jarvis, dan Sir Rouze? Apakah pria itu adalah Teddy atau orang lain? Kenapa Jack harus diculik orang itu? Kalau ingin peralatan skikku dia tidak perlu menculik Jack, bukan?”
“Mungkin orang itu akan meminta uang tebusan padamu. Mungkin orang itu berpikir kau akan melakukan apa saja untuk menebus adik dan peralatan skimu. Uangmu sangat banyak. Rasanya tidak ada yang salah mereka menculik adikmu. Menurutku mereka mencuri bukan untuk dijual karena orang lain sudah tahu tentang peralatan skimu yang itu sehingga dia akan kesulitan untuk menjualnya. Kasus ini agak mirip dengan pencurian Bonsoir dimana pelaku hanya mencurinya untuk suatu tujuan tertentu tanpa menjualnya pada orang lain,” kata Dawson.
“Itu berarti ada tiga kemungkinan. Yang pertama si pencuri bersekongkol dengan Teddy, yang kedua si pencuri adalah Teddy sendiri, dan yang ketiga…Teddy ada main dengan orang dalam di rumah ini,” kata Justin.
“Yang tahu aku akan membawa peralatan ski ke rumah ini hanya orang tuaku, keluraga Jersey, Zhenya, Jarvis, AZ. Rouze, Gyordine Claire, dan mungkin juga Teddy. Kira-kira mana yang paling mencurigakan?” tanya Russell.
“Jarvis dan Teddy!” jawab mereka serempak.
“Tapi untuk apa? Lagipula aku tidak kenal dengan orang-orang itu sebelumnya.”
“Entahlah. Menurutku dia pemain ski yang iri padamu. Makanya KM mencuri peralatan skimu,” tebak Dawson.
“Itu tidak mungkin. Pertandingan ski tiga tahun yang lalu. Seharusnya dia melampiaskannya waktu itu juga. Lantas atas dasar apa lelaki yang menyertainya menculik adikku?” tanya Russell.
“Mungkin ada masalah keluargaatau persaingan antara kau dengan orang lain, misalnya? Atau orang tuamu? Tentunya dengan KM dan pria itu,” tebak Justin.
“Aku tidak punya persaingan dengan siapapun. Hanya Dad yang mengalami itu dengan Morryse Barkeley. Tapi kalau memang pelakunya dia, seharusnya dia meneror Daddy, bukan dengan mencuri peralatan ski dan menculik adikku. Lagipula Morryse tahu darimana kita akan liburan kesini?”
“Kita benar-benar buntu. Satu-satunya jalan adalah dengan mencari tahu siapa itu Teddy Marquine Koch. Kita harus mencuri sarang orang itu,” kata Dawson.
“Tunggu dulu, kawan. Rasanya ada sesuatu yang harus kita benar-benar tahu,” kata Russell. Ketiganya saling pandang. “Apa itu, Russell?”
“Kata Dawson, pukul setengah lima tadi dia mendengar suara langkah.”
“Oh, itu benar, Ski. Aku mendengarnya dengan jelas dari ruangan belakang, ke depan toilet, dan mendengar jeritan tertahan dari kamar kita,” kata Dawson. Mendengar pengakuan Dawson, temannya mulai terlihat berser-seri, kecuali aimee.
“Mungkin itu suara langkahku, Dawson,” kata Aimee, lalu ia menunduk. Ketiga pasang mata kawannya menatapnya dengan tajam dan penuh pertanyaan.
“Langkahmu?” tanya Dawson dengan suara keras. “Aku tak percaya! Tapi untuk apa kau keluyuran pada saat pencurian itu berlangsung?”
“Yang pasti bukan untuk mencuri peralatan ski! Russell itu pacarku! Kau harus percaya padaku,” kata Aimee sewot.
“Oke, tapi kau jangan sewot begitu. Bukan hanya kau yang mondar-mandir di rumah pagi itu. Lagipula aku tidak akan percaya seatompun kalau kau yang melakukannya.”
“Memangnya berapa jenis langkah yang kau dengar saat itu?”
Dawson mengingat-ingat. “Aku percaya padamu, Aimee. Aku hanya kaget saja. Kalau tidak salah ada dua orang yang melangkah dari kamar belakang. Orang yang pertama langkahnya kedengaran seperti langkah wanita dan mungkin itu kau. Yang kedua, kira-kira sepuluh menit kemudian ada langkah berat lewat di depan toilet. Mulanya terdengar dari kamar belakang, tapi berhenti di depan toilet. Tepatnya, langkah itu berhenti di depan kamar Russell yang memang terletak di depan toilet. Seteleh ada jeritan, langkah itu terdengar lagi. Dia menuju ke dapur, mungkin. Lalu aku menengok dari pintu toilet. Barulah aku melihat Spears, tapi tidak dengan orang yang punya langkah berat itu. Juga aku tidak melihat keributan apa-apa di kamar. Russell dan Justin masih tertidur dengan pulas.”
Mendengar pengakuan Dawson, Aimee tertawa. “Kau benar. Langkah yang pertama itu milikku. Tapi yang kedua itu milik Jarvis. Waktu itu aku tidak bisa tidur. Ponsel Jarvis sangat berisik dan dia terdengar ribut-ribut di kamar. Aku menegurnya. Dia minta maaf, lalu mengajakku makan sandwich di dapur. Aku mau. Aku dan Jarvis bertemu di depan kamar, tapi dia menyuruhku duluan ke dapur. Dia akan membawa rokok yang ketinggalan di kamarnya, tepatnya di atas meja. Karena udara dingin dia berencana ingin merokok di dapur.”
Mereka mendengarkannya dengan seksama. Terutama Russell yang begitu bernapsu untuk melacak orang yang membuat liburannya berantakan.
“Apakah kau melihat ada seseorang memasuki jendela kamar kami saat kau keluar kamar?” tanya Justin.
“Sama sekali tidak.”
“Memang benar. Aimee langsung menuju ke dapur. Aku tahu dari langkahnya. Tapi setelah langkah orang kedua, di kamar terdengar sedikit keributan,” kata Dawson.
“Jarvis datang ke dapur dalam waktu 10 menit? Apakah di dapur dia merokok di hadapanmu?” tanya Russell. Aimee melihat ada sedikit kilatan cemburu di mata Russell.
“Ya. Aku selalu menghitung waktu saat menunggu seseorang. Setibanya di dapur dia merokok dan menggodaku. Aku tidak lama di dapur. Setelah sandwichku selesai dibuat aku kembali ke kamar meninggalkannya. Kau cemburu padaku, Russell Ski?”
Mereka tertawa. Wajah Russell tampak memerah. Modalnya ketahuan. “Oh, sangat luar biasa cemburu sekali, Aimee!”
“Jarvis cukup mencurigakan. Tapi dia punya alibi,” komentar Justin.
“Alibinya tidak kuat, Justin. Kau dengar penjelasanku tadi mengenai langkah itu?”
“Oh iya, ya?”
“Menurut pendapatku, 10 menit terlalu lama untuk mengambil rokok dan berjalan ke dapur. Lagipula dia sudah tahu rokoknya ada di atas meja. Dia tinggal mengambilnya tanpa harus lama mencari, bukan begitu? Waktu sebanyak itu sangat cukup untuk membantu pencurian. Buktinya saat Dawson menengok dari toilet mereka sudah lenyap dan hanya meninggalkan seekor kucing. Cukup singkat, bukan? Lagipula Jarvis mengaku kucing itu milik Sylvester. Tapi ternyata pembantunya itu tidak memiliki Spears! Jelaslah betapa brengseknya orang itu! Dia mengajak kita kesini hanya untuk dijadikan umpan!” gerutu Russell. Sesekali ia meninju meja keras-keras untuk melampiaskan amarahnya. Tangannya tampak memar tapi ia tidak mengeluh sakit.
Setelah ia kembali tenang, barulah mereka bicara lagi.
“Masuk akal sekali, Russell,” komentar Justin.
“Oh…Jadi ajakannya makan sandwich itu hanya untuk membuat alibi? Tentu saja itu masuk akal karena dia khawatir aku mengetahui gerak-geriknya pagi itu. Aku kan menegurnya untuk diam. Dia sengaja mengajakku makan untuk mengalihkan perhatianku. Aku melihat dia sangat kesal padaku ketika bertemu denganku di depan kamar,” kata Aimee dengan tak kalah dongkolnya.
“Kemungkinan besar waktu kau ke dapur dia tidak mengambil rokok di kamarnya tapi langsung menemui pencuri itu,” kata Dawson. “Aku tidak mendengar dia berbalik arah.”
“Entahlah. Mau ke kamar lagi atau tidak, jelas dia ikut terlibat karena 10 menit yang ganjil. Rokok bisa saja dipersiapkan sebelumnya di dalam saku. Kau melihat sesuatu berbentuk kotak di sakunya?” tanya Russell.
“Aku tidak melihat bentuk bayangan apapun. Dia memakai celana gunung. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Lagipula aku akan sulit menentukan dimana dia menyimpan rokok dalam saku yang sebanyak itu. Tadi aku tidak memperhatikannya karena aku belum tahu akan terjadi kejadian itu.Lalu bagaimana dengan Spears, Russell?”
“Dia memang dibawa pencuri itu.”
“Dapatkah kita menyimpulkan pelaku wanita adalah orang Rusia? Dari nama kucing itu? Russian. Itu menunjukanasal tempat,” tanya Justin.
“Bisa iya, bisa juga tidak karena di negara ini juga banyak orang yang punya kucing biru macam Spears,” jawab Russell.
“Lalu kenapa orang itu tahu kau membawa peralatan ski yang itu?” tanya Dawson.
“Jarvis terlibat dalam masalah ini. Mustahil ada orang asing yang tahu akan keberadaan kita disini tanpa adanya keterlibatan orang dalam. Sudah Justin katakan tadi, ada persekongkolan dengan Teddy. Untuk mempermudah penculikan adikku, Jarvis menempatkan Jack di kamar paling depan yang berjendela panjang dan terhalang ruang tengah dari kamar kita. Tentu saja dengan cara itu si penculik leluasa beraksi tanpa kita ketahui apa yang dia lakukan pada adikku.”
“Tapi untuk apa mereka melakukan itu padamu?” tanya Justin.
“Entahlah. Hanya mereka yang tahu. Mereka melakukannya dengan sebuah alasan yang kuat.”
“Kenapa KM bisa tahu kau membawa peralatan ski yang itu? Kurasa hanya kau yang bisa menjawabnya. Tentunya dengan logikamu,” kata Justin.
“Tentu saja. Aku tidak akan bilang ini pekerjaan hantu. Tapi aku tidak bisa menduga apakah Sir Rouze terlibat atau tidak. Aku sangat penasaran dengan orang yang bernama Teddy Marquine Koch yang identitasnya masih tersembunyi di balik nopol 99904. Hanya dia orang luar yang kutahui berhubungan dengan Jarvis dan AZ. Rouze.”
“Itu benar. Kita harus mencari identitas orang itu secepatnya. Menurutku KM dan pria itu ada di balik orang yang bernama Teddy. Mungkin juga pria itu adalah Teddy sendiri,” kata Justin.
“Dan ada di balik ini juga,’ kata Russell. Dari saku celananya ia mengeluarkan kantong plastik yang berisi sebatang puntung rokok. Mereka mengamati benda yang ditunjukkan Russell.
“Aku menemukannya di atas semak di samping jejak sepatu KM. Ini milik wanita itu. Meski hanya puntungnya aku kenal dengan rokok ini. Aku mengenalnya dari tulisan bagian penghisapnya. Ini tulisan Rusia dan dibaca Kuhtsevo. Rokok ini dibuat di Kuhtsevo, kota di dekat Moskow. Rokok ini kesukaan kakek Yuri. Tembakaunya gurih dan apabila dibakar akan mengeluarkan asap beraroma rempah-rempah. Setiap perokok pasti menyukainya. Ngomong-ngomong, merek rokok Jarvis itu apa, Aimee?”
“Tidak tahu. Aku tidak membacanya. Asapnya membuatku muak tapi lama-lama aromanya berubah,” jawab Aimee. “Boleh kucium puntung itu? Siapa tahu aromanya sama dengan rokok Jarvis.
Russell memberikan puntung rokok itu, lalu Aimee menciumnya. Seketika air mukanya bereaksi. Cerah dan puas.
“Kalau dibakar pasti asapnya wangi. Apakah di negara ini rokok ini dijual?”
“Rokok ini tidak dijual disini. Ayahku adalah pengoleksi semua jenis rokok yang ada di Amerika. Tapi aku tidak penah melihat satupun rokok Rusia di kotak rokok ayahku,” kata Dawson.
“Orang ini berarti pernah ke Rusia dan membeli rokok ini,” kata Justin.
“Bisa jadi. Tapi untuk memastikan rokok apa yang dihisap Jarvis, mari kita cari di dapur dan tanyakan pada Hannah seberapa lama dia ada di dapur,” kata Aimee. Mereka menerima usul Aimee.
“Oh, Jarvis sangat lama di dapur. Setelah aku selesai memasak baru dia pergi,” jawab Hannah begitu Aimee bertanya padanya. Lalu ia berbisik ke telinganya. “Apakah dia yang membuat kekacauan pagi tadi di kamar Russell?” Aimee mengangguk.
“Oh, tak kusangka.”
“Dimana dia biasanya membuang puntung rokoknya, Hannah?’ tanya Russell.
“Dia merokok terus. Udara memang dingin. Aku menyiapkan asbak di hadapannya. Tapi puntung rokok itu sudah kubuang. Apakah itu penting, Russell?”
“Sangat penting!”
“Seperti apa wangi asap rokok itu?” tanya Russell.
“Wangi rempah-rempah, mungkin. Aku sering menciumnya waktu Sir Rouze dan Jarvis menghisapnya.”
Russell melonjak kegirangan. “Itu dia! Wangi rokok itu cocok dengan rokok Kuhtsevo! Dimana kau membuangnya, Hannah?”
Hannah menunjuk tempat sampah yang ada di dekat bak cuci. Russell segera mencarinya. Benar saja! Ia menemukan tiga buah puntung rokok yang sama dengan puntung rokok yang ditinggalkan KM.
“Jarvis ada hubungannya dengan wanita itu!”
“Tidak mustahil Jarvis dan Rouze punya rokok ini. Mereka kan pernah ke Rusia ketika melihat pameran Quentyne,” kata Aimee.
“Berarti wanita itu juga pernah ke Rusia. Apakah KM itu Gyordine Claire?”tanya Russell.
“Hannah, apakah kau pernah melihat Gyordine merokok?”tanya Justin.
“Entahlah. Tapi selama bersama Rouze aku belum pernah melihatnya. Bahkan ketika mereka sedang merokok dia selalu menghindar.”
“Oh…”
Tiba-tiba ponselnya Russell berdering. Dengan malas ia mengambilnya dan mematikannya.
“Siapa itu, Russell?” tanya Aimee.
“Entahlah. Nomor tak dikenal. Aku tidak akan mengaktifkannya. Aku tidak ingin ada orang iseng yang menghubungiku,” kata Russell.
“Aku akan menggantinya dengan nomor rahasia saja,” kata Aimee.
“Aku juga,” kata Justin dan Dawson. Mereka sepakat untuk mengganti nomor. Sementara itu di rumah neneknya Kylle tengah sibuk menghubungi kawan-kawannya ke nomor yang diketahuinya. Tapi semuanya tidak aktif. Ia membanting ponselnya ke atas tempat tidur dengan kesal. Kylle menangis sambil mendekap boneka beruang pemberian Aimee. Sebuah foto dirinya yang tengah berpose di atas markas Gorila Gila bersama True Friends ditatapnya dengan sedih seolah akan berpisah selamanya. Ia menghubungi teman-temannya karena ada hal yang sangat penting dan berhubungan dengan keselamatan mereka sendiri...
“Sekarang apa tindakan kita?” tanya Aimee.
“Melacak identitas Teddy dari 99904 sebelum Jarvis menampakkan batang hidungnya. Kita harus mengatur siasat tanpa diketahui Jarvis. Lalu kita berkemas setelah terkumpul banyak petunjuk. Kita lanjutkan penyelidikan ini di markas Planet Berisik. Setuju?” tanya Russell.
“Setuju!” Lalu keempat anak True Friends itu menyatukan tangan dan berteriak True Friends siap beraksi! sambil melepaskan tumpukan tangan mereka.










BAB 7
ORANG MISTERIUS YANG SEMAKIN MISTERIUS

Russell menghubungi sheriff Donald Dixon, teman polisinya dengan menggunakan telepon di Pine House. True Friends mengenalnya ketika mereka berhasil meringkus koruptor baru di sekolahnya.
“Selamat siang, Sheriff. Anda masih mengenal suaraku?” sapanya setelah ada suara ramah di seberang telepon.
“Selamat siang, Russell. Aku tidak mungkin melupakan kehebatanmu dan True Friends. Apa kabar?” tanya polisi itu dengan gencar.
Russell tersenyum riang. Tiba-tiba hidungnya merasa terbang setelah dipuji polisi itu. “Beginilah, Sir. Tapi sejauh ini aku baik-baik saja,” jawabnya.
“Syukurlah kalau begitu. Ada apa kau menghubungiku, Ski? Apakah ada masalah besar yang mengganggu liburanmu? Kau sudah libur, bukan?”
“Sudah,” jawab Russell. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum memulai pembicaraannya. “Benar, Sir. Aku ingin tahu pemilik Rolls Royce yang bernomor polisi 99904 yang sesungguhnya.”
Donald Dixon mengerutkan keningnya. Naluri kepolisiannya menangkap ada sesuatu yang tidak beres pada apa yang dikatakan Russell.
“Ya…tapi untuk apa…Russell? Kau punya masalah?”
Russell menarik napasnya lagi, lalu menatap kawan-kawannya. Mereka mengangguk sebagai tanda ia harus segera menceritakan kejadian ini pada polisi itu.
Setelah tenang Russell menceritakan semua peristiwa yang terjadi di Pine House dengan rinci. Donald Dixon mendengarkannya dengan serius.
“Begitulah, Sir. Kumohon, bantu aku…” Polisi itu tidak menyahut ketika terdengar Russell terisak.
“Ini bukan kasus yang mudah, Ski. Kau sendiripun tidak bisa menduga apa alasan orang-orang itu menculik adik dan peralatan skimu. Tapi kami akan membantumu. Percayalah, Ski,” kata Donald Dixon dengan nada prihatin. Russell menghentikan tangisannya. Di sampingnya Aimee berusaha menenangkannya.
“Apakah orang tuamu tahu?”
“Tidak, Sir. Aku takut membuat mereka tertekan. Sebaiknya kau saja yang memberi tahu mereka kalau waktunya sudah memungkinkan. Saat ini Daddy sedang stress. Dia takut misinya kali ini tidak berhasil karena banyak isu sabotase. Kau tahu apa yang akan terjadi kalau misi itu gagal?” Donald Dixon tidak menyahut.
“Mereka sedang berlibur di Aspen bersama bibi Jersey. Aku harap Dad dapat terobati dengan liburan ini dan aku tidak mau membuatnya semakin pusing. Kau tahu maksudku, bukan?”
“Ya, aku mengerti. Sekarang kalian ada dimana? Sebaiknya kalian pulang atau tinggal dengan kami untuk keselamatan kalian. Meskipun masalah ini hanya mengarah padamu tapi kemungkinan besar kawan-kawanmu akan terbawa.”
“Kami masih di Pine House. Sebentar lagi aku akan pulang. Tapi aku tidak mau berdiam diri sementara adikku masih ada di tangan orang-orang jahat. Aku ingin ikut mencari mereka. Aku merasa ada sesuatu yang hanya kuketahui—sedangkan kau tidak mengerti—dari masalah ini. Pokoknya aku akan menyelidiki kasus ini bersama True Friends! Aku memberi tahumu karena rasanya akan aman jika pihak berwenang sudah mengetahuinya.”
“Baiklah kalau begitu,” kata Donald Dixon akhirnya. “Jangan sungkan-sungkan, Russell. Apabila kau memperoleh petunjuk baru, beritahulah kami. Kami akan menyatukan petunjuk yang kami dapat dengan petunjuk yang kalian peroleh. Oh ya, aku akan mencari tahu pemilik mobil itu. Ini akan mudah. Lima belas menit lagi aku akan menghubungimu. Ponselmu aktif?”
“Ya, akan kuaktifkan. Terima kasih, Sir.” Russell menutup teleponnya. Mereka bernapas lega. Polisi sudah tahu dan siap membantu mereka.
Russell dan ketiga kawannya mengemasi barang-barangnya. Setelah kejadian itu mereka berniat untuk pergi dari Pine House karena keselamatan mereka benar-benar terancam. Kali ini mereka tidak percaya lagi dengan orang-orang disana, termasuk ketiga pembantunya Jarvis, Sylvester, Hannah, dan Brueno.
Sebeperti yang dijanjikan sebelumnya, Donald Dixon menghubungi Russell lima belas menit kemudian. Kebetulan ia tahu nomor ponselnya. Ia memberitahukan bahwa pemilik Rolls Royce antik itu bernama Sir Teddy Marquine Koch yang bertempat tinggal di Swanlake nomor 28. Polisi itu berjanji akan menyelidiki rumah itu diam-diam dengan waktu yang berlainan dengan mereka. Hal itu disengaja agar orang-orang itu tidak mencium keterlibatan polisi. Apabila mereka sampai tahu, besar kemungkinan mereka akan lebih nekat dan nyawa Jack semakin terancam.
“Itu perumahan elite. Pantas Teddy punya mobil semacam itu. Ternyata benar dugaan kita. Dia bukan orang NY. Dia orang sini!” kata Justin.
“Benar. Kita harus kesana. Setidaknya kita mendapat petunjuk baru di rumah itu,” kata Russell. Mereka bergegas keluar dengan membawa barang bawaan yang banyak.
Di depan vila terdengar suara mobil menderu-deru lembut. Dari suaranya sudah terduga mobil itu sangat mewah. Dari dalam mobil itu keluar Jarvis. Ia tertegun ketika melihat keempat calon bintang filmnya berdiri di depan pintu dengan semua barang bawaannya. Jarvis menutup pintu mobil dan menghampiri mereka dengan terheran-heran.
“Kalian mau kemana, True Friends?” tanya Jarvis dengan harap-harap cemas. “Bisakah kalian jelaskan semua ini?”
“Pulang. Kami akan menyelidi kasus ini sampai selesai. Percayalah, Jarvis. Di rumah ini tidak ada kata aman. Entah apa lagi yang mereka rencana pada kami,” kata Dawson.
Russell memperlihatkan kantong plastik yang berisi puntung rokok Rusia pada Jarvis. “Ini cukup membuat kami bisa melacak bau pecandunya.”
“Pulang? Kenapa harus terburu-buru? Bagaimana dengan liburan kalian? Bagaimana dengan film itu? AZ. Rouze akan kecewa pada kalian…”
Russell maju selangkah dan memelototi wajah produser film itu dengan sikap menantang. “Itu urusanku! Aku tidak butuh liburan sial ini! Disini adik dan peralatan skiku hilang begitu saja. Kesenangan macam apa yang akan kami dapatkan disini? Kau bilang Rouze akan kecewa? Hah, biarkan saja! Biarkan saja dia mencari pengganti kami. Di NY juga banyak artis. Kenapa harus memilih kami yang masih awam dengan film?”
“Tapi Sir Rouze akan mengontrak kalian! Kalian sangat cocok untuk film itu. Oh Russell, orang tuamu sudah menyetujui penawaran Sir Rouze. Kau tidak berhak memberi keputusan secara sepihak!”
“Siapa bilang tidak berhak? Kau tidak melihat teman-temanku membawa kembali barang-barangnya? Kalau kau cukup pintar, kau pasti bisa menerka apa maksud dari semua ini. Pokoknya, apapun alasanmu…aku…tidak…peduli! Jadi intinya perjanjian kita…batal! Kau dengar? B-a-t-a-l. BATAL! Sekarang antarkan kami pulang! Kalau kau menolak, akan kupatahkan lehermu!”
Jarvis mengangguk dengan ketakutan. Ia menyerah mendengar ancaman Russell. Produser itu tidak menyangka sedikitpun pemain ski itu berani menggertaknya. Padahal selama ini Russell selalu bersikap manis padanya..
Dengan dibantu Sylvester mereka memasukkan barang-barang ke dalam bagasi. Setelah semua masuk ke mobil, dengan gugup Jarvis mengemudikannya sampai tiba di depan rumah Russell.
“Hati-hati, Russell. Kau tidak kenal dengan orang-orang itu,” kata Jarvis takut-takut.
Russell tersenyum mengejek. “Yeah! Tentu. Seumur hidupku aku tidak pernah kenal dengan orang-orang sialan macam mereka. Huh, apa kata dunia kalau aku bergaul dengan orang semacam mereka? Jadi sekarang kau dan orang-orang NY-mu itu jangan pernah menggangguku lagi. Kalau kau bandel, aku akan membeli samurai untuk mencincang dagingmu sampai halus! Mengerti, Nak?”
Russell dan kawannya masuk, lalu menutup gerbang setinggi sembilan kaki dan meninggalkan Jarvis yang semakin marah. Dari kejauhan mereka mendengar Jarvis menancap gas keras-keras dan menyumpahi Russell dengan ancaman yang mengerikan. “Sial! Kubunuh kau, Russell!”
“Kau kasar sekali, Russell. Ingat, orang itu bisa membahayakanmu sewaktu-waktu,” kata Justin.
“Bagaimana bisa aku berlaku sopan pada orang yang terlibat menculik adikku? Kalau dia ingin membunuhku, hah, silahkan! Setiap orang berhak punya keinginan. Aku tidak takut pada orang itu. Aku hanya takut pada Tuhan!”
Justin kembali bungkam. Ia tidak mengerti seperti apa sifat Russell yang sebenarnya. Terkadang Russell bisa berlaku sangat tenang, tegar, jeli, periang, tapi bisa menjadi sangat rapuh apabila jiwanya benar-benar tertekan. Tapi suatu waktu ia pun bisa berubah menjadi monster yang menakutkan! Keras kepala, judes, seenaknya, dan tidak kenal ampun.
Mereka masuk ke rumah. Disana tidak ada siapa-siap selain pembantunya. Agak lega juga Russell. Tetapi ketiga pembantunya tak luput menanyakan Jack dan mengapa mereka pulang dengan barang bawaan yang banyak. Russell terpaksa berbohong supaya mereka tidak banyak tanya. Ia cukup bilang Jack bersama Jarvis dan barang-barang itu akan disimpan di rumah karena liburan tidak jadi satu minggu. Mereka merasa janggal akan pengakuan Russell. Tetapi niatnya untuk bertanya lebih jauh diurungkan setelah membaca suasana hati Russell yang tidak mendukung.
Russell masuk ke rumah Paltrow yang terletak di samping rumahnya untuk menemui Felix. Ia adalah anak pertama Paltrow yang disekolahkan ayahnya Russell sampai ke perguruan tinggi. Russell mencarinya utnuk membantunya mengemudikan mobil dan mengantarnya ke alamat Teddy Marquine. Russell tidak berani mengemudi sendiri karena belum memiliki surat izin. Kebetulan hari Rabu Felix tidak ada jadwal kuliah. Ia bisa mengawalnya selama tiga hari.
Felix ditemukan sedang membersihkan kolam ikan di belakang rumahnya. Dari ambang pintu Russell bersuit nyaring. Seketika pemuda bertubuh kekar itu menoleh ke arahnya, lalu tersenyum riang. Dengan segera ia menghampiri Russell walau bajunya basah kuyup.
“Kau sudah pulang, Ski? Katanya liburan satu minggu,” kata Felix.
“Bantu aku, Felix. Kumohon…Aku punya masalah besar dengan produser itu. Tapi percayalah, kami bukan penyebabnya. Aku belum siap untuk mengemudi. Aku tidak bisa konsentrasi untuk itu. Hari ini benar-benar kacau, Felix. Aku seperti hidup di tengah-tengah kawanan makhluk asing.”
“Sebenarnya ada apa ini, Ski? Justin? Dawson? Justin?” tanyanya semakin kebingungan.
“Nanti kujelaskan di jalan. Kami minta kau mengantar kami ke Swanlake. Sekarang kau siap-siap. Aku akan membawa makanan dulu,” kata Aimee.
Mereka masuk ke dapur. Sekantong besar makanan dan berbagai macam peralatan diangkut ke dalam mobil jeep yang bertulisan True Friends dan bergambar keenam anggotanya.
“Kalian tidak mengajak Dexter?” tanya Felix yang telah berpakaian rapi.
“Tidak. Anjingku sangat rakus. Dia tidak boleh menghabiskan jatah makanku,” jawab Russell tandas.
Tengah hari mereka berangkat ke Swanlake. Tempat itu berupa perumahan mewah yang terletak di kaki Pegunungan Rocky yang berhawa sejuk. Dari tempat itu mereka dapat melihat puncak-puncak gunung bersalju yang menantang. Di tengah kawasan itu terdapat sebuah danau yang selalu dipenuhi angsa putih. Mungkin itu sebabnya wilayah ini disebut Swanlake.
Felix menghentikan mobilnya di depan rumah nomor 28. Sejenak mereka mengamati rumah itu. Rumahnya tampak mewah dengan gaya Eropa dan berhalaman luas yang dipagar setinggi enam kaki.
Di seberang rumah itu terlihat seorang wanita tua duduk di depan rumahnya sambil merajut. Ia tampak serius dengan pekerjaannya. Dengan hati-hati Aimee mengetuk pintu pagar.
“Permisi,” sapanya ramah. Wanita itu menoleh ke arahnya. Dari balik kacamata tebalnya ia mengamati gadis itu dengan penuh tanya. Ia tampak ramah dan menyenangkan. “Selamat siang, Nyonya.”
“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu, Nak?”
“Begini, Nyonya. Apakah benar itu rumah Teddy Marquine Koch?” tanya Aimee sambil menunjuk rumah di seberang jalan. Wanita itu mengerutkan keningnya.
“Teddy? Kurasa disini tidak ada orang yang bernama Teddy,” katanya dengan nada kebingungan. Mendengar pengakuan wanita itu, kini giliran Aimee yang kebingungan. Ia sungguh tidak percaya dengan pengakuannya.
“Bukan…rumah Teddy? Lantas itu rumah siapa? Benarkah alamat ini?” Aimee memperlihatkan secarik kertas yang berisi alamat rumah Teddy pada wanita itu.
“Alamat ini memang benar, Nak. Tapi rumah itu bukan milik Teddy. Itu rumah keluarga Cruz. Dua bulan yang lalu mereka mambelinya dari seseorang,” jawabnya.
“Seseorang? Seseorang siapa?” tanya Aimee penasaran.
“Entahlah. Aku tidak pernah tahu pemilik rumah itu sebelumnya. Padahal aku sudah tinggal disini selama empat puluh tahun. Mereka orang yang sangat tertutup. Kalau dengan keluarga Cruz aku mengenalnya dengan baik.”
Aimee manggut-manggut. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Nyonya. Permisi.” Wanita itu tersenyum, lalu melambaikan tangannya. Ia sangat terkesan dengan gaya bicara dan kesopanan gadis cantik yang belum pernah dikenalnya itu.
“Bagaimana? Apakah ini benar rumah Teddy?” tanay Russell.
“Bukan. Ini rumah keluarga Cruz yang dibeli dari seseorang yang tidak diketahui namanya. Entah itu Teddy, enatah itu hantu.”
Mereka saling pandang. “Benar-benar misterius,” komentar Felix. Ia sudah tahu seluk beluk masalah ini dari Russell. Ia menceritakan semuanya ketika Aimee bertanya pada wanita tua itu.
BAB 8
Un Femme

“Tapi kita tidak perlu pusing. Kita hanya mencari orang yang ada di balik nomor polisi 99904. Aku yakin pemilik rumah terdahulu adalah Teddy, hanya saja wanita itu tidak tahu dan Cruz membelinya dari dia. Kita tanyakan saja yuk!” kata Justin.
Mereka masuk ke halaman rumah milik keluarga Cruz. Rumah itu bergaya manorade colonial yang dibangun kira-kira tahun 1920, tetapi dekorasinya lebih modern.
Suasana rumah begitu sepi. Meskipun mereka sudah mengetuk pintu sebanyak lima kali tetapi tidak ada seorangpun yang membukakan pintu. Di samping jendela besar terdapat tobol bel. Russell tersenyum geli. Huh, bodoh sekali.
Setelah ia memijitnya, pintu itu dibuka oleh seorang anak laki-laki yang disusul oleh seorang anak perempuan berkuncir yang tampak seperti adiknya. Dari wajahnya yang polos anak itu diperkirakan berumur dua belasan. Si anak perempuan berambut pirang pucat tersenyum riang ke arah Russell sebelum memeluknya dengan erat. Felix dan True Friends terheran-heran.
“Mommy, Daddy!” teriak mereka dengan gencar. “Ada Russell Stanley! Pemain ski nomor satu dunia datang! Kemarilah Dad, Mom!” Kedua anak itu semakin mempererat pelukannya. Sedangkan Russell masih bingung.
“Ah, kau jangan bercanda, Cathy! Kau jangan ikut Shaloom mengerjaiku, oke?”
Walaupun tidak percaya dengan omongan kedua anaknya, tak urung mereka keluar untuk memastikan siapa orang bertamu ke rumahnya sore itu.
Kedua orang itu mendadak berhenti tak jauh dari tempat anaknya berdiri. Mereka menatap Russell dengan takjub seperti melihat raja yang berkunjung ke rumahnya.
“Russell Ski! Kaukah ini Russell Stanley Fedorovski? Oh…ya Tuhan, kau benar-benar Russell Ski!” seru wanita itu sambil meraba-raba wajahnya.
Russell nyengir tak karuan. Wajahnya memerah seperti buah apel yang tertata rapi di atas meja ruang tamu. Ia tidak menyangka hari itu akan bertamu ke rumah penggemarnya.
“Ya, saya Russell Ski. Maaf, saya mengganggu. Saya ada sedikit keperluan dengan anada, Sir,” kata Russell sambil mengangguk dengan hormat. “Apakah ini benar rumahnya keluarga Cruz?”
“B…bb…benar, benar! Ini rumah keluarga kami,” kata pria itu dengan gugup bercampur gembira. “Saya sendiri Cruz Hunter. Senang bertemu dengan anda, Russell Ski.” Russell menerima jabat tangannya.
“Ini istri saya Kitty dan ini dua anak saya, Shaloom dan Catherine.” Mereka melambaikan tangannya.
“Hai, Russell Ski.”
“Oh, hai juga Shaloom dan Cathy.”
Mereka dipersilahkan masuk dan duduk-duduk di ruang tamu yang dindingnya penuh dengan lukisan yang indah. Kedua anaknya Pak Cruz duduk mengapit Russell di kursi tengah seolah tidak ingin terpisah dari idolanya.
“Kau tampan sekali, Russell,” puji Cathy.
“Ah, kau bercanda saja,” kata Russell malu-malu.
“Bolehkah aku minta tanda tanganmu?” tanya Shaloom.
“Tentu. Dengan senang hati. Dimana?”
Mereka berlari ke kamarnya. Tak lama kemudian mreka muncul dengan membawa pakaian ski berwarna perak dan sebuah buku tebal yang bagus.
Barang-barang itu disimpan di hadapan Russell. “Wow, baju ski yang bagus. Coba kulihat, buku apa ini?” tanya Russell. Shaloom dan Cathy tersenyum malu-malu saat Russell membukanya dengan mata yang berbinar-binar. Setelah dibuka ternyata buku itu berisi kliping tentang ski yang menyangkut dirinya. Ia melihat fotonya ketika masih bayi sampai foto terbarunya yang disebarkan ke media massa. Russell tersenyum haru setelah buku itu ditutup. Sementara itu mereka terseyum-senyum bangga.
“Ya Tuhan, sebanyak inikah koleksimu? Sejak kapan kalian mengumpulkan ini?” tanya Russell.
“Semenjak kau dikenal semua orang sebagai pemain ski terhebat,” jawab Cathy. “ayolah, aku ingin kau menanda tangan disini.” Cathy menyerahkan pakaian ski itu padanya. Russell menerimanya dnegan ragu.
“Tulisanku jelek. Aku tidak mau merusak bajumu.”
“Kami sengaja membelinya. Aku selalu memimpikan baju ini ditandatangani oleh pemain ski nomor satu,” kata Shaloom. Ia menyimpan spidolnya di tangan Russell. Sepertinya ia benar-benar menginginkan Russell memenuhi permintaannya. “Aku akan memamerkannya pada teman-temanku di sekolah.”
Russell mengalah. Ia menandatangan di punggung baju itu dan di sampul klipingnya. Demikian pula dengan Felix dan kawannya. Mereka mempunyai kesempatan yang sama dengan Russell. Gara-gara jumpa fans mendadak mereka hampir lupa akan maksud utama datang ke rumah ini.
“Kebetulan kamu datang kesini. Aku ingin minta sesuatu padamu, boleh?” tanay Cathy ragu-ragu.
“Boleh. Apa itu?”
“Bisakah kamu melatih kami bermain ski?” Russell termangu beberapa saat, lalu melirik teman-temannya. Tapi mereka tidak berkomentar apa-apa.
“Bisa, tapi tidak sekarang. Dokterku belum mengizinkan aku untuk melatih. Aku hanya diperbolehkan bermain biasa tanpa harus ngebut. Kau mungkin tahu keadaanku. Tapi jangan khawatir. Kalau aku sudah siap, aku akan mengabari kalian. Kalau kalian mau, bergabunglah dengan klub ski kami.”
Russell memberikan sebuah kartu nama pada Shaloom. Mereka membacanya.
Klub ski dan adventure Alpineverest
“Untuk anda yang berjiwa petualang”
AS-Swiss-Rusia
Pelatih:1. Stanley Raymond F. Romanovich
2. Russell Stanley Fedorovski
3. Maddox Preston
Anda berminat? Daftarkan diri anda segera!
“Wow! Siapapun akan tertarik. Mengapa namanya Alpineverest?” tanya Pak Cruz.
“Alpine diambil dari ski karena ski itu ada tipe alpine dan tipe nordic. Everest berasal dari nama puncak gunung tertinggi di dunia. Semua pengelola Alpineverest telah berhasil mendaki sampai ke puncaknya, tapi aku hanya sampai ke ketinggian 6000 kaki karena aku masih terlalu kecil dan tidak sekuat mereka. Kami berharap Alpineverest bisa menjadi yang tertinggi.”
“Aku ingin dilatih oleh Russell! Aku ingin menjadi anggota Alpineverest!” kata Cathy dengan penuh semangat, disambut teriakan kakaknya.
“baiklah kalau begitu. Aku punya sedikit kejutan untuk kalian. KArena kalian juga memberi kami banyak kejutan yang luar biasa dan sangat menyukai ski, maka kalian bebas berlatih di Alpineverest selama kalian mau dengan hanya membayar nol dolar perbulan. Bagaimana? He…he…he…”
Mereka saling panding dengan perasaan tidak percaya. Mereka tidak menyangka akan diberi kejuatan oleh idolanya sendiri tanpa harus membayar satu sen pun!
“Oh ya, Pak Cruz. Ngomong-ngomong lukisan itu siapa yang membuat?” tanya Aimee setelah sekian lama tidak ikut mengobrol. Mereka menoleh ke arah lukisan yang ditunjuk Aimee.
Memang di ruang tamu itu banyak lukisan yang dipajang. Semuanya dilukis oleh pelukis profesional dan tampak hidup. Tetapi hanya satu yang paling indah dan menarik perhatian anak-anak True Friends. Lukisan berukuran dua meter itu bergambar seorang gadis bangsawan bergaun putih yang tengah duduk di bangku taman bersama seekor anjing maltese dan memegang seikat bunga tulip. Jauh di belakangnya berdiri seorang seniman muda yang tengah menatapnya dengan terpesona.
Mereka tahu itu adalah lukisan karya Quentyne yang berjudul Un Femme yang dibeli oleh pengusaha hotel di Oakland, Jackquest Cardin dengan harga lima ratus ribu dolar. Yang mengherankan, mengapa lukisan itu bisa ada di rumah Pak Cruz yang dulunya milik Teddy Marquine Koch?
“Oh, lukisan-lukisan ini?” tanya Pak Cruz.
“Ya, Sir. Lukisan yang banyak ini,” kata Aimee.
“Ini semua karya-karya Rolland Marquine. Semuanya bagus. Tapi sayang Rolland meninggal dalam usia yang masih muda. Padahal dia bisa sekaliber Quentyne. Pedihnya lagi, ayah Rolland menghilang dari Prancis setelah anak dan istrinya meninggal dalam kecelakaan pesawat di Bermuda. Sudah enam tahun mereka tidak ada kabarnya sama sekali. Mereka seperti hilang ditelan bumi. Bahkan tak satupun lukisan di galerinya di Prancis yang tersisa. Semua ikut lenyap bersama ayahnya.”
“Anda kolektor lukisan?” tanya Dawson.
“Bukan. Lukisan-lukisan ini sudah ada dari semenjak aku membeli rumah ini dari Jacquest Cardin. Orang itulah yang kolektor. Dia pecinta lukisan. Dulu rumah ini untuk kekasihnya, tapi tidak cocok. Makanya dia menjualnya padaku. Kebetulan aku suka dengan arsitektur sepeti ini.”
Mereka terkejut mendengar pengakuan Pak Cruz bahwa rumah itu dibeli dari Jackquest Cardin, bukan dari Teddy Marquine Koch.
“Lho, ini kan rumah Teddy. Bukan rumah Jackquest. Rolls Royce itu yang menjadi petunjuknya. Kenapa bisa jadi begini, Russell?” tanya Aimee keheranan. Mereka juga sam-sama bingung.
“Aneh. Seharusnya pemilik terdahulu rumah ini sama dengan nama pemilik Rolls Royce itu. Kenapa jadi berbeda? Ada apa ini? Apakah Teddy dan Jackquest itu orang yang sama?” gumam Russell.
“Mungkin juga iya. Tapi…tunggu dulu! Kalian ingat dengan perkatan Jarvis waktu kita ke Pine House dulu? Menurut dia, Teddy adalah teman akrab Sir Roze dan Jacquest Cardin! Ini jelas berhubungan, Russell,” kata Justin.
“Itu benar. Tapi aku sangsi kalau Teddy mengatasnamakan rumah ini dengan nama temannya. Padahal menurut Pak Cruz rumah ini untuk kekasihnya. Bisa saja kan, dia memakai nama kekasihnya untuk kepemilikan rumah ini.”
“Justru itu yang membingungkan. Menurutku Teddy dan jackquest adalah orang yang sama,” kata Aimee.
“Bisa juga. Mereka selalu berganti-ganti nama di atas kepemilikan sebuah benda. Aneh, bukan?” kata Felix.
Pak Cruz dan keluarganya diam-diam memperhatikan pembicaraan mereka. Makin lama makin penasaran sampai akhirnya Pak Cruz berani menanyakan hal itu pada mereka.
“Kalau boleh tahu, sebenarnya ada apa, Ski?”
“Kasus besar, sir. Makanya kami datang kesini untuk melakukan penyelidikan. Mungkin suatu saat nanti pasti ada polisi yang akan melakukan hal yang sama dengan kami. Kami hanya ingin tahu pemilik rumah ini sebelum dibeli oleh anda. Teddy atau Jackquest? Tapi keduanya punya bukti kuat akan kepemilikan rumah ini. Teddy daru nopol mobilnya dan Jackquest dari lukisan Un Femme itu,” jelas Russell.
Mau tidak mau ia menjelaskan kasus yang menimpanya agar keluarga itu tidak terkejut. Setelah mendengar penjelasannya mereka mengangguk-angguk dengan wajah muram seperti yang ikut menyesal tetapi tidak tahu harus nerbuat apa. “Begitulah, Sir. Aku sudah merasa benar-benar hancur.”
“Oh…Kami turut menyesal akan kejadian ini. Aku juga sangat menyesal karena pernah berhubungan dengan orang yang kalian duga sebagai biang kerok kekacauan itu.”
“Tidak apa-apa, Sir. Tapi anda harus siap jika ada polisi yang akan kemari. Mereka juga akan melakukan penyelidikan. Tapi tidak bersamaan dengan kami. Aku tidak mau orang-orang itu mencium adanya campur tangan polisi. Aku percaya keluarga anda tidak terlibat dalam kasus ini.”
“Oh ya, Russell. Pulsamu masih banyak?” tanya Justin tiba-tiba setelah lama menatap lukisan Un Femme.
“Masih. Untuk apa, Justin?”
“Berikan ponselmu padaku! Aku akan mencari alamat pemilik terdahulu rumah ini sebelum malam turun. Kau kan tahu kalau sudah malam aku tidak bisa bekerja serius. Aku hanya bisa serius di tempat tidur.”
“Bagaimana bisa?”
“Gampang! Dari lukisan Un Femme. Aku akan mencarinya di internet, sayang! Aku bisa mencari daftar pemilik lukisan-lukisan terkenal dalam google. Mungkin Pak Cruz tahu alamat Jackquest tapi siapa tahu orang itu memberikan alamat palsu. Sudah terlihat bukan, nama orang itu berubah?”
“Kau pintar, Justin,” puji Russell.
“Semua orang juga tahu aku pintar. Ah, yang benar saja ponsel canggih begini tidak kau gunakan. Internetnya connect, bukan?”
“Tentu tinggal diklik saja tombol yang dekat joystick itu.”
Kira-kira pukul empat sore mereka informasi alamat itu. Di monitor tampak daftar pemilik lukisan ternama secara alfabetis.
“Nah, itu Un Femme!” kata Russell sambil melonjak kegirangan, seolah tidak sabar.
“Oke, oke. Nah, ini dia!” kata Justin dengan semangat.
“Ini dia sarang teroris sialan itu. Tuh kan, dia punya banyak rumah. Tapi syukurlah, namanya tidak berubah. Jadi pemilik Un Femme adalah Jackquest Cardin yang beralamat di Vallery Street no 26 Crawley Valley. Kalian kenal alamat ini?”
“Mana kutahu! Aku tahu Crawley Valley, tapi tidak dengan alamat itu. Kita bisa mencarinya lewat GPS atau peta. Tempat itu tidak terlalu jauh dari Alpineverest,” jawab Russell.
“Oh ya, Sir. Kurasa kami harus pamit. Kami harus menyelidiki kasus ini sampai tuntas. Kami hanya punya sedikit waktu,” kata Dawson.
“Baiklah. Semoga kalian berhasil, True Friends. Kami akan selalu berdoa untuk kalian,” kata Pak Cruz.
“Semoga kalian berhasil. Aku ingin Russell segera bermain ski lagi dan dapat melatih kami,” kata Kitty.
“Tunggu dulu. Kita belum foto-foto. Maukah kalian berfoto bersama kami?” tanya Cathy. Di tangannya terdapat sebuah kamera.
Sekali lagi mereka memenuhi keinginan kedua anak itu. Di depan kamera mereka bergaya layaknya model yang sedang melakukan pemotretan. Bahkan dalam kesempatan ini Dawson sengaja memakai kacamata hitam ala John Lenonnya untuk sedikit bergaya.
“Cis!” katanya sambil bergaya di depan keempat kawannya. Russell menepuk punggungnya. “ Kau menghalangiku!”
“Aktor terganteng memang harus berpose di depan, Russell.” Mereka tertawa. Lalu memukulinya ramai-ramai dengan bantal.





















BAB 9
ANCAMAN

“Lumayan, Ski. Kau mendapat anggota Alpineverest yang baru,” kata Dawson setibanya di luar gerbang rumah keluarga Cruz.
“Begitulah. Kurasa aku akan senang melatih mereka. Menurutku mereka tidak patut kita curigai. Mereka hanya pembeli rumah peneror itu. Lagipula sikap mereka tidak mencurigakan,” kata Russell.
Ia mengambil ponsel dan menghubungi Donald Dixon untuk melaporkan hasil penyelidikannya. Polisi itu pun menyebutkan mereka tengah melakukan penyelidikan di Pine House. Di rumah itu mereka hanya menemukan ketiga pembantunya Jarvis tetapi produser film itu tidak ditemukan. Untuk sementara ketiga pembantu itu menjadi saksi dan tinggal di kantor polisi. Mereka melihat ada perbedaan antara Jarvis dengan pembantunya. Ketiga orang itu polos dan bicara apa adanya sehingga polisi melindunginya agar tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadap mereka.
Jeep True Friends meninggalkan kompleks perumahan Swanlake dan berhenti di sebuah restoran yang terletak tak jauh dari perumahan itu. Disana mereka melepas lelah dengan makan malam. Mereka memesan sirloin steak, kentang goreng, dan teh lemon hangat. Tetapi di acara santai seperti itu ada saja orang yang berani mengganggunya. Diantaranya ada sekelompok orang yang meminta foto dan tanda tangan Russell, juga anak-anak True Friends. Sepertinya kejadian itu tidak pernah lepas dari kehidupan mereka. Sebagai teman dari pemain ski nomor satu dunia setiap saat mereka pun harus siap dengan keadaan seperti itu.
“Sekarang kita tidur dimana, Russell?” tanya Justin.
“Di Alpineverest. Lagipula lokasinya cukup dekat dengan Crawley Valley,” kata Russell.
“Kesana? Sejauh itu, Ski? Kau tidak sedang mengigau?” tanya Dawson.
“Ya, sejauh itu. Sekarang pukul tujuh. Kalau tidak macet, kita akan tiba disana pukul sepuluh. Kita bisa mengambil jalan bebas hambatan,” kata Russell, mulai mengatur lagi.
“Itu lebih baik, Ski. Besok kita tinggal ke Crawley Valley dengan jarak yang cukup dekat. Lagipula tidur disana tidak perlu membayar uang sewa,” kata Justin memperkuat ide Russell. “Coba keluarkan peta kita, Ski.”
Russell mengambil selembar peta negara bagian Kalifornia yang besarnya hampir seluas meja restoran. Peta itu dilipat-lipat supaya tidak menghabiskan tempat.
“Tadi kita di Swanlake, sekarang di restoran ini. Dalam peta kira-kira disini. Nanti kita Alpineverest dan besok ke Crawley Valley,” kata Russell dengan telunjuk menari-nari di atas peta menunjukkan lokasi. “Kita mengambil jalur bebas hambatan yang ini, lalu ke Alpineverest lewat jalan yang ini. Nah, Crawley Valley disini, kira-kira enam mil dari klub ski kita.”
“Oke. Usul yang baik. Sekarang mari kita siap-siap menempuh perjalanan panjang,” kata Felix. Ia beranjak dari duduknya hendak membayar ke kasir.
Setelah membayar mereka kembali ke mobil yang diparkir di depan restoran. Malam itu salju turun dengan lebat, padahal baru beberapa hari memasuki musim dingin. Jalan, atap rumah, dan pepohonan tampak memutih. Beberapa mobil pembersih salju tampak sibuk menyingkirkan salju dari badan jalan agar pengemudi tidak mengalami kesulitan. Mereka berharap tidak akan terjadi badai salju di Alpineverest.
Pada malam hari suasana arena ski agak sepi. Hanya beberapa orang yang sedang berkumpul dan ada juga yang menghabiskan malam dengan berdiang di depan perapian. Malam itu udara sungguh dingin, hampir di bawah no derajat. Berkali-kali Felix menggosok-gosok dan meniupi tangannya. Ia menyesal tidak memakai baju yang setebal keempat kawannya. Dari hidungnya keluar uap berwarna putih ketika menghembuskan napasnya.
Mereka berbelok ke dalam hutan cemara untuk menghindari kumpulan orang dengan menelusuri gundukan salju lembut. Jauh di puncak gunung tampak bangunan besar yang terlihat hitam di kejauhan dengan lampu-lampunya yang berkilat-kilat seperti cahaya bintang. Itulah Alpineverest. Mereka dapat mencapai tempat itu dengan menggunakan kereta gantung.
“Kita tidur di Chomolungma?” tanya Justin.
“Tidak. Kita tidur di markas Chomolungma,” sanggah Russell.
“Sama saja, bukan?”
“Oh, tidak. Chomolungma itu gunung Everest atau Godness Mother of the World, tapi kalau markas Chomolungma itu tempat tidur kita di Alpineverst. Yang benar saja sekarang kita mendaki Everest untuk tidur.”
Justin nyengir. “Ah, pusing! Terserah kau saja.”
Malam itu Alpineverest tampak sepi. Tak ada seorangpun yang terlihat. Padahal biasanya selalu ramai sampai dini hari. Yang lebih mengejutkan lagi di depan pintunya terdapat tulisan besar berwarna hitam.
Maaf, untuk sementara Alpineverest ditutup karena situasi tidak memungkinkan.
Latihan rutin diundur sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Untuk informasi lebih lanjut hubungi kami. Terima kasih.
Hormat kami,
Stanley, Russell, dan Maddox
Mereka memandang Russell, bingung. Russell menggeleng-gelengkan kepala. Memo di depan pintu yang dibuat Stanley cukup membuatnya kaget. Selama ini ia tidak tahu kalau Alpineverest akan tutup dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Padahal ia pengelola sekaligus pelatih tetap selain Stanley dan Maddox, yang juga seharusnya tahu.
Tak jauh dari bangunan itu terlihat seorang pria setengah baya melintas dengan memakai pakaian tebal.
“St, st! Sini!” panggil Russell dengan suara berbisik. Pria itu menoleh, lalu menghampiri Russell dengan ragu-ragu.
“Ada yang bisa saya bantu, Russell Ski?” tanya pria itu.
“Kenapa Alpineverest ditutup, John? Kemana Stanley dan Maddox sekarang?” tanya Russell. Rupanya ia mengenal orang itu. Johnny Clark adalah petugas kebersihan dan piket siang di tempat itu. Tapi entah mengapa malam itu ia masih bebas keluyuran.
“Mereka sedang rapat besar, Ski.”
Russell mengerutkan keningnya. “Rapat besar? Memangnya apa yang dimusyawarahkan mereka malam-malam begini? Kenapa aku tidak diberitahu?”
John mendesah seperti ada sesuatu yang tidak beres. “Sore tadi Stanley mendapat berita teror bom dari seseorang. Makanya dia menutup klub ski ini untuk keselamatan banyak orang. Ini keputusan mendesak. Stanley tidak memberitahumu karena dia sedang kalut dan tidak mau membuatmu khawatir. Di dalam sudah ada FBI. Istrinya Stanley yang mengundang mereka kesini. ”
“Apa? Alpineverest diteror bom?” Mereka mematung denagn tubuh yang tegang. John menunduk dengan mata sesekali memandang Russell yang tengah mencengkeram kepalanya kuat-kuat.
“Kenapa hari ini banyak teror? Peralatan skiku sudah hilang, Jack diculik entah oleh siapa, dan sekarang Alpineverest akan dibom seseorang!”
Russell menjambaki rambutnya sendiri dengan penuh emosi. Tak lama kemudian terdengar ia berteriak histeris dan memukuli pohon cemara dengan sekuat tenaga. Darah segar yang mulai membasahi tangannya tidak ia pedulikan.Kini teman-temannya menjadi kalang kabut. Mereka mencoba menenangkannya tapi Russell malah semakin menjadi-jadi.
Ia duduk bersandar di bawah pohon. Tangannya yang berlumuran darah menutupi wajahnya. Ia menangis dan berteriak-teriak histeris. Ketika Felix merangkulnya, ia sudah lemas.
“Russell sayang, tenang. Ini aku Felix. Russell? Russell?” Ia mengguncang-guncang tubuhnya. Tetapi Russell tidak kunjung membuka matanya. Ia tak sadarkan diri.
“Kenapa Russell, Felix?” tanya mereka dengan cemas. Felix menggeleng lemah. Mereka terpaku dalam kecemasan dan kebingungan.
“Aku akan membawanya,” kata Felix akhirnya. “John, sebaiknya kau ikut kami. Kami butuh penjelasanmu mengenai masalah ini. Tapi kau jangan beritahu siapapun kalau kami ada disini tanpa seizin kami. Sekarang kau kerahkan anjing-anjing untuk menjaga tempat ini.”
Tanpa banyak tanya lagi ia melakukan apa yang diperintah Felix. Setelah semuanya beres meraka masuk ke markas lewat jalan rahasia. Untunglah Stanley tidak mendengar keributan di luar. Padahal teriakan Russell cukup membuat seisi kompleks perumahan terbangun.
Setibanya di kamar Russell dibaringkan di atas tempat tidur. Ia tampak pucat dan berkeringat dingin. Pakaian tebalnya dibuka dan diganti dengan pakaian tidur yang hangat.
Setelah Russell ditidurkan mereka kembali berkumpul. True Friends juga akan mengadakan rapat besar-besaran seperti yang sedang dilakukan Stanley. Mereka yakin tidak akan ada yang mendengar karena masing-masing punya kesibukan sendiri.
“Sekarang aku mau tanya, John. Kira-kira siapa yang meneror Stanley?” tanya Aimee, memulai pembicaraan.
“Entahlah. Penror itu menghubungi Stanley lewat telepon. Setahuku peneror itu seorang pria yang bersuara agak nyaring dan berbahasa Inggris dengan aksen yang agak aneh. Itu bukan ancaman kosong. Makanya istrinya Stanley meminta bantuan FBI untuk menyelidiki kasus ini. Oleh karena itu mereka menutup klub ski ini,” jelas John panjang lebar. “Oh ya, sebaiknya Russell tidak boleh berkeliaran kemana-mana. Di luar banyak mata yang mengincar keberadaannya. Apalagi kondisinya sekarang seperti ini. Peneror itu sangat menginginkan kematian Russell dan Stanley, juga kehancuran Alpineverest.”
“Tapi Russell adalah kunci utama dari semua masalah ini. Sebelum ini, peralatan ski istimewanya dan Jack diculik di Pine House. Menurut kami hanya dialah yang bisa memahami kasus ini dengan baik karena pelaku hanya fokus pada Russell. Tanpa kehadiran dia, kami buntu. Bahkan polisipun mengandalkan keterangan dari Russell,” kata Dawson. “Apakah orang tuanya Russell sudah tahu akan masalah ini?”
“Entahlah. Mungkin belum karena masalah ini masih dalam proses pengembangan awal. Siapa tahu teror bom itu tidak benar-benar terjadi.”
“Kami berharap begitu. Kasihan sekali Russell. Dia syok. Kalau aku yang menjadi Russell mungkin aku juga akan seperti itu,” kata Justin.
“Kira-kira siapa orang bicara dengan aksen agak aneh itu? Kau pernah mendengar seseorang yang bicara seperti itu di tempat ini?” tanya Aimee.
“Aku tidak tahu. Aku tidak pernah mendengar orang yang beicara seperti itu disini, kecuali kau. Nada bicaramu agak beda dengan orang sini. Mungkin itu aksen Eropa. Ah, entahlah. Aku orang awam yang tidak tahu apa-apa.”
Aimee tertawa kecil. “Well, tentu saja aku beda. Kau lupa, aku orang Inggris. Aku datang kesini karena pertukaran pelajar dan karena Russell. Keluargaku adalah teman baik Fedorovski. Dadda kenal dengan Pak Tom ketika kuliah dan menjadi sahabat sejati. Seperti True Friends, begitu.”
“Aaa…mommy…Jack…” Russell mengigau. Tak lama kemudian ia membuka matanya perlahan. Dengan hati-hati Felix membangunkannya dan menyandarkan punggungnya di atas bantal yang telah ditinggikan.
“Syukurlah kau sudah bangun, my skier,” kata Aimee. Ia tersenyum manis dan menatapnya dengan pandangan iba. Ditatap seperti itu Russell semakin pasrah. Ia merasa seperti orang yang paling terpuruk sedunia. Ia menutup sekujur tubuhnya dengan selimut, lalu dalamnya ia kembali terisak.
Tiba-tiba ponselnya berdering. “Tolong ambilkan ponselku, Dawson.”
Dawson memberikannya. Seseorang menghubungi Russell. Tapi ia tidak mengenal nomor itu. “Halo...,” sapanya dengan suara yang pelan.
“Halo, Russell Stanley. Hm, bagaimana hari-harimu, sayang? Menyenangkan, Bukan?” Dari seberang terdebgar seorang pria bicara dengan aksen Eropa. Russell mengernyitkan keningnya sambilo memperhatikan kelima orang yang ada di kamar itu. Tangisannya reda seketika.
“Bukankah ini pentas drama yang hebat, hm? Ha…ha…ha…Tidak salah. Kau memang aktor yang berbakat, Russell. Oh…sangat fantastis! Aku akan membayarmu dengan sangat mahal kalau kau memerankannya dengan brilian dan penuh penghayatan. Aku punya penawaran khusus, bagaimana kalau sekarang kau datang padaku dan bersenang-senang? Ha…ha…ha…Ayolah Ski, jangan nakal begitu. Kau tahu, kalau kau bandel bagiku kau sangat menggairahkan! Hmuuuaah! Ha…ha…ha…!” kata orang itu dengan nakalnya, disusul oleh suara tepuk tangan mengejek dari belakangnya.
Lama-lama amarah Russell tersulut juga. Ia meloncat dari tempat tidurnya. “Heh, siapa kau brengsek? Kalau kau memang laki-laki yang jantan, tunjukkan mukanmu! Jangan paksa aku untuk menindakmu dengan dengan Moskow!” bentak Russell. Kali ini ia benar-benar merasa gemas. Rasa sakitnya hilang seketika setelah ada orang yang mempermainkan perasaannya. Kelima orang itu hanya bengong. Teror adalah obat yang paling ampuh untuk membangkitkan adrenalin Russell.
“Siapa dia? Jangan-jangan orang yang meneror Alpineverest,” kata John. Russell menggeleng. Lalu me-loadspeaker ponselnya supaya mereka bisa mendengarnya.
“Sudahlah, Ski. Jangan emosi begitu. Adikmu aman padaku, asal kau jangan buka mulut pada siapapun. Terutama pada polisi! Kau akan tahu akibatnya! Mengerti, Nak?”
“Mana Adikku, keparat?”
“Hu…hu…hu…Kau memang tidak berubah, ya? Judes sekali kau. Tenang sajalah. Marah cepat tua, lho….Kau tahu, krim anti-agging itu sangat mahal. Rileks saja. Jangan kau habiskan masa mudamu dengan marah-marah begitu. Tapi… semakin marah suaramu semakin menggoda. Kau mau kunobatkan sebagai pria terseksi, hm? Oh, Russell Ski. Dagingmu pasti sangat empuk.” Russell dan teman-temannya mengepalkan tinjunya saking jengkel.
“Jack aman bersamaku, Russell. Tapi kalau kau meminta bantuan pada polisi dan tidak menemukan adik dan peralatan skimu dalam waktu 18 jam dari pukul enam pagi besok, maka Alpineverest akan hancur. Kalau tidak bisa, kau dan teman-teman akan…KEK! Mati! Ha…ha…ha…Mati! M-a-t-i. MATI! Kau dengar itu, sayangku?”
“Mana adikku?” tanya Russell dengan nada yang lebih tenang tapi mendalam.
“Kau mau mendengar suara adikmu? Oh, baik, baik. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Bukankah aku orang baik, yang siap menerima perintahmu, hm? Baiklah kalau begitu. Attendez un…maksudku, tunggulah sebentar!”
“Mana adikku? Bunuh saja aku kalau itu memang maumu, asal kau jangan sentuh adikku! Bunuh saja aku, keparat!”
“Sudahlah. Jangan teriak-teriak seperti itu. Kau tidak tuli. Kalaupun kau tidak meminta, aku pasti akan melakukannya. Baiklah, tunggu saja tanggal mainnya. Aku akan mengabulkan permintaanmu untuk membunuhmu. Aku akan menusuk jantungmu dengan tongkat skimu yang ada di tanganku.”
Pembicaraan mreka teputus. Selang beberapa detik kemudian terdengar suara anak kecil diseret paksa dan berteriak-teriak minta tolong. Russell mendengarnya dengan pedih.
“Russell! Russell! Aku disini! Tolong aku! Mereka jahat, Russell!” Russell menatap ponselnya dengan mata yang berbinar-binar. Dengan ragu ia memegangnya.
“J…Jack…? Kaukah..itu Jack? Ini Russell. Kau dimana? Russell akan mencarimu. Kau dimana Jack, adikku? Jawab aku, Jack,” kata Russell dengan suara yang parau menahan tangis.
“Tolong aku! Russell…Tolong aku…Aku ada di kota O…hm!!” Pembicaraan mereka kembali terputus. Sesaat sebelum ditutup terdengar Jack dibekap seseorang. Russell menunduk sedih. Adiknya akan menyebutkan dimana ia disekap oleh penculik itu. Russell kembali terisak. Felix memeluknya dengan erat.
“Sudahlah, Russell. Adikmu akan baik-baik saja. Aku tahu kau sedih. Perasaanmu sama seperti kami. Jadi kumohon, kau jangan menangis. Percayalah. Kami tidak akan meninggalkanmu sendirian. Kami akan membantumu walaupun nyawa kami sebagai taruhannya. Kita sama-sama sedang terancam. Tapi aku yakin Tuhan selalu ada di pihak kita. Kumohon, jangan menangis lagi, Ski.”
“Baiklah. Aku janji,” kata Russell sambil menyeka air matanya. “Adikku ada di suatu tempat yang diawali dengan huruf O.”
“O? Apa itu O? Oklahoma? Omaha? Odessa? Oakland? Oregon? Oh…O, dimana kota O?” tanya Justin.
“Entahlah. Tapi kota O ya…terletak di O. Dimana lagi?” kata Dawson bingung.
“Aku yakin orang yang meneror Alpineverest dan peneror yang tadi masih yang itu-itu jaga,” kata Justin.
“Mungkin. Ah, lebih baik kita tidur saja. Kita hanya punya waktu 18 jam untuk menemukan Jack dan peralatan skinya Russell. Besok kita harus bangun pukul empat, sebelum orang-orang Alpineverest bangun,” kata Dawson.
“Kau akan tidur dimana, John?” tanya Aimee.
“Aku akan pulang ke rumah.”
Russell memandang ke luar jendela. Hujan salju kembali turun, tapi tidak selebat tadi. “Kau lebih baik tidur disini saja. Alpineverest punya banyak kamar. Kau bisa memilih salah satunya yang paling kau sukai.”
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Russell Ski.”
Setelah John pergi, mereka tertidur. Di luar hujan salju semakin lebat. Butiran-butiran halusnya sesekali jatuh menimpa kaca. Udara dingin menyelusup dari celah jendela. Russell menarik selimutnya kembali. Ia tidak bisa tertidur nyenyak. Kalaupun matanya sempat terpejam, ia kembali terbangun setelah mimpi-mimpi buruk hadir menghantui tidurnya. Ia dirundung rasa takut. Sedang apa Jack sekarang di tempat penyekapan itu? Apakah ia disekap disebuah ruangan pengap? Sudah makankah ia hari ini?
Perlahan air matanya kembali berurai. Hujan salju yang semakin deras mengiringi isak tangisnya semalam penuh.















BAB 10
RUMAH DI CRAWLEY VALLEY

Pukul empat dini hari mereka terbangun. Setelah mandi dengan air panas dan berpakaian rapi mereka turun dari kamar lewat jalan yang kemarin dilalui. Dengan menggunakan kereta gantung mereka tiba di lembah dan langsung menuju mobil yang diparkir di rerimbunan pohon spruce, tak jauh dari jalan raya. Rencananya pagi itu mereka akan makan di jalan dan menuju ke Crawley Valley yang berjarak sekitar enam mil.
Aimee mengeluarkan makanan dari ranselnya. Sat persatu mereka dibagi sebuah sandwich besar, segelas air mineral, dan sebotol susu. Mereka terpaksa sarapan sepagi itu karena mungkin nanti tidak ada waktu luang untuk makan. Mereka harus berpacu dengan waktu untuk mnemukan tempat dimana Jck dan peralatan ski Russell disembunyikan.
Setelah selesai sarapan, mobil mulai melaju dengan kecepatan 50 mil per. Felix mengemudikan mobil itu dengan melihat peta karena ia tidak terlalu mengenal daerah yang akan ditujunya.
“Sekarang kita benar-benar ke sarang orang itu,” kata Felix.
“Kurasa beitu, Felix,” kata Russell. “Maafkan aku, teman. Karena aku kalian jadi ikut terlibat dalam bahaya ini.”
“Kata True Friends tidak akan berarti apa-apa kalau kami membiarkanmu bergelut dengan masalah ini sendirian. Kami adalah temanmu, Russell. Apapun yang terjadi padamu, kami turut merasakannya,” kata Justin. Russell tersenyum bahagia. Justin menepuk pundaknya untuk memberikan semangat. “Terima kasih.”
“Aku punya ini, Ski. Siapa tahu bermanfaat,” kata Dawson sambil memperlihatkan sekotak panah kecil yang terbuat dari kayu merah dengan untaian benang merah menyala pada pangkalnya. “Kebetulan aku membawa lima puluh buah panah bius. Ini biasa digunakan oleh orang pedalaman di Afrika untuk memburu binatang. Panah ini hanya membius selama sejam, tidak sampai mematikan. Ayahku yang memberiku panah ini.”
Russell menerima kotak kayu itu dan membukanya. “Wow, bagus sekali ini. Tapi kau simpan saja. Kalau kita memerlukannya barulah kau keluarkan. Ranselku sudah penuh.” Dawson memasukkan kotak itu ke dalam ranselnya.
“Apa isi ranselmu, Russell?” tanya Aimee.
“Tali carmantle, satu webing, belati, jaket, pemantik api, dan keripik.”
“Kau mau panjat tebing, Russell?” tanya Felix.
“Tidak. Hanya untuk jaga-jaga. Siapa tahu adikku disembunyikan di atas menara. Alat ini akan berguna, bukan? Kalau tidak, ya…untuk mengikat komplotan itu juga bisa. Aku akan menggantung mereka dengan alat ini.”
Seperempat jam kemudian mereka masuk ke kawasan Crawley Valley. Jalanan masih lengang. Rumah-rumah penduduk yang terlindung di balik pepohonan masih terang benderang da belum terlihat ada aktivitas. Hanya beberapa ekor anjing jalanan yang bebas berkeliaran di luar.
Felix membelokkan mobilnya ke jalan yang lebih sempit dan beraspal mulus. Ia memarkir mobilnya di balik rerimbunan semak supaya kehadiran mereka tidak tercium oleh penduduk sekitar. Dengan mengendap-endap mereka menelusuri jalan setapak menuju ke bagian belakang rumah nomor 26 milik Jackquest Cardin. Keadaan yang gelap dan dibantu oleh cahaya bulan yang remang-remang membantu mereka untuk bergerak lebih leluasa tanpa harus menyalakan senter. Berkali-kali Dawson yang menjadi petunjuk jalan memberikan kode-kode tertentu untuk membagi tugas. Mereka mempercayai Dawson karena ia yang paling lihai menunjukkan tempat di kegelapan malam.
“Aku tidak akan ketahuan mereka. Perlu kalian ketahui, orang yang berkulit seperti aku sangat sulit ditemukan di tempat segelap ini,” bisik Dawson. Mereka nyengir dalam gelap.
“Uh, aku menyesal sekali harus mandi sepagi ini. Padahal tadi aku mandi dengan air hangat,” keluh Justin sambil menggosok-gosokkan tangannya. Di kegelapan teman-temannya bisa mendengar gigi anak itu gemeletuk.
“Sebaiknya kau jangan mandi. Bau sedikit masih bisa dimaklum. Kau tidak akan kuat menahan dingin karena kau tidak punya cukup cadangan lemak sepertiku,” kata Russell. “Kau pakai saja jaket punyaku. Ini lebih tebal dari jaketmu.” Justin memakai jaket yang diberikan Russell kepadanya. Barulah setelah itu ia hangat.
Mereka berhenti di sudut tembok belakang yang tersembunyi. Disana terdapat sebuah jendela berjeruji besi yang tidak tertutup gorden. Diam-diam mereka menengok ke dalam. Tetapi tidak ada orang di dalam rumah itu.
Rumah Jackquest Cardin tampak berbeda dari yang lain. Rumanhnya yang bergaya Victoria berdiri kokoh pada sebidang tanah yang ditumbuhi bunga-bunga perdu yang tertata rapi dan berpagar kayu oak yang dicat putih. Dinding rumahnya terbuat dari batu bata merah dan di atapnya terdapat dua cerobong asap. Tetapi rumah itu tidak berpenghuni. Apalagi letaknya terpencil dari rumah-rumah penduduk.
“Kita jangan ceroboh. Kita harus waspada. Rumah ini memang gelap dan sepi. Kita harus ingat ini rumah penjahat. Siapa tahu mereka sedang memancing kita atau masih tidur dengan lampu dipadamkan. Lihatlah. Rumah ini tidak terlalu kotor. Ini ada penghuninya. Untuk memancing mereka, kita perlu membuat membuat kejutan,” kata Russell.
Russell memungut sebua batu sebesar kepalan tangannya. Lalu dilemparkannya ke pintu depan. Secepat kilat ia berlari ke belakang. Setelah beberapa menit ditunggu ternyata tidak ada seorangpun yang keluar dari rumah itu. Padahal lemparannya cukup keras untuk membangunkan tidur yang sepulas apapun.
“Rumah ini kosong. Biasanya penjahat akan mudah curiga dengan sesuatu yang mengejutkan mereka. Kita aman! Ayo kita masuk. Kita cari jendela atau apa saja asal kita bisa masuk,” kata Russell.
Mereka kembali mengendap-endap. Kebetulan jendela depan tidak bejeruji. Dengan mudah Felix mencongkelnya dengan sepotong besi. “Kita memang berbakat jadi maling. Lihat diri kita,” kata Felix setibanya di dalam. Mereka nyengir.
Dengan bantuan senter kecil mereka dapat mengetahui seisi ruangan. Mereka sengaja tidak mneyalakan lampu supaya tidak dicurigai orang luar maupun orang dalam yang tidak terjebak oleh pancingan mereka. Mereka melihat ruangan rumah itu tampak mewah dan penuh barang-barang antik. Lantainya terbuat dari marmer dan dindingnya dipajangi belasan lukisan Rolland Marquine. Tetapi mereka tidak mempedulikannya. Mereka lebih tertarik untuk memasuki kamar utama dari rumah itu. Menurut mereka, kamar utama biasanya dipakai pemilik rumah dan banyak rahasia pribadi yang tersimpan disana.
Di kamar itu mereka melihat hiasan dengan model yang sama dengan di ruang tamu. Disana terdapat sebuah ranjang besar yang kokoh yang ditutupi kain warna ungu mengkilat, dua lemari besar, meja tulis, televisi besar berlayar datar, komputer, kamar mandi pribadi, bar kecil, dan sebuah meja rias yang dipernis mengkilap. Dinding-dindingnya dipajangi banyak lukisan koleksi pribadi Rolland Marquine dan sebuah lukisan keluarga Napoleon Bonaparte karya Quentyne yang ditancapi panah-panah kecil.
Russell mendekati lukisan itu dan membolak-baliknya. Di balik lukisan itu terbaca olehnya sebuah kaliamat pendek yang tidak sedap dibaca. Si Pembuat Kehancuran. Russell mengerutkan keningnya seolah sedang berpikir.
“Apa maksudnya? Apakah Quentyne menilai Napoleon itu seorang penghancur? Untuk apa? Dia kan orang Italia. Apakah waktu itu Italia dan Prancis musuhan? Menurutku Napoleon tidak membuat kehancuran bagi negaranya, justru dia membuat Prancis lebih baik daripada masa pemerintahan Raja Louis.”
Russell kembali meneliti lukisan itu lebih cermat. Di sudut kirinya terdapat tulisan Napoleon, Quentyne, Paris 1999.
“Nah, ini dia judul aslinya. Hm, aku yakin tulisan tidak sedap itu dibuat Jackquest. Tapi apa maksudnya?” Russell mengeluarkan ponselnya dan memotret lukisan itu.
Sementara itu keempat kawannya menggeledah laci-laci dan Justin membuka file-file komputer itu. Tapi gagal. Ia tidak menemukan data apapun yang setidaknya dapat memberikan petunjuk yang akan mempermudah penyelidikan mereka.
“Huh, orang itu tidak ceroboh menyimpan rahasia. Disini aku hanya menemukan kata-kata gombal yang tidak berguna. Bacalah ini—Oh mawarku, sudikah engkau kupetik untuk menghiasi rumahku? Sudikah kupu-kupu malang sepertiku hinggap di mahkotamu yang menawan? Untuk menyegarkan diriku yang tengah tersesat di padang Sahara, dengan manis madumu—Oh…ho…ho…ho…Penjahat ini sedang jatuh cinta rupanya. Kira-kira wanita macam apa ya, yang dicintai orang misterius ini?” tanya Justin seraya mematikan komputer itu.
“Entahlah. Mungkin wanita seperti KM,” sahut Dawson.
“Hai, lihat ini! Aku menemukan foto keluarga!” seru Aimee yang sedang mengacak-acak laci meja rias. Seketika mereka berkumpul mengelilingi Aimee. Dengan sinar senter yang kecil mereka dapat melihat ketiga orang yang sedang berpotret diri, dua orang laki-laki dan seorang wanita bergaun merah. Russell merebut foto itu dari tangan Aimee dan memperhatikannya.
“Kurasa laki-laki tua ini Jackquest Cardin,” tebak Russell.
“Ya, mungkin. Sekarang masukkan saja foto itu ke sakumu. Disini terlalu gelap untuk mengamati foto. Bahkan untuk melihat lubang hidungmu pun aku hampir tidak bisa,” kata Justin.
“Nanti kita pecahkan semuanya di Planet Berisik karena kurasa kita sudah punya banyak petunjuk. Lalu sepulang dari sini kita temua Donald Dixon,” kata Dawson.
“Foto ini akan membawa kita ke pelakunya!” kata Russell. “Tapi aku kecewa. Tadi aku berpikir adikku ada disini. Tapi ternyata disini kosong. Adikku masih di suatu tempat yang dimulai dari huruf O yang letaknya entah dimana.”
“Kami pun begitu, Russell. Selama delapan belas jam itu aku yakin kita akan berhasil,” kata Aimee.
Setelah mendapatkan yang mereka inginkan dari kamar utama mereka keluar menuju ruang tamu. Disana mereka duduk-duduk sambil memperhatikan seisi ruangan dengan senter kecilnya.
Aimee beranjak dari duduknya begitu melihat kotak kaca di atas lemari kecil yang berisi macam-macam botol minuman keras . Tangannya yang ramping mengaduk-aduk isi kotak itu sampai semua isinya berantakan. Ia penasaran dengan kotak yang penuh dengan pemantik berbagai bentuk dan puluhan rokok yang beranekaragam merek.
Dari dalam kotak itu dikeluarkannya semua rokok yang masih berisi penuh. Melihat ulah Aimee mereka menghampirinya. “Rokok apa yang kau cari, Aimee?” tanya Felix.
“Rokok kesukaan KM, buatan Kuhtsevo.”
Mendengar jawaban Aimee mereka ingat akan puntung rokok yang ditemukan Russell di Pine House. Dengan teliti mereka memeriksa puluhan rokok itu yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, dan Prancis. Dari kesemua jumlah rokok hanya satu yang bertulisan agak aneh dan berbahasa yang tidak dimengerti. Russell nyengir melihatnya.
“Ini dia. Ternyata orang ini juga punya rokok Rusia. Berarti orang ini pernah ke rusia dan memang ada hubungannya dengan KM. Bisa jadi orang ini yang menyertai KM untuk menculik adikku,” kata Russell.
“Benar, Russell. Penghuni rumah ini yang menculik adikmu. Jackquest bukan orang NY seperti yang Jarvis katakan. Dia benar-benar orang Kalifornia seperti yang kita duga. Nopol mobilnya tidak bisa dibohongi. Lagipula ada buktikuat lainnya. Lihatlah ini,” kata Justin sambil menunjuk rak sepatu di samping perapian tak jauh dari tempatnya berdiri.
Russell memeriksa rak sepatu itu. Terlihat olehnya sepasang sepatu lancip berhak pendek, belasan sepatu kanvas, dan sepatu boots besar. Russell membalikkan sepatu lancip dan boots yang dicurigainya. Tampak olehnya di bawah sepatu lancip itu tulisan KM yang agak tertutupi lumpur tanah yang sudah kering dan bernomor 36, sama dengan boots yang bernomor 42 itu.
“Ini sepatu KM!” teriak Russell dengan girang. Mereka mengerumuninya.
“Ya! Itu memang benar-benar sepatu KM! Lihatlah ini. Rupanya wanita liar itu tidak sempat mencuci sepatunya. Tanahnya juga halus, sama seperti tanah di Pine House yang becek,” kata Dawson.
“Sekarang aku ingat sepatu ini berasal dari mana. Inisial KM ini singkatan dari Koulanovna-Moskwa. Dibuat di Moskow oleh dua orang pengusaha sepatu wanita terkemuka Koula Mostakovich dan Gailovna Miroslav Pulcherova, tapi disingkat Koula-Novna dan Moskwa adalah Moskow. Kenapa ya, aku baru ingat sekarang? Padahal mom juga punya sepatu seperti ini. Dad yang membelikannya kalau ke Rusia,” kata Russell dengan senyum puas.
“Ah, kau pikun sekali, Russell,” ledek Dawson.
Aimee meninggalkan keempat kawannya yang tengah sibuk dengan sepatu itu ketika ia melihat sesuatu yang menarik pehatiannya. Di atas rak surat kabar ia melihat sebuah majalah hardcover yang bergambar Russell sedang mengangkat peralatan ski istimewanya dalam jumpa pers dua minggu yang lalu di Aspen. Itu majalah Ski, edisi spesial.
Dengan penasaran ia membukanya walaupun ia sudah membacanya berulang kali di rumah Russell. Ia tidak menemukan majalah Ski edisi lainnya. Hanya satu-satunya. Ia penasaran mengapa orang itu hanya punya satu majalah edisi spesial yang di dalamnya menyangkut jumpa pers Russell.
Tetapi langkahnya berhenti di halaman utama. Sebuah berita yang judulnya digarisbawahi dan teksnya yang penuh dengan goresan spidol warna merah dibacanya. Sang Nomor Satu Russell Ski Kembali Berlaga.
“Hai, aku menemukan ini!” Mereka serempak menoleh ke arah Aimee.
“Bukankah itu berita jumpa persku? Mengapa ditandai spidol merah?” tanya Russell, lalu merebut majalah itu dari tangan Aimee.
“Itulah anehnya. Kurasa ini sebuah petunjuk. Mari kita baca apa yang ditandai Jackquest pada berita ini,” kata Aimee.
Mereka sama-sama membacanya. Dalam berita itu juga memuat hasil wawancara dengan keluarga Russell dan True Friends. Juga memuat beberapa foto yang menerangkan perkembangan kondisi Russell dari mulai proses evakuasi saat kecelakaan ski berlangsung sampai pada saat ia mengangkat peralatan ski istimewanya dua minggu yang lalu.
Berita yang berisi rencana Russell bermain dengan peralatan ski istimewanya pada musim dingin tahun ini serta petikan wawancara dengan Pak Tom tampak digaris bawahi dengan tebal.
Ski : “Apakah anda bahagia Russell akan bermain ski tahun ini?
Bagaimana kesan anda terhadap Russell, Jack, dan Stanley?”
Sir Thomasevich: “Aku sangat bahagia. Permainan perdana putraku di tahun ini akan sangat menghiburku. Akhir-akhir ini aku sangat disibukan oleh isu sabotase pada Jupiter Bright dan aku hampir frustasi. Dengan kembalinya Russell bermain ski, pikiranku akan jernih kembali. Satu ketakutan telah berlalu, tinggal menghadapi yang satunya lagi. Aku sangat menyayangi Russell, Jack, dan Stanley. Mereka putra-putraku yang hebat. Aku akan benar-benar hancur kalau mereka terenggut begitu saja dariku….”
“Aku tidak mengerti mengapa orang itu menggarisbawahi petikan wawancara Ski dengan Dad. Kalau yang pada bagian rencanaku, itu bisa kupahami. Jackquest memanfaatkan berita itu untuk melancarkan aksinya,” kata Russell.
“Entahlah, Russell Ski. Yang pasti ini adalah sebuah petunjuk. Kita harus membawa potongan berita ini dan menunjukkannya pada polisi,” kata Justin. Russell memasukkan majalah itu ke dalam ranselnya.
Ponsel berdering. Donald Dixon menelepon. Ia mengabari tentang proses investigasinya dengan ketiga pembantu Jarvis. Hannah mengaku bahwa Gyordine Claire orang Rusia yang bertemu dengan AZ. Rouze di lokasi pameran lukisan Quentyne. Ia kurang mengerti dengan pengakuan Hannah mengenai kewarganegaraan Gyordine. Tapi Russell mengerti seratus persen. Polisi itu juga telah bertolak ke rumah Pak Cruz malam tadi. Keluarga itu baik-baik dan tidak dicurigai.
Russell pun memberitahu petunjuk apa saja yang didapatkannya di Crawley Valley dan berjanji akan ke menemuinya siang nanti.
“Gyordine ternyata orang Rusia.Tapi namanya bukan nama orang Rusia.Tadinya aku berpikir dia turunan Prancis,” kata Russell. “Dari petunjuk itu aku punya dugaan bahwa KM adalah Gyordine Claire karena hanya dia satu-satunya wanita orang dalam yang tahu dimana Pine House berada dan aku membawa peralatan ski yang itu. Kurasa Rolland Marquine pun ada hubungannya dengan kasus ini.”
“Kenapa? Pelukis itu kan sudah mati. Apa hubungannya?” tanya Dawson.
“Dia memang sudah mati. Tapi karya-karyanya ini yang bicara. Di setiap rumah orang itu dipenuhi oleh lukisan Rolland Marquine. Bahkan oleh koleksi pribadi yang tidak dijual. Setidaknya orang itu punya ikatan tertentu dengan Rolland. Kalian pasti ingat apa kata Pak Cruz. Lukisan-lukisan Rolland yang ada di galerinya hilang bersamaan dengan lenyapnya ayah pelukis itu. Lalu aku menemukan lukisan Napoleon karya Quentyne di rumah ini yang ditancapi panah dan bertulisan Si Pembuat Kehancuran. Sebenarnya rahasia besar apa yang tersimpan dalam fenomena seperti ini?” kata Russell.
“Menurut pendapatku, Rolland adalah keluarga Jackquest Cardin. Alasannya karena dia menyimpan banyak lukisan pribadi Rolland. Selama ini aku belum pernah mnemukan kolektor yang menyimpan begitu banyak lukisan ini. Mengenai Si Pembuat Kehancuran, itu sangat memungkinkan Rolland adalah keluarga orang itu. Kita harus tahu, pada saat meninggal Rolland sedang panas-panasnya bersaing dengan Quentyne. Maka dari itu keluarganya sangat membenci Quentyne yang telah menghancurkan mimpi Rolland untuk menjadi pelukis terbaik di Eropa Selatan. Menurutku mungkin itulah alasan Jackquest menulis kata-kata itu dan menancapi lukisan Quentyne dengan panah.
“Tapi aku tidak tahu apa hubungannya Jackquest dengan Rolland. Aku hanya menebak saja, karena ulah orang itu menunjukkan kebencian pada Quentyne. Aku jadi berani berasumsi bahwa Jackquest adalah keluarga Rolland. Aku jadi ingat akan kasus pencurian di Rusia. Tapi ini tidak cukup bukti untuk menuduh Jackquest terlibat dalam pencurian itu. Mungkin saja Jackquest itu penggila Rolland fanatik sehingga membenci karya orang lain,” kata Aimee panjang lebar.
“Sebuah penjelasan yang bagus. Kau simpan di otak mana penjelasan itu?” tanya Justin.
“Aku simpan didalam sandwich.”
“Bisakah sekarang aku menebak bahwa Jackquest adalah ayahnya Rolland Marquine yang hilang itu?” tanya Russell.
“Alasannya?” tanya Aimee.
“Jackquest Cardin pernah menyamar dengan memakai nama Teddy Marquine Koch. Disana ada kata Marquine, sama dengan nama Rolland Marquine. Lagipula semua lukisan di galerinya hilang bersamaan dengan lenyapnya ayahnya. Dan sekarang, kita melihat banyak lukisan dan juga koleksi lukisan pribadinya yang disimpan di rumah-rumahnya Jackquest. Ironis sekali, bukan?” kata Russell.
“Tapi mana mungkin dia membawa semua lukisan itu dari Prancis ke Amerika. Pasti banyak orang yang curiga dan dia tidak dinyatakan hilang begitu saja,” kata Dawson.
“Zaman sekarang banyak imigran gelap, bukan? Semua hal-hal yang ilegal bisa diurus dengan mudah. Banyak warga negara asing yang berjaya di suatu negara padahal dia hanya penduduk gelap. Masalah lukisan bisa diatur. Apa susahnya, tinggal dilepas dari bingkainya lalu dimasukkan ke dalam koper besar dan di lain waktu bisa dibingkai ulang,” kata Russell.
“Kok jadi membicarakan Rolland?” tanya Felix heran.
“Entahlah. Tapi kami merasa ini berhubungan dengan kasus yang itu,” kata Justin. “Mari kita kerja lagi dan potret semua petunjuk. Kita tidak boleh merusak rumah ini. Setelah pemotretan, kita beresi lagi tempat ini.”
“Tapi aku akan mengambil sepatu imi,” kata Russell sambil memperlihatkan sepasang sepatu lancip dan boots besar.
“Terserah kau saja. Itu bagus,” komentar Aimee.

















BAB 11
TERJEBAK

Mereka melepas lelah di ruang tamu. Waktu delapan belas jam masih utuh di tangan mereka. Tapi mereka sangsi dapat menemukan Jack dan peralatan skinya Russell dalam waktu sesingkat itu. Sedangkan mereka maupun polisi belum mendapat petunjuk apapun yang menunjukkan lokasi penyekapan yang kotanya dimulai dari huruf O. Kota yang diawali dengan huruf O itu banyak dan letaknya saling berjauhan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dari luar rumah terdengar suara mobil menderu-deru lembut. Seketika mereka terperanjat kaget. Mereka terpojok di ruang tamu dan tidak ada pikiran untuk mencari tempat bersembunyi. Mereka kalut dan bingung harus berbuat apa.
“Si…ss..sia…siapa…siapa…diluar?”tanya mereka dengan gugup dan saling berpegangan tangan. Tak lama kemudian terdengar suara pintu mobil yang ditutup kasar dan disusul oleh langkah yang cepat dan semakin mendekat.
“Siapa itu?” bisik Aimee.
“Lihatlah keluar!” perintah Justin.
Dengan langkah perlahan Aimee mendekati jendela dan membuka gorden merah bata yang menutupinya dengan sangat hati-hati. Terlihat olehnya seorang pria bertubuh tinggi yang bermobil Rolls Royce antik melenggang sambil memutar-mutar kunci di telunjuk kirinya. Aimee ternganga. Secepat kilat ia lari menemui teman-temannya dengan sikap yang panik.
“Jarvis! Jarvis datang! Dia di depan pintu!” bisik Aimee dengan ribut tak karuan seperti kakek-kakek kebakaran jenggot.
“Apa? Jarvis di luar?” Aimee mengangguk serius.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Justin tak kalah paniknya.
“Sembunyi!” kata Dawson.
“Dimana?” tanya Felix.
“Aku tidak tahu! Kalaupun aku bisa mengecil aku bisa sembunyi di dalam lubang hidungmu!” jawab Russell.
Krek, krek!
Pintu dibuka Jarvis dengan cepat sehinggga mereka tidak sempat bersembunyi.
“Terlambat! Tidak ada cara lain, Russell. Kita sambut saja kedatangannya. Kau punya ide?” Justin.
“Sedang kupikirkan. Aku tidak mau orang itu membunuhku disini. Aku ingin bertemu dengan Jack dulu sebelum dia benar-benar akan mencabut nyawaku.”
Mereka mematung dengan tegang. Jarvis yang baru masuk terperenjat melihat kehadiran mereka di rumah itu. Ia merasa heran bagaimana bisa anak-anak itu tahu rumah Jackquest Cardin disana. Padahal ia tidak pernah memberitahu sebelumnya.
“Hai…True Friends. Apa yang kalian lakukan di rumah ini?” tanya Jarvis. Ia tampak gelagapan dan bicaranya sangat ragu. Wajahnya memucat tetapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. “Lewat jalan mana kalian masuk kemari?”
“Anu…em, Jarvis, maafkan kami,” kata Aimee tak kalah gugupnya dengan Jarvis.
“Eh…Kami tidak sengaja datang kemari. Aku kehilangan Pluto…eh…coyote milikku. Waktu aku pulang kemarin aku membawanya dari rumah untuk dikembalikan ke tempat asalnya. Tadi waktu melintas kesini Pluto melompat dari mobil. Dia sangat buas, Jarvis. Hti-hati dia masih berkeliaran disini. Aku takut dibunuh coyote itu,” kata Russell dengan tak hentinya tersenyum-senyum ngeri. “Kau tidak akan membunuhku karena kami masuk ke rumah ini tanpa seizinmu, bukan?”
Jarvis mengangkat alisnya dengan sikap masa bodoh. Lalu ia menyalakan lampu dan menyimpan tas jinjingnya di kursi.
“Coyote? Kau tidak sedang mengigau, bukan?”
“Tentu saja aku tidak sedang mengigau. Aku…serius! Pluto hilang disini dan aku tidak tahu kalau rumah ini milik Sir Jackquest. Kau jangan berprasangka buruk dulu, Jarvis. Pluto aku temukan di taman Evergreen seminggu yang lalu. Aku memelihara hewan itu dengan baik. Dia buas tapi sangat manis. Bulunya putih abu-abu dan telinganya berbulu hitam. Aku bukan penyelundup hewan langka. Aku berniat mengembalikan Pluto ke Taman Nasional Yellowstone setelah aku tahu taman nasional itu kehilangan seekor coyote koleksinya. Mungkin Pluto dicuri dari sana dan pelakunya mampir dulu ke taman Evergreen,” kata Russell dengan lancar. Sedikitpun ia tidak merasa sedang membual.
Keempat kawannya mengangguk-angguk mengiyakan. “Kami menangkapnya dengan panah ini,” kata Dawson sambil memperlihatkan panah merahnya. Benar-benar bualan yang sempurna.
“Oh…begitu,” komentar Jarvis seperti yang percaya, dengan mata mengecek seisi rumah. Setelah yakin tidak ada yang rusak, ia tersenyum. “Aku akan membantumu mencari Pluto. Kurasa dia tidak akan kemana-mana. Kalau tidak di toilet, mungkin dia ada di sekitar sini.”
“Kau tidak akan membunuhku sekarang, bukan?” tanya Russell berapi-api.
Jarvis tesenyum geli. Matanya menyipit seperti yang sedang mengejek. “Tentu saja tidak, Russell. Kemarin aku hanya bercanda. Aku tidak tahu kalau kau mendengarnya. Kau bisa mengerti perasaanku kan, aku frustasi karena bintang-bintangku membatalkan perjanjian begitu saja dan kau malah menyerangku dengan pedas.”
“Apa yang akan kau lakukan di rumah ini?”
Jarvis tersenyum. Ia mencoba berbuat setenang mungkin dalam menghadapi Russell yang terang-terangan membencinya. Ia tahu sikap pemain ski itu padanya. Sok detektif, judes, dingin, dan menantang.
“Kau selalu saja sinis padaku, Russell,” kata Jarvis. Russell mengangkat wajahnya dengan angkuh.
“Aku masuk ke rumah ini karena ini rumah temanku. Aku akan mengambil dokumen-dokumen penting yang menyangkut dengan filmku.”
“Oh, begitu.”
“Ah, sudahlah. Lupakan saja masalah ini. Kalau kalian mau aku akan memasak kalkun panggang. Kalian pasti lapar. Kebetulan di lemari es masih ada seekor lagi,” kata Jarvis ramah. “Ngomong-ngomong siapa ini, Russell?” Ia menunjuk pemuda jangkung yang berdiri di samping Russell.
“Oh, ini Felix temanku. Dia yang menyetir sampai kesini karena kami belum memiliki surat izin. Kami takut ditangkap polisi,” jawab Russell.
Felix tersenyum nyinyir. Ia sangat tidak menyukai orang itu ngobrol-ngobrol dengan Russell.
“Ayo kita ke dapur. Dengan bau kalkun panggang coyote akan terpancing. Setahuku hewan itu karnivora.”
Mereka pergi ke dapur. Tempat itu cukup luas dan nyaman. Dari dalam kulkas Jarvis mengeluarkan seekor kalkun besar siap masak, bumbu-bumbu, dan beberapa potong kue coklat. Sepiring besar kue dihidangkan di meja makan. Lalu ia mempersilahkan mereka untuk menikmatinya.
“Hm, kue!” kata Russell kegirangan. Ia memakannya dengan lahap. Hilanglah sudah semua sikap judesnya pada Jarvis.
Dawson menyikut tangan pemain ski itu. “Kau harus ingat, Ski. Ini rumah penculik adikmu! Bersikaplah kau seperti detektif yang terhormat.”
Russell meringis sebentar lalu mendelik ke arahnya. “Sudahlah, Dawson. Kalau ka mau, makan saja. Kurasa detektif kelaparan juga bukan orang terhormat. Kita hanya sarapan dengan sandwich. Hah, mana cukup?”
“Maaf, Ski. Kau juga lapar,” kata Dawson sambil nyengir.
“Makan saja sesuka hati kalian. Anggap saja ini rumah sendiri. Biar aku yang memasak kalkun ini,” kata Jarvis. Mereka mengangguk dengan risih. Lapar tapi mereka ingat orang itu terlibat dalam masalah pelik ini.
Jarvis sibuk memanggang kalkun dalam oven. Ia juga menata sayuran di piring dan membuat sambal. “Kalian suka selada?”
“Apapun itu kecuali ulat,” jawab Aimee. Produser film itu melirik Aimee dengan nakal. Gadis Inggris berambut pirang itu sudah cukup membuat dadanya berdesir-desir. Dari ketiga gadis True Friends hanya dialah yang paling menarik. Sayang, Russell begitu mencintainya dan tidak mungkin merelakannya berpindah ke tangan Jarvis begitu saja.
Dilirik seperti itu Aimee menghentakkan kakinya dengan gemas. Jarvis jadi serba salah. Ia meninggalkan pekerjaannya dan bergegas keluar hendak mengambil sesuatu. “Tunggu sebentar, anak-anak. Aku akan memetik selada. Makan saja yang tenang,” kata Jarvis. Mereka tidak mneyahut. Jarvis melenggang keluar dan menutup pintu dapur.
Mereka beranjak dari duduknya setelah kuenya habis. Mereka hendak memeriksa kalkun panggang dan sayuran pelengkapnya. Aimee terkejut bukan main. Di atas piring itu selada telah tertata dengan rapinya. Ia jadi curiga.
“Untuk apa Jarvis memetik selada? Apakah selada masih tetap tumbuh di musim dingin yang penuh salju seperti ini?” Mereka berpandangan. Pernyataan Aimee ada benarnya juga.
Seiring dengan itu Jarvis muncul dari ruangan depan menuju ke arah pintu dapur. Tawa penuh kemenangan mengiringi langkahnya. Sorot matanya yang tajam mengingatkan pada serigala yang licik dan buas. Beberapa saat kemudian tangannya meraih gerendel pintu.
“Memasaklah sampai kalian mati, anak-anak tolol!” ejeknya dengan diiringi tawa yang menyakitkan telinga. “Ha…ha…ha…Bersenang-senanglah sampai kiamat! Ha…ha…ha…Makan tuh kalkun! Cari saja coyotemu sampai mampus! Kau pikir aku percaya dengan bualan konyolmu, Russell? Ternyata kalkun panggang ini senjata paling ampuh untuk memancing orang-orang lapar macam kalian. Hah, ini menarik sekali. Bukan begitu, hm?
“Selamat bersenang-senang saja di neraka yang indah ini. Dan ingat, Russell Ski. Umur keluargamu tinggal 17 jam lagi! Camkan itu!”
Mereka terpana untuk beberapa saat. Tubuh mereka mendadak lunglai, tidak kuasa untuk melawan.
“Ingat, 17 jam lagi! Ha…ha…ha…Sementara kalian? Ha…ha…ha…Terperangkap disini. Mau keluar lewat mana, Nak? He…he…Sungguh drama yang tragis. Aku jadi terharu melihatnya, hu…hu…hu…
“Hah! Sekarang kau mau apa, Russell? Ayolah, maki-maki aku. Aku sudah rindu ocehan manismu. Biasanya juga kau yang paling cerewet dan judes. Ayo ngomong! Ngomonglah sepuasmu, Russell! Aku akan mendengarkannya dengan senang hati sebelum pintu ini benar-benar kukunci sampai kau mati membusuk di dapur ini. Kau tinggal menghitung waktu dan menunggu kabar teeburuk dari kami. Kau akan menyaksikan jalan kematian keluargamu yang begitu indah. Dan kau juga akan melihat pesta kembang api yang maha dahsyat di Alpineverest. Semoga kau terhibur menyaksikannya. Aku sengaja memberikan tontonan gratis untuk keluargamu. Ini akan menyenangkan mereka. Jauh lebih menyenangkan daripada melihatmu bermain ski dengan peralatan ski primadonamu. Anggap saja ini sebagai hadiah untuk merayakan kesembuhanmu.
“Tapi ingat, kontrak waktu masih berlaku! Kalau ada campur tangan polisi dan kau tidak berhasil menemukan adikmu maka keluargamu akan mati! MATI! Kau tahu mati?”
Jarvis menatap mereka dengan tajam. Lalu tangannya digerakkan di depan lehernya seolah-olah sedang menggorok. “Kek!”
BRUG!
Pintu ditutup dengan kasar. Beberapa saat kemudian terdengar anak kunci berbunyi dua kali, disusul suara pintu digedor-gedor benda tumpul. Dari luar Jarvis memasangi pintu dengan lempengan kayu oak yang keras untuk memastikan anak-anak itu tidak bisa mendobraknya. Ia tidak peduli kelima orang itu terus menggedor pintu dan berteriak-teriak memohon dibukakan. Tetapi sama sekali ia tidak peduli. Jarvis malah semakin puas mendengar mereka berteriak-teriak putus asa. Setelah puas ia pergi dengan Rolls Royce antiknya dan diiringi tawa yang penuh kemenangan.
“Pintar sekali mereka menyelidiki kasus ini, sampai tahu rumah Jackquest segala. Hah! Tapi mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa. Terkunci seumur hidup? Huh, menarik sekali.” Jarvis melajukan mobilnya dengan cepat ke utara. Tak satupun polisi yang menghadangnya. Ia tidak sebodoh itu. Nopol 99904 telah ia ganti dengan nopol palsu yang baru.
Russell menggedor-gedor pintu dengan sekuat tenaga. Tetapi pintu tidak bergerak sedikitpun. Ia terus berteriak sampai suaranya parau dan terduduk lesu di depan pintu. Aimee dan ketiga kawannya memeluk Russell.
Hari ini Russell benar-benar merasa hancur, sedih, marah, dan ketakutan. Pemain ski itu terus menangis dalam pelukan teman-temannya. Ia sudah putus harapan. Waktu terus berjalan, sementara ia terkurung di tempat itu dan nyawa keluarganya ada dalam kendali orang-orang itu.
Felix memperrerat pelukannya dan membelai rambut Russell dnegan penuh kasih sayang. “Sudahlah, Ski. Kita akan selamat. Kalau kita penya kemauan disitu pasti ada jalan. Russell akan selamat. Kau harus yakin. Kami ada bersamamu.”
“AKu tidak mau semua orang yang aku sayangi mati di tangan mereka. Aku tidak mau mereka menyakiti keluarga dan teman-temanku. Sebenarnya apa mau mereka? Aku sendiri tidak tahu orang-orang itu! Aku ingin mati saja, Felix. Aku tidak punya harapan lagi. Kita semua terkurung disini. Kita tidak bisa berbuat apa-apa! Lihatlah keadaan kita!”
“Kita tidak mungkin terus begini, Ski. Waktu kita hanya 17 jam. Bangunlah, jangan menangis. Aku tahu kau sedih, takut, dan merasa hancur. Tapi kalau memang tidak mau terkurung seumur hidup di rumah ini ayolah, Ski. Hapus air matamu dan kita cari jalan keluarnya. Aku janji padamu setelah kasus ini selesai doktermu akan mengizinkanmu ngebut di gunung salju dan kau akan melakukannya dengan peralatan skimu yang hilang itu. Tentunya bersama orang-orang yang kau sayangi,” kata Dawson. Ia mengulurkan tangannya di hadapan Russell. Anak berkulit coklat itu tidak sedikitpun mengeluarkan air matanya.
Russell meraih tangan Dawson yang terulur ke arahnya. “Kau janji?”
“Ya, aku janji,”jawabnya dengan mantap. Lalu Russell memeluknya dengan erat.
“Aku ingin kita berhasil, Dawson. Selama sepuluh bulan ini aku menunggu untuk bisa bermain ski lagi. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Terima kasih, teman. Kalian memang teman terbaikku.”
Dawson tersenyum sambil menepuk-nepuk punggung Russell. “Kau juga sahabatku. Ayo, kita cari jalan keluarnya. Kau tidak akan mati disini. Kau harus yakin itu, Ski.”
“Hai, kalkunnya sudah matang!” kata Aimee membuyarkan suasana. Dengan hati-hati ia mengeluarkan kalkun dari dalam oven. Kepulan asapnya menerbangkan aroma penuh kelezatan yang mampu mencucuk hidung mereka dan membuat perut mendadak keroncongan. Di atas piring bundar penuh sayuran yang disediakan Jarvis sebelumnya, kalkun itu dihidangkan.
“Sebelum kita keluar dari sini, lebih baik kita makan dulu kalkun ini. Lumayan daripada jadi makanan belatung,” kata Aimee sambil memotong paha kalkun kesukaannya.
Mereka mnegikuti ulah Aimee seolah lupa sudah tertipu oleh orang yanmg memasaknya. Dari lemari Felix mengeluarkan sebotol sari buah blackcurrant dan kentang goreng yang sudah dingin. Ia menghidangkannya bersama kalkun yang telah tertata rapi.
“Ayo, Russell. Makanlah. Kau pasti sudah lapar,” kata Aimee. Russell tidak menyahut. Ia mengikuti teman-temannya memakan apa saja yang ada di dapur karena memang sudah lapar. Tangisannya sudah berhenti tapi masih tersedu-sedu.
“Tapi lewat mana kita keluar?” tanya Justin setelah makan selesai. Mereka kembali bingung. “Apakah dengan mendobrak pintu?”
Mereka tidak menyahut. Setelah sadar dirinya masih terkurung mereka mencari-cari jalan keluar. Dinding, lantai, langit-langit, sampai jendela diperiksa. Tapi semuanya tidak memungkinkan.
“Kita lewat jendela saja,” usul Felix.
“Tidak mungkin! Jendela itu berjeruji rapat. Lagipula di dapur ini tidak ada gergaji besi. Satu-satunya jalan adalah dengan menghubungi polisi atau…lewat sana!” kata Dawson sambil menunjuk lubang persegi di langit-langit. Mereka menatap lubang yang ditunjuk Dawson. Secercah harapan kembali datang. Mereka mulai tersenyum. Lubang di langit-langit itu lebarnya kira-kira satu meter, cukup untuk memuat tubuh mereka, termasuk tusbuh Russell yang gempal.
“Setidaknya kita menemukan benda tajam untuk memotong kasau atap, baru kita bisa keluar lewat genting,” kata Aimee.
“Itu tidak masalah,” sahut Russell. Dari dalam ranselnya yang penuh sesak ia mengeluarkan sebilah belati panjang yang tajam.
“Bagus. Kau memang selalu memperhatikan hal apa saja. Ayo bantu aku menggeser lemari ini,” kata Dawson.
Mereka menggeser lemari gerabah setinggi enam kaki tepat di bawah lubang itu. Satu persatu mereka naik ke lubang itu melalui kursi dan lemari. Setelah semua naik, Felix memotong kasau yang berfungsi sebagai tempat menyangkutkan atap genting. Satu persatu genting yang kasaunya sudah terpotong diturunkan dengan hati-hati sampai menyisakan lubang sebesar tubuh Russell.
“Akhirnya…Puji Tuhan! Kita akan keluar dari neraka ini,” kata mereka dengan senyum lega. Kalau Jarvis tahu, ia tidak akan menyangka sanderanya kabur lewat lubang langit-langit yang terlupakan olehnya.
“Yuk, Russell naik!” kata Aimee. Russell pun naik dengan cepat, disusul keempat kawannya. Di atas genting mereka menengok ke bawah. Senyuman perlahan memudar dari bibir mereka.
“Ya Tuhan, tinggi sekali! Bagaimana kita bisa turun?” keluh Justin. Mereka terpaku sejenak. Rintangan belum berakhir.
Mereka melihat-lihat ke sekitar rumah. Siapa tahu ada pohon atau tiang apa saja yang dekat dengan atap untuk turun. Tetapi tidak satupun pohon yang ditemukan disana. Paling juga pohon-pohon cemara yang tumbuh jauh di pekarangan. Mereka kembali lemas.
Tidak ada pilihan lain. Russell mengeluarkan segulung tali carmantle dan alat-alat panjat tebing yang dibawa di dalam ranselnya. Dengan cekatan ia melilitkan tali ke cerobong asap asap dengan simpul tarik supaya tali mudah diambil dari bawah. Talinya ditarik-tarik untuk memastikan ikatannya kuat untuk menahan tubuh mereka.
Mereka menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak kagum. Walaupun Russell agak cengeng tetapi kemampuan berpikirnya patut diacungi jempol.
“Wow! Ternyata alat ini berguna juga, ya? Dikiranya tadi kau akan mengambil permen karet. Hebat, hebat. Aku percaya kau pernah mendaki gunung Everest walau cuma 6000 kaki,” kata Dawson. “Kau mengikatnya dengan kuat, Ski? Aku masih ingin hidup.”
“Tentu. Tali ini pernah dipakai Stanley mendaki Kanchenjunga. Aku mengikatnya dengan kuat dan memakai simpul yang benar. Simpul ini aman untuk turun tebing. Lagipula rumah ini tidak terlalu tinggi. Kau duluan yang coba,” kata Russell.
Dawson tidak membantah. Sebagai atlet panjat tebing peraih rating 5.14 rappling tanpa memakai pengaman tidak jadi masalah baginya. Dalam beberapa detik ia sudah menginjak tanah. Dari bawah ia berteriak-teriak. “Ayolah turun, teman-teman! Wow! Lihatlah aku, sudah bebas!”
“Tanpa pakai harnes, Russell? Bagaimana ini? Kau mau membunuhku? Aku tidak percaya diri kalau tidak pakai pengaman,” kata Justin dengan suara bergetar. Keringat dingin tampak mulai membasahi sekujur tubunhnya.
“Tenang saja, Justin. Anggaplah ini rappling biasa. Tapi tanpa pengaman dan tanpa belay. Aku hanya membawa satu webing tapi tidak membawa carabiner dan descender. Alakadarnya saja, Justin.”
“Kau bisa, tapi aku tidak! Ah, kalau begini jadinya aku tidak mau jadi tentara.”
“Kau pasti bisa, Justin. Pakai sarung tanganmu supaya tidak terkena gesekan. Kau harus mencobanya! Gunakan tangan kananmu sebagai patokan dan tangan kirimu boleh memegang tali kalau kau takut. Tapi tangan kanan jangan sekali-kali kau lepas! Itu adalah nyawamu, ingat?—Dawson? Perhatikan Justin! Kalau dia jatuh, cepat tangkap tubuhnya, ya?”
“Kau gila, Russell! Aku takut…Sumpah! Aku tidak pernah melakukan ini!”
Russell terdiam barang sejenak. Justin semakin gemetar dan mulai menangis. Ia mencoba mencari cara lain supaya Justin bisa turun dengan aman. Menuruni bangunan dengan tali tanpa pengaman resikonya memang sangat besar. Baik dirinya maupun Dawson, Aimee, dan Felix tidak masalah karena hal ini merupakan dunianya. Tapi Justin tidak.
Russell tersenyum. “Dawson, aku ingat! Di mobil ada carabiner dan descender. Disini sudah ada webing. Kau ambil itu dan bawa kemari! Nanti kau yang belay Justin dari bawah!” Dawson berlari dengan cepat. Tak lama kemudian ia muncul dengan membawa barang yang dimaksud Russell. Dengan alat itu Justin bisa turun dengan aman.
Terakhir Russell, Aimee, dan Felix menyusulnya dengan cepat. Oleh Russell tali itu ditarik dari bawah dengan sangat mudah.
“Akhirnya kita bebas dari neraka itu. Sungguh kasihan si Jarvis. Disangkanya kita akan selamanya terjebak di dapur rumah itu,” kata Felix.
“Bagaimana rasanya, Justin?” tanya Russell. Justin nyengir dan wajahnya memerah.
“Enak, Ski! Kapan-kapan aku mau mencobanya lagi. Tapi harus tebing sungguhan!”
“Oke. Percaya pada alat adalah modal utama untuk menuruni tebing setinggi apapun selain keberanian dan kemampuan.”
Mereka memandangi rumah itu sejenak, lalu melangkah menuju mobil mereka yang diparkir tak jauh dari sana.
BAB 12
ORANG DI MASA LALU

Siang ini cuaca cukup cerah dan tidak ada tanda-tanda salju akan turun. Mereka memutuskan untuk menemui Donald Dixon di kantor polisi. Mereka menggunakan jalur Pasific Coast Highway yang membentang di sepanjang pantai barat Kalifornia, sembari beristirahat dengan melihat pemandangan Samudra Pasifik yang menawan.
Setibanya di kantor polisi mereka disambut gembira oleh Donald Dixon dan kepala kepolisian Johnson McCraig. Sudah lama ia dan rekan-rekannya mencemaskan keselamatan anak-anak itu.
“Ini bukan masalah yang mudah, Ski. Kalian juga keluarga Fedorovski dalam bahaya yang besar. Waktu kita tidak banyak. Kita hanya punya waktu sekitar 15 jam. Tapi kalian jangan khawatir. Semua petunjuk yang didapat sudah cukup lengkap walaupun kota yang dimulai dari huruf O itu masih teka-teki,” kata Donald Dixon.
“Alpineverest juga akan dihancurkan orang itu. Anda sudah tahu, Sir?”
“Ya. FBI yang akan menangani kasus itu. Kami akan kerja sama dengan mereka.”
Johnson McCraig memeluk Russell untuk membuatnya tenang. Tapi kali ini ia tidak menangis. Hanya saja wajahnya pucat dan ketakutan.
“Sebaiknya kau dan True Friends tinggal disini. Itu lebih aman, Ski. Nanti aku akan menghubungi orang tuamu,” kata Johnson McCraig.
“Ya. Itu benar. Kalian lebih baik tinggal disini. Di luar tidak aman bagi kalian. Mereka ada dimana-mana. Walaupun mereka memberi waktu 18 jam, yang namanya penjahat tidak akan sepenuhnya jujur. Seringkali dalam ucapannya mengandung banyak tipu muslihat. Kami khawatir akan keselamatan kalian. Lagipula Russell membutuhkan banyak istirahat. Dia sangat pucat,” kata Donald Dixon.
“Aku baik-baik saja, Sir. Jarvis dan peneror itu mengancam kami akan membunuh Jack jika kami melibatkan polisi. Mereka ingin hanya kami yang menemukan Jack. Kami melaporkan masalah ini pada polisi karena kami tidak mau bertindak sendiri. Aku tahu masalah ini tidak mudah. Tapi aku harus menjalankan permainan mereka ini karena aku takut Jack dibunuh. Begitulah, Sir.”
“Baiklah kalau begitu. Lebih baik kalian ikuti permainan mereka. Kami akan membantu kalian dari belakang dan pada saat yang tepat nanti kami akan muncul sebagai kejutan untuk mereka. Tapi aku punya usul.”
“Apa itu, Sir?” tanya Dawson.
“Simpan saja mobil kalian disini. Pelaku akan mudah mengawasi gerak-gerik kalian karena mobil itu bertulisan True Friends dan bergambar anggota-anggotanya. Aku akan memberi kalian pinjaman mobilnya Rayner. Kebetulan mobilnya tidak terlalu dikenal umum dan dia bersedia,” kata McCraig.
“baiklah. Itu lebih baik. Sedan mustang tidak terlalu buruk. Itu mobil yang cukup romantis. Tapi harus dipastikan dulu bannya masih berputar dan masih punya ruang untuk menyimpan makanan,” kata Aimee.
“Itu bisa diatur. Mobilku masih layak pakai. Setidaknya kursinya masih berbau sedap dan kehalusan suara dijamin. Jangan khawatir. Aku bisa pulang bersama Donald Dixon atau Kurg Hoeven,” kata Rayner seraya melempar senyum ke arah mereka.
“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Pak Rayner,” kata Justin. “Kami mohon diri. Kami akan mengembangkan masalah ini di Planet Berisik.”
“Planet Berisik? Apa itu? Sir Thomasevich menemukan planet baru?” tanya Rayner.
Mereka tertawa. “Itu markas kami.”
“Oh…” Rayner dan rekan-rekannya terpana.
“Berhati-hatilah kalian. Jaga mereka baik-baik, Felix. Kaulah yang tertua di antara mereka,” kata McCraig seraya menepuk bahunya. Felix tersenyum pasti.
Di tempat parkir mereka masuk ke sedan mustang hitam yang berkap terbuka, setelah barang-barang mereka dipindahkan dari jeep. Supaya tidak dikenali banyak orang mereka memakai mantel panjang, kacamata besar, dan topi pemain ski. Tak seorang pun yang tahu penumpang mobil mustang itu adalah rombongan Russell. Sungguh sulit menjadi orang terkenal, walaupun hanya sebagai temannya.
Mereka masuk ke markas Planet Berisik lewat pintu belakang observatorium dan jendela bolong yang ditutupi gambar Saturnus dengan cara menggesernya ke samping. Seorang pun tidak akan tahu ada pintu rahasia di balik gambar itu karena gambarnya ditempel di ruangan yang penuh poster ruang angkasa dan foto-foto hasil jepretan Pak Tom.
Mereka tiba di sebuah ruangan yang dilengkapi dengan peralatan canggih. Ruangannya tidak terlalu besar tapi sangat nyaman dan penataannya rapi. Di ruangan itu terdapat kulkas kecil, AC, lemari serbaguna, bantal-bantal duduk, sebuah laptop, dan meja bundar besar yang lengkap dengan peta Amerikanya yang digunakan untuk rapat. Di meja itulah kali ini mereka berkumpul di hadapan laptop yang dinamai Rocky.
“Seperti rencana kita akan mencari tahu tentang pelukis Prancis Rolland Marquine yang begitu digilai Jackquest dan disinyalir ada hubungan keluarga dengan orang itu. Kita lihat saja sekarang,” kata Russell dengan jari tangan yang sibuk mengatur mouse laptopnya. Beberapa saat kemudian ia berhasil menemukan situs pelukis dunia. Nama Rolland Marquine tercatat disana. Setelah ditemukan mereka membacanya bersama-sama sampai ke bagian terpenting yang mereka cari.
Rolland Marquine meninggal pada kecelakaan pesawat Airbus di Samudra Atlantik, Kepulauan Bermuda pada hari Selasa tanggal 20 Agustus 2002 pukul 09.36. Ia meninggal bersama ibunya, Zerelda Farrell. Dua bulan setelah kejadian itu ayahnya, Monsieur Theodore Marquine de Rouza menghilang dari Prancis. Semua aset keluarganya dijual dan lukisan-lukisan Rolland, baik yang pribadi atau yang siap lelang turut menghilang.
Rolland Marquine meninggal di saat namanya tengah melambung. Menurut para ahli, diperkirakan dalam waktu yang tidak lama lagi ia akan menyaingi popularitas pelukis dan seniman besar Italia sekaliber Carollaus Quentyne Shandrini…
Russell memandang keempat kawannya. Setelah membaca sebagian isi dari situsnya Rolland Marquine, mata birunya tampak bersinar cerah seolah ada sesuatu yang membuatnya senang.
“Data yang sempurna! Dalam kasusku ini ternyata ada campur tangan orang di masa lalu yang dikatakan telah menghilang selama enam tahun.”
“Maksudmu Theodore Marquine de Rouza ada hubungannya dengan kasus ini?” tanya Justin tak percaya.
“Ya. Sebenarnya dia tidak menghilang. Tapi dia masih hidup dan tinggal di Amerika. Theodore adalah seniman. Dia bisa melakukan apa saja untuk menyembunyika identitasnya.”
“Kenapa kau tahu?” tanya Dawson heran.
“Ini mudah. Aku tahu seratus persen. Petunjuk-petunjuk yang kita dapatkan sebelumnya membuatku bisa berkeyakinan bahwa dia tidak menghilang dan terlibat dalam kasus ini. Nanti akan kubongkar masalah ini.”
Tiba-tiba ponsel berdering lagi. Russell mengangkatnya.
“Siapa?” tanya Dawson.
“Kylle. Tidak biasanya dia menelepon. Tapi Clare tidak memberi kabar apapun pada kita. Aku yakin mereka akan menyesal tidak ikut kita menyelidiki kasus ini,” kata Russell.
“Hai, Kylle. Bagaimana dengan lliburanmu?”
“Huh, aku sudah hampir gila memikirkanmu! Aku khawatir akan keselamatan kalian.”
“Kenapa kau mengkhawatirkan kami?”
“Aku punya cerita untuk kalian.” Russell me-loadspeaker pembicaraannya. Mereka mendengarkannya bersama-sama.
“Hari minggu aku memberitahu Daddy bahwa kita akan bermain film yang diproduseri oleh Jarvis Northon dari The Rolland Studios Company NY. Tapi Dad tidak senang emndengar kabar gembira itu. Dia malah menjadi cemas. Dia bilang bahwa di NY tidak ada studio film yang bernama The Rolland. Dari sanalah aku menduga Jarvis dan AZ. Rouze berniat jahat pada kalian. Kemarin kira-kira pukul tujuhan aku menghubungi Russell. Tapi ponselnya dimatikan dan ponsel kalian tidak ada satupun yang aktif! Bagaimana aku tidak gila! Kalian itu temanku!”
“Yang tidak ada nomornya?” tebak Russell.
“Benar. Kau memang tidak mencatatnya karena iru nomor ponsel nenekku. Pulsaku habis jadi pakai yang punya nenek. Hari Minggu kemarin waktu aku memberi tahu kalian aku dan Clare tidak bisa ikut, aku juga berniat mengabari kalian tentang itu. Tapi Aimee keburu menutupnya. Jadi…ya sudah.”
“Jadi waktu kau menyebut hati-hati ya, Aimee. The Rolland itu…saat kau menelepon ke rumah Russell ternyata itu maksudnya?” tanya Aimee.
“Ya! Aku akan mengabarimu bahwa studio film itu benar-benar tidak ada! Kau dengar? Tidak ada!”
“Yeah.”
“Kalau Aimee tidak keburu menutup teleponnya, ceritanya tidak akan seheboh ini, Kylle. Liburan ini harus penuh bumbu. Aku tidak akan menyalahkan siapapun. Jack dan peralatan skiku sudah ada di tangan mereka dan kami dipaksa harus menjalankan permainan beresiko ini. Tapi kau jangan khawatir. Penculik itu ada di balik nama studio itu, nopol Rolls Royce, dan riwayat hidup pelukis Rolland Marquine.”
“Besok aku akan menemui kalian di Planet Berisik.”
“Kalau kami masih hidup, Kylle…”

BAB 13
MEMECAHKAN TEKA-TEKI

Waktu tinggal 14 jam lagi. Russell kembali duduk tegak di depan Rocky. Tidak ketinggalan sekaleng cola dan sekotak biskuit dihidangkan untuk memanjakan perutnya yang selalu lapar.
“Sekarang aku sudah dapat berpikir dengan baik dan semuanya akan kubongkar satu persatu,” kata Russell.
“Bagus. Semuanya kami serahlan padamu,” kata Dawson.
Russell menarik napasnya dalam-dalam. Semua barang bukti yang diperolehnya dari berbagai temapt dikumpulkan di atas meja, termasuk ponselnya yang menyimpan banyak foto. Sementara itu Justin menyiapkan alat perekam. Ia akan merekam semua penjelasan Russell untuk diserahkan pada polisi.
“Itu ide yang bagus, Justin. Tapi kau jangan membuat Russell grogi,” kata Dawson.
“Tidak akan. Rekaman ini tidak akan ditanyangkan di tv.”
“Baiklah. Aku akan menceritakan semuanya dari awal,” kata Russell memulai pembicaraan. “Hari Sabtu kemarin kita ditawari bermain film oleh Jarvis Northon dalam The Lost Grizzly. Waktu itu ada seorang wanita bersepatu lancip dengan rambut seperti Barbie yang menutupi wajahnya dan menabrak Jarvis. Barang-barangnya berantakan, kecuali tustel yang ada di tangannya. Setelah Jarvis berkedip genit dan wanita itu pergi, dia memberi kartu nama studio filmnya yang bernama The Rolland Studios Company di New York. Dia datang dari NY ke Kalifornia bersama sutrada AZ. Rouze dan kekasih barunya yang bernama Gyordine Claire. Kata Jarvis, Rouze bertemu dengan wanita itu di lokasi pameran lukisan Quentyne di Gorki Street. Dia sangat mencintainya karena Gyordine mirip dengan mendiang istrinya yang bernama Zerelda Farrell. Tapi mereka tidak ikut produsernya ke sekolah. Janjinya mereka akan bertemu dengan kita di Pine House. Oleh Jarvis kita diajak liburan di Pine House dan bermain ski di Alpineverest.” Mereka mengangguk-angguk dan menyimaknya dengan seksama.
“Keesokan harinya setelah orang tua Aimee pulang ke Inggris, Zhenya datang dengan rambut terurai da merokok di ruang ber-AC. Aneh juga aku melihat gadis tak tahu diri itu datang sambil menangis dan minta maaf atas kesalahannya yang dia lakukan terhadap Stanley. Padahal dia orangnya sangat keras, pembenci, dan tidak bisa diatur. Tapi sebenci-bencinya pada orang itu, kami tetap bersikap ramah padanya karena dia berjanji akan berubah.
Waktu itu Dad bilang peralatan skiku akan dipinjam oleh Bibi Jersey yang akan liburan bersama di Aspen. Katanya bibiku akan menelepon Dad pada malam harinya ke telepon Dad untuk memastikan rencananya. Lalu Zhenya menanyakan perilahal permainan perdanaku pada liburan nanti dan menanyakan apakah Jack akan ikut ke Pine House, juga apakah aku akan membawa peralatan ski primadonaklu kesana. Dia memang bernapsu ingin tahu dan sangat cerewet.
Penbicaraan kami denan Zhenya berlangsung hangat. Bahkan Zhenya menceritakan hal yang paling pribadi pada kami. Sekarang dia sudah punya kekasih. Namanya Theodore, seorang pria setengah baya yang penuh daya tarik. Dia mengajak Zhenya pindah ke Amerika dan tinggal di Oakland. Katanya Zhenya bertemu dengan Theodore di lokasi pameran lukisan Quentyne. Dia sangat mencintai Zhenya karena Zhenya mirip dengan mendiang istrinya.”
“Wah, setelah diperhatikan ternyata cerita Zhenya sangat mirip dengan cerita Jarvis tentang Gyordine, ya?” kata Aimee.
“Betul! Mereka juga sama-sama bertemu di tempat pameran lukisan Quentyne. Sebuah kesamaan yang terlalu kebetulan, bukan?” kata Dawson dengan wajah yang ceria.
“Kau benar, Aimee. Itu memang mirip,” komentar Russell. “Aku lanjutkan saja cerita yang tadi. Waktu itu Kylle meneleponku untuk memberitahu bahwa Justin dan Dawson akan ikut liburan. Sementara Kylle sendiri tidak bisa ikut karena akan berlibur di rumah neneknya. Dari ruang tamu Zhenya muncul dengan tergesa-gesa. Katanya mau ke kamar mandi. Perlu kalian ketahui juga, kamar mandi belakang itu letaknya tidak jauh dari tangga yang menghubungkan ruang makan dengan lantai atas yang terdiri dari kamar-kamar keluarga.
“Pertanyaannya, mengapa peralatan ski bisa hilang di Pine House oleh wanita bersepatu KM? Jawabannya singkat saja tapi akan rumit jika dijelaskan. Begini. Waktu itu Zhenya tidak ke kamar mandi tapi ke kamar untuk memasang alat penyadap pembicaraan dan menyimpan kamera pengintai di kamarku. Itu untuk memastikan aku membawa tidaknya peralatan skiku yang itu. Lasannya sederhana saja. Zhenya bersekongkol dengan Jarvis! Jarvis mengajak kita bermain ski dan ingin aku memakai peralatan ski primadonaku. Dia tahu aku akan bermain ski dengan perlatan itu pada musim ini dari majalah Ski. Ahl itu terbukti dari berita rencana permainan perdanaku yang ditandai oleh spidol merah. Kalian sudah melihatnya sendiri, bukan? Juga Zhenya menanyakan perihal keikutsertaan adikku ke Pine House.
“Untuk membuat alibi dan memastikan aku akan membawa peralatan ski yang itu bersama adikku, dia datang ke rumah dengan berdalih akan merubah sikap. Waktu kita di sekolah, Jarvis dan Zhenya sama-sama hadir disana. Menurut pendapatku, Zhenya adalah Nona Gesit yang bertabrakan dengan Jarvis. Wanita itu memakai barang-barang produk Rusia dan berambut pirang. Secara kasat mata pun terlihat itu adalah wig! Rambutnya seperti plastik dan kaku. Kurasa inilah alasannya dia menyembunyikan wajah dengan rambutnya di hadapan kita dan Jarvis mengedipkan mata penuh isyarat ke arahnya. Kalian tentu masih bingung kenapa Jarvis bisa bersekongkol dengan Zhenya. Nanti bisa kujelaskan.
“Selain itu Zhenya juga masuk ke kamarku untuk menyimpan kamera pengintai. Ini mungkin bertujuan untuk memastikan aku membawa tidaknya peralatan yang itu. Kalau aku tidak membawanya, dia pasti akan mencari cara lain untuk mencurinya dari rumahku. Dengan adanya kamera itu dia akan tahu situasi kamarku dan dia bisa datang kapan saja karena dia sudah berdamai dengan keluargaku.
“Aku menemukan kamera itu di lemari koleksi fotografiku waktu akan mengambil kameraku. Kupikir itu punya Aimee. Tapi barusan kutanyakan pada Aimee dia mengaku tidak punya kamera pengintai kecil yang bermerek itu. Aku pun tidak. Itu kamera asing dan dalam keadaan sedang merekam.
“Tiga hari kemudian di Pine House, adik dan peralatan skiku hilang. Pelakunya meninggalkan jejak sepatu bermerek KM, puntung rokok yang dibuat di Kuhtsevo, dan jejak kucing russian blue. Dari puntung rokoknya saja sudah terlihat kalau Zhenya terlibat. Waktu dia kesini, dia merokok di ruang tamu dengan rokok Kuhtsevo yang tidak dijual di Amerika.”
“Bagaimana dengan jejak kucing itu, Ski?” tanya Dawson.
“Kemarin sudah terbukti bahwa kucing sengaja dibawa pelaku. Alasannya kalian sudah tahu dari bukti jejak yang tidak kotor, padahal tanah di bawah jendela sangat becek. Pertanyaannya, kenapa kucing itu menggigit Zhenya? Karena Zhenya tidak suka kucing dan melakukan kekerasan pada kucing itu dengan cara mencakarnya. Karena Dawson tidak mendengar ada suara kucing mengeong kesakitan beberapa saat sebelum Zhenya menjerit, ada kemungkinan ketika Zhenya mencakar kepala kucing itu ia membekap wajahnya supaya kucing itu tidak bersuara. Mungkin dia kesakitan, makanya kucing bernama Spears itu nekat menggigitnya. Ini terbukti dari ceceran darah amnusia di jendala kamar kita dan jeritan kecil seorang wanita yang didengar Dawson. Kalau kita bertemu dengan pencuri peralatan skiku, terlebih dahulu aku akan melihat tetepak tangannya. Disana ada bukti bekas gigitan kucing sebesar russian blue.”
“Bukankah Zhenya kurang suka pada kucing? Kenapa dia membawa Spears untuk beraksi? Pencurian yang dilakukannya kan beresiko. Kenapa harus membawa kucing?” tanya Aimee penasaran.
“Hanya dia yang tahu. Aku juga penasaran. Sekarang akan kubuka mengenai keterlibatan Jarvis. Kalian juga sudah tahu sebelumnya. Jarvis mengaku itu kucing Sylvester tapi ketika ditanyakan pada pembantu itu ia mengaku tidak punya russian blue yang bernama Spears. Jelaslah Jarvis berbohong mengenai kepemilikan kucing itu.
“Jarvis mempermudah aksi Zhenya dalam melakukan pencurian peralatan skiku. Buktinya dengan adanya selang waktu sepuluh menit bagi Jarvis untuk mengambil rokok yang ketinggalan di meja dalam kamarnya. Padahal pada jam itulah pencurian berlangsung. Dalam hal ini Dawsonlah yang menjadi saksi. Ketika sedang ada di toilet dia mendengar suara langkah yang ganjil dan melihat ada Spears tak lama setelah Dawson mendengar suara langkah Jarvis ke dapur. Kejanggalannya terlihat pada diri Jarvis. Masa iya Jarvis tidak melihat ada pencuri di kamarku? Padahal waktu itu kamar terbuka dan terletak tak jauh dari kamar Jarvis. Seharusnya Jarvis tahu itu!”
“Aku tidak mengerti kenapa Zhenya terlibat dalam kasus ini. Apakah ada kesamaan antara ceritanya Jarvis tentang Gyordine dengan cerita Zhenya mengenai pertemuan dengan pacarnya?” tanya Justin.
“Itu memang benar, Justin. Nanti kuceritakan semuanya. Kita lanjutkan saja,” kata Russell. “Dari bukti-bukti itu kita belum bisa menerka siapa otak pelakunya. Padahal menurutku kasus ini mudah tapi sangat berliku-liku. Maka dari itu kita menyelidiki kasus ini dari nopol Rolls Royce Teddy Marquine Koch yang bernomor 99904. Kita curiga dengan nopolnya karena Jarvis bilang Teddy orang NY tapi nopol mobilnya Kalifornia dan hanya dialah orang luar setahuku yang kenal dengan Jarvis. Dari 99904 kita menemukan rumah Teddy di Swanlake nomor 28 yang ternyata milik Jackquest Cardin yang dibeli oleh keluarga Cruz. Di rumah itu kita menemukan lukisan Un Femme milik Jackquest yang dibelinya dua bulan lalu di Rusia dengan harga lima ratus ribu dolar.
“Kenapa pemilik terdahulu rumah itu ada dua? Alamat pemilik Rolls Royce itu disana. Tapi ternyata pemilik rumah itu bukan Teddy, tapi Jackquest Cardin. Disini juga kita bisa membaca seperti apa reputasi orang itu. Mereka seperti orang pelarian yang memiliki banyakm identitas.
“Selanjutnya kita mencari kebenaran pemilik rumah itu melalui lukisan Un Femme. Dari internet kita menemukan pemiliknya adalah Jackquest Cardin yang beralamat di Crawley Valley nomor 26. Lalu siapa lagi Teddy yang juga beralamat di Swanlake itu kalau bukan Jackquest sendiri? Ah, ada-ada saja orang itu.
“Dari sana kita langsung menuju ke alamat itu. Ternyata di rumah Jackquest kita menemukan sekotak rokok buatan Kuhtsevo, sepatu KM, sepatu boots, dan berita jumpa persku pada majalah Ski yang ditandai, termasuk petikan wawancara dengan Dad. Tapi arti dari petikan wawancara itu belum kuketahui. Mengapa orang itu menandainya? Menurut dugaan sementaraku, orang itu ingin Dad merasa hancur. Hal ini bisa dibuktikan dari petikan wawancara yang berbunyi aku akan benar-benar hancur kalau mereka terenggut begitu saja dariku. Bukankah mereka menculik Jack? Mungkin dengan cara itulah mereka merenggut Jack dari Dad. Tapi untuk apa? Apa hubungannya orang itu dengan Dad? Untuk apa orang itu menghancurkan perasaan Dad? Setahuku Dad tidak punya hubungan sesuatu dengan orang-orang itu, bahkan kenalpun tidak!
“Lalu mengenai jejak KM dan boots itu. Nomor sepetu KM 36 dan jejak boots itu diperkirakan bernomor 42. Bandingkan dengan sepatu yang ditemukan di rumah Jackquest. Sama, bukan?”
Mereka melihatnya dengan takjub. “Sempurna!”
“Mari kita ungkap kasus ini, Russell!” kata Aimee antusias.
“Baiklah. Sekarang kita ke masalah pokok saja. Mengapa Zhenya kenal Jarvis dan terlibat dalam kasus ini? Aku akan menjelaskannya dari awal. Ketika pameran lukisan Quentyne, AZ. Rouze bertemu dengan seorang wanita yang mirip dengan mendiang istrinya yang bernama Zerelda Farrell. Katanya mendiang istrinya itu meninggal dalam kecelakaan pesawat di Bermuda bersama seorang anak laki-lakinya. Lalu Zhenya bilang dia punya pacar yang bernama Theodore yang bertemu dengannya di tempat itu dan pada waktu yang sama, di malam pencurian lukisan Bonsoir. Itu terlalu mustahil untuk sebuah kebetulan. Apalagi katanya Zhenya mirip dengan mendiang istrinya Theodore.”
“Oh, aku mengerti! Menurutku Zhenya adalah Gyordine Claie sendiri! Karena mendiang istrinya AZ. Rouze itu Zerelda Farrell. Sedangkan Zerelda adalah ibunya pelukis Rolland Marquine, dan Theodore Marquine de Rouza itu adalah AZ. Rouze yang asli! Bukankah suaminya Zerelda Farrell yang hilang itu bernama Theodore Marquine de Rouza? Nama yang sama, bukan? Lalu Teddy si pemilik Rolls Royce itu adalah Theodore sendiri! Cuma dia menggunakan nama pendeknya—Teddy Marquine! Dia ayahnya Rolland yang hilang itu! Sutradara palsu itu adalah ayah pelukis itu! Dugaanmu waktu itu benar, Russell. Jadi lukisan-lukisan Rolland yang dipajang di rumahnya itu memang dibawa oleh Theodore. Makanya dari galerinya yang di Prancis itu lukisannya lenyap semua bersamaan dengan hilangnya ayah pelukis itu! Tak kusangka kita dapat memecahkan banyak kasus. Padahal semua ini hanya berawal dari pencurian peralatan ski dan…penculikan Jack. Ajaib, kan?” kata Aimee. Ia melonjak karena dugaannya dibenarkan Russell dan kawan-kawannya.
“Kau benar sekali, Aimee. Di rumah itu juga kau menemukan foto keluarga. Lihatlah ini.” Russell menunjukkan gambar seorang wanita dan dua orang laki-laki tersenyum di foto itu.
“Secara sekilas pun wanita ini mirip dengan Zhenya. Dia adalah Nyonya Zerelda Farrell dan pria muda ini Rolland Marquine. Untuk lebih jelasnya lagi, bacalah tulisan ini,” kata Russell sambil menunjukkan sebuah kalimat di belakang foto itu.
Aku bersama putra tercintaku Rolland Marquine dan istri tercinta, Zerelda Farrell.
Peluk dan cium dari yang mengasihimu,
Theodore Marquine de Rouza
Mereka membacanya dengan haru. Bahkan Aimee sampai menangis. Ia teringat pada kakek dari ayahnya. Kakeknya kehilangan istri dan anak tertuanya pada sebuah kecelakaan pesawat di pegunungan Ural. Mungkin perasaan Theodore sama dengan perasaan kakeknya saat ditinggal mati oleh orang-orang yang dikasihinya.
Aimee menyeka air matanya, lalu tersenyum. Kini kakeknya sudah bahagia tinggal bersama orang tuanya di London.
“Aku memang sedih sekali. Tapi mereka telah menculik adikku. Aku sangat menyayangi Jack, sama seperti Theodore menyayangi Rolland dan Zerelda. Kita lanjutkan saja. Waktu kita tidak banyak,” kata Russell. “Dua bulan yang lalu, di tempat pameran lukisan saingan beratnya Rolland, Theodore bertemu dengan jelmaan Zerelda yang bernama Zhenya Sofia Romanovna yang masih sepupuku. Dia kakaknya Stanley. Aku sangat menyesal, mengapa keluargaku sendiri yang melakukan ini padaku juga pada orang tuaku dan Stanley! Zhenya melakukan berdamai dengan keluargaku untuk membuat alibi sekaligus membuat ancang-ancang untuk mengacaukannya. Dia mengakui Stanley sebagai adiknya lagi padahal dia punya niat akan menghancurkannya! Benar-benar brengsek wanita jalang itu! Aku tidak habis pikir, kenapa anak bibi Sofia bisa jadi seperti itu. Padahal semasa hidupnya bibi Sofia katanya sangat baik.
“Ah, lupakan saja itu. Anggap saja itu angin lalu dan bibiku tidak pernah melahirkan anak yang bernama Zhenya ke dunia ini. Begini, foto ini ditemukan di rumah Jackquest Cardin. Berarti memnag benar bahwa orang itu adalah Theodore. Berarti orang yang menancapi lukisan Napoleon itu adalah Theodore, ayah Rolland.
“Lalu studio film itu benar-benar tidak ada. Theodore memakai nama anknya untuk bersembunyi dan memerankan Jarvis sebagai produser dari studio fiktif. Nama studio itu diambil dari nama Rolland. Kartu nama yang diberikan Jarvis adalah umpan bagi kita. Dia pura-pura menawari kita bermain film dan liburan di Pine House sebagai jalan untuk menculik adik dan peralatan skiku. Dia bisa tahu aku akan bermain pada musim dingin ini dengan alat yang itu karena tahu dari Ski. Menurutku, kejahatan ini sudah disusun matang-matang dan sangat kebetulan.
“Oh…ada yang terlewat. Kalian tentu masih ingat saat kita diancam oleh seorang peneror di Alpineverest. Orang itu mengancam akan meledakkan klub ski dan membunuh kita semua kalau kita tidak berhasil menemukan adik dan peralatan skiku dalam waktu 18 jam. Sebelum Jack bicara denganku, si peneror menyuruh kita menunggu. Dia menggunakan bahasa Prancis sepotong yang disambung dengan artinya dalam bahasa kita. Katanya, attendez un…maksudku, tunggulah sebentar! Secara tidak sengaja dia mengucapkan kata dalam bahasa sehari-harinya dan berusaha untuk mrnutup-nutupinya. Kurasa kelanjutan kata-kata itu adalah moment, jadi attendez un moment yang berarti tunggulah sebentar.
“Ketika kita masih di Pine House, AZ. Rouze atau Theodore menghubungiku. Dia mengucapkan salam perpisahannya dalam bahasa Prancis. Oke, ma chérie. Au revoir et je éspere de vous revoir bientôt. Suara AZ. Rouze dengan peneror Alpineverest itu sama. Nah, jadi orang yang meneror Stanley dengan ancaman bomnya itu adalah AZ. Rouze sendiri! Dari nada bicara dan bahasa Prancisnya akan menggiring dia masuk penjara!
“Mengapa AZ. Rouze terlibat dalam kasus ini? Mari kujelaskan. Menurut situsnya Rolland Marquine di internet, ayahnya menghilang dari Prancis dua bulan setelah istri dan anaknya meninggal. Theodore Marquine de Rouza kabur dari Prancis ke Amerika dengan cara yang ilegal dengan menggunakan nama AZ. Rouze, Teddy Marquine, da Jackquest Cardin. Dalam menghilangnya itu Theodore berencana melakukan balas dendam pada Quentyne. Wajar saja karena ketika meninggal Rolland sedang panas-panasnya bersaing dengan Quentyne. Bukankah di akan meyaingi Quentyne kalau ia tidak meninggal? Situsnya yang bicara seperti itu. Aksi maksud ingin balas dendamnya itu terbukti dari lukisan Napoleon karya Quentyne yang ditancapi panah dan ditulisi Si Pembuat Kehancuran.
“Dua bulan yang lalu, Theodore pergi ke tempat pameran lukisan Quentyne bersama Jarvis. Dari kedua bukti mencolok yang ditinggalkannya pada Napoleon membuatku berani menyimpulkan, Theodorekah yang melakukan pencurian Bonsoir di Rusia?
“Di tempat itulah AZ. Rouze alias Theodore bertemu dengan Zhenya yang mirip Zerelda Farrell. Olehnya Zhenya diajak ke Amerika untuk ikut melakukan teror pada keluargaku dan kita, meskipun kita tidak tahu mengapa mereka mencuri peralatan skiku, mencuri Jack, dan mengancam Alpineverest akan di bom. Untuk apa mereka ingin menghancurkan perasaan Dad?”
“Wow! Sepertinya kita orang pertama yang sudah berhasil melacak keberadaan Bonsoir, meskipun itu hanya dugaan,” kata Aimee.
“Ya, mudah-mudahan. Tapi kurasa kita bisa,” sambung Dawson.
“Kita lanjutkan saja. Mulutku sudah gatal ingin segera menuntaskan kasus ini,” kata Russell. Sebelum meneruskan ceritanya ia mereguk sekaleng cola dan menikmati sepotong kue coklat favoritnya.
“Aku masih membahas peristiwa di Alpineverest. Setelah Theodore berkata attendez un…adikku menghubungiku lewat ponsel pelaku. Jack bilang ia dan peralatan skiku disembunyikan di kota O. Pembicaraanku terputus setelah orang itu membekap mulut adikku. Sepertinya Jack akan bilang dimana dia disekap tetapi pelaku keburu mematikan ponselnya.
“Kita kembali ke bahasan tadi. Tadi aku menjelaskan bahwa Theodore membawa Zhenya ke Amerika. Dulu Zhenya pernah bilang ia dan kekasihnya tinggal di Oakland. Lalu pembeli Un Femme itu adalah seorang pengusaha hotel bernama Jackquest Cardin. Jadi disini kita bisa menarik sebuah kesimpulan. Kita harus ingat, Theodore kabur ke Amerika dengan menggunakan nama Jackquest Cardin, AZ. Rouze, dan Teddy Marquine Koch. Jadi mari kita akhiri kasus ini, Theodore Marquine de Rouza, orang yang menculik adikku tinggal di kota O yang bernama Oakland! Kota itu terletak di dekat San Fransisco, dekat jembatan Golden Gate!”
“Wow!” Mereka serempak beriri dan bertepuk tangan.
“Kau hebat, Ski! Semua penjelasanmu benar-benar hebat! Kapan kau berpikir sampai kesana?” tanya Justin.
“Entahlah. Atpi otakku membawa mulutku untuk bicara kesana,” jawabnya dengan senyum penuh kemenangan, disusul pelukan teman-temannya.
“Waktu kita tiggal 12 jam lagi. Kita harus berhasil menemukan adikmu,” kata Aimee. Russell mencium kening Aimee. “Tentu. Kita akan menemukan Jack. Keluargaku dan kalian akan selamat.”
“Tunggulah kedatangan kami, AZ. Rouze sialan!” umpat Dawson. Saking kesalnya ia menendang tong sampah di sudut ruangan sampai isinya berserakan di lantai.
“Sudahlah, Dawson. Kemarilah,” kata Felix.
Dawson ikut memeluk Russell dengan erat. Waktu itu Russell Stanley tampak gembira. Teman-temannya merasa lega. Pemain ski itu tidak menangis lagi.
“Wah, kau hebat sekali, Ski. Aku heran kenapa kau masih berpikiran tajam. Padahal sekarang kau begitu kacau,” kata Justin. Russell hanya tersenyum.
“Sekarang kita ke Oakland!” tegas Aimee.
“Ya!” sambut Justin antusias.
“Oke. Sekarang kita ambil barang-barang untuk penyamaran. Kita tidak akan menunjukkan identitas yang sebenarnya di hadapan orang itu. Kita harus membalas kemisteriusannya!” kata Russell. “Oh ya, Aimee. Cukupkah cadangan makanan kita untuk ke Oakland?”
“Kurasa tidak. Jangan khawatir. Aku akan menyiapkannya,” kata Aimee.
“Bagus.”
Russell memasukkan secarik kertas yang digunting dari majalah seni dan petikan wawancara ayahnya di majalah Ski, ke saku celananya.
Mereka bersiap-siap untuk memulai petualangannya lagi. Satu tas penuh peralatan rias dan pakaian, termasuk aneka makanan disimpannya di bagasi mobil mustang Rayner. Mereka meninggalkan markas kira-kira pukul 12.30 dengan rapi tanpa diketahui oleh orang rumah.
Siang itu mereka hendak menemui polisi sebelum bertindak ke Oakland untuk memberi tahu siapa pelakunya dan kemana mereka harus memburunya.
Di tengah perjalanan, orang tua Russell dan bibi Jersey menghubungi Russell. Mereka begitu mencemaskan Russell dan kawan-kawannya. Pak Tom berpesan agar mereka tinggal di kantor polisi sampai kasus ini selesai.
“Kau dan kawanmu dalam bahaya besar, Russell Ski. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada kalian,” kata ayahnya dengan cemas.
Russell tersenyum kecil. “Kami harus menuruti permainan mereka, Dad. Aku takut Jack dibunuh orang itu. Kami sudah sepakat dengan polisi. Kami mengikuti apa yang penjahat itu inginkan sedangkan polisi membantu dari belakang dan akan muncul jika waktunya sudah tepat. Dad jangan mengkhawatirkan aku. Kami bisa jaga diri. Aku janji akan kembali dengan selamat, tentunya dengan membawa serta Jack dan peralatan skiku pulang. Aku janji, Dad. Sekarang kau kalian dimana?”
“Aku masih di Aspen. Tapi Pak Johson McCraig menghubungiku. Dia memberitahukan Jack hilang dan menyuruhku untuk pulang. Keluarga kita, teman-temanmu, dan Alpineverest dalam bahaya besar. Aku akan tinggal di kantor polisi.”
“Dad…doakan kami, Ya?”
“Tentu saja, Nak. Pelukdan cium dari mommy untuk kalian…”
“Aku menyayangimu Dad, Mom…”
Russell mematikan ponselnya setelah mendengar ayahnya terisak. Ia bersandar di kurs kursi dengan pikiran melamun sampai tiba di kantor polisi.
















BAB 14
PESTA DANSA

“Saya mendapat kabar malam nanti Antonio Zacharias Rouze mengadakan pesta dansa di hotelnya. Pesta ini terbuka untuk orang-orang kaya dan orang-orang penting. Saya mendapat undangan pesta ini dari kenalan saya. Dia Nyonya Charleston, wanita kaya dari Palmdale. Saya mengenalnya saat dia minta tolong padaku untuk menyelesaikan kasus kebakaran di butiknya. SAya rasa ini akan berguna untuk kita,” kata detektif Louise setelah mendengar penjelasan Russell mengenai modus operandi kejahatan yang dilakukan Sir Rouze.
Snefflestyne Vierry Louise adalah agen FBI yang handal. Ia menikah dengan seorang mantan pemain ski nomor satu dunia, Stanley Raymond.
Louise memperlihatkan sepucuk surat undangan yang terikat pita merah pada Johnson McCraig. Kepala kepolisian itu membukannya dengan hati-hati. Undangan itu ditulisi dengan tulisan tinta emas yang sangat indah. Pasti biaya pembuatannya sangat mahal, pkirnya.
Surat itu digulung kembali dan diberikan pada anak-anak True Friends setelah ia selesai membacanya. “Anda tidak diundang pesta, Louise? Padahal suami anda orang kaya dan orang penting di Kalifornia.”
“Dia tidak mungkin mengundang kami. Kalau dia melakukannya, itu sama saja dengan mengantarkan dirinya untuk mendapat penginapan gratis di hotel prodeo. Tapi aku akan datang ke pesta itu dengan menumpang dalam keluarga Charleston,” jawab Louise.
Louise menyibak rambut pirangnya yang panjang. Jaket kerjanya dibuka sehingga ia hanya memakai kaos yang berkerah berdiri dan jeans coklat muda yang longgar. Tidak disadari olehnya Bob Rayner menatap detektif cantik itu dengan tak kedip-kedip.
“Ternyata AZ. Rouze seorang penantang yang hebat. Dia terlalu berani untuk seukuran seorang pelarian. Ternyata memang benar. Theodore masih hidup. Dia kabur dari Prancis sebagai imigran gelap,” kata Donald Dixon.
“Ya, memang,” komentar Louise. “Yuk, True Friends. Baea kostum kalian. Kita punya waktu yang cukup panjang untuk menyiapkan penyamaran dan pergi ke Oakland. Pukul empat nanti Nyonya Charleston akan menjemput kita kesini. Dia mau bekerja sama dengan kita.”
Keempat anak True Friends dan Felix masuk ke ruang kerja Johnson McCraig yang akan dijadikan mereka sebagai ruang rias. Mereka menyamar dengan merias wajah dan mengubah nama. Russell menyamar sebagai orang Rusia dengan nama Yuri Mikhail Neptunovski, Aimee menjadi orang Inggris dengan nama Jessica Clouney Watts, Justin menjadi orang Yunani dengan nama Aristotles Sincostan, Dawson menyamar sebagai Abraham Eddie Crowe, dan Felix sebagai pengawal Nyonya Charleston.
Setelah selesai berdandan selama dua jam mereka keluar. Semua polisi yang hadir di kantor itu menilai penampilan mereka.
Johnson McCraig bertepuk tangan, disusul rekan-rekannya. “Penyamaran yang luar biasa! Aku sampai tidak mengenali wujud asli kalian. Ini benar-benar kerja yang sempurna,” pujinya.
True Friends, Felix, dan Louise memakai pakaian pesta musim dingin yang indah. Russell yang menyamar sebagai orang Rusia memakai mantel hitam panjang yang dipadu dengan dasi kupu-kupu putih dan berpeci bulu khas Rusia.Dengan bantuan make up wajahnya tampak lebih dewasa. Sedangkan Aimee memakai gaun pesta yang penuh dengan bulu-bulu halus yang indah. Rambutnya yang pirang panjang disanggulkan sebagian dan ditutupi peci bulu yang serasi dnegan Russell.
Dawson, si anak keturunan Afrika berpakaian lain dari yang lain. Ia memakai kostum ala anak muda modern yang dipenuhi aksesoris punk dan wajahnya tampak galak. Sedangkan Justin hanya memakai setelan jas hitam dan memakai rambut palsu yang berpotongan ala The Beatles. Sementara Felix cukup berpenampilan seperti layaknya seorang pengawal yang berwajah sangar dan judes.
Louise, agen FBI yang mantan ratu kecantikan Amerika berpenampilan seperti wanita yang berselera tinggi. Tubuhnya yang semampai dibalut dengan gaun beludru biru dan syal bulu berwarna putih yang berjuntai dari leher sampai ke betis. Sepucuk pistol dikaitkan pada sabuk di balik gaun indahnya.
“Kalian ingat nama-nama samaran kami?” tanya Russell.
“Oh, tentu,” kata Donald Dixon. “Oh ya, Justin. Kenapa namamu Sincostan? Kau masih menyukai pelajaran matematika?”
“Ya. Seumur hidupku aku akan selalu menyyukainya. Sincostan adalah singkatan dari sinus, cosinus, dan tangen. Menurutku itu pelajaran matematika yang termudah dan menyenangkan. Lagipula Sincostan agak mirip dengan nama Yunani. Tidak terlalu aneh bila dipasangkan dengan nama Aristotles.”
“Itu menarik sekali, Justin,” puji Bob Rayner.
“Kami sudah menghubungi kepolisian Oakland. Mereka telah mengepung Hotel Paradise yang diduga sebagai tempat penyekapan Jack dari jarak 220 yard. FBI juga akan membantu. Mereka menunggu disana dan sebagiannya lagi menyisir lokasi Alpineverest untuk mencari keberadaan bom yang disimpan pelaku. Mudah-mudahan mereka berhasil,” kata Johnson McCraig, diamini oleh semua orang yang hadir disana.
Satu jam kemudian Nyonya Sarah Charleston tiba di kantor polisi. Wanita berusia enam puluh tahunan itu tersenyum ke arah detektif Louise dan True Friends. Ia tampak anggun dengan gaun putih yang dihiasi kristal swarovski. Wajahnya mungil dan tampak ramah.
Setelah basa-basi sebentar mereka masuk ke mobil Nyonya Charleston, sementara polisi yang menyamar dari belakang dengan menggunakan mobil pribadi.
“Louise, bagaimana dengan orang tuaku?” tanya Russell khawatir.
“Mereka akan aman bersama timku. Juga klub ski kita akan baik-baik saja. Kau harus percaya itu, sayang.”
“Ya Tuhan. Aku benar-benar akan menghadiri pesta yang mengerikan,” kata Nyonya Charleston dengan ketakutan. Berkali-kali ia menengok ke arah Louise. Wajahnya tampak memucat dna berkeringat dingin.
“Saya bisa menjamin anda akan baik-baik saja, Nyonya. Gaze dan Baldwin akan melindungi anda,” kata Louise. Ia tersenyum manis, lalu memegang bahunya dengan lembut. Setelah itu baru ia merasa agak tenang.
“Saya akan melakukan apa saja untuk anda dan True Friends. Dulu anda juga telah membantu saya menemukan pelaku pembakar butik saya.”
Pukul tujuh malam mereka tiba di Oakland, kota yang terletak di pinggir pantai Samudra Pasifik dan tak jauh dari Golden Gate Bridge. Mobil yang ditumpangi anak-anak True Friends berhenti di sebuah restoran mewah yang terletak satu mil dari hotel AZ. Rouze. Di tempat parkirnya telah berjejer mobil-mobil agen FBI yang sudah tidak asing lagi bagi Louise. Dari dalam restoran itu mereka keluar dan menyambut kedatangan rombongan Johnson McCraig. Sekelompok orang itu mempersilahkan True Friends masuk dulu ke restoran. Dengan semangat Russell menerima ajakannya. Ia dan kawan-kawannya memesan makanan Italia yang bercita rasa tinggi, sementara rombongannya mengobrol dengan orang-orang yang menyambutnya tadi.
“Mereka sungguh hebat, Louise. Mereka dapat menyelesaikan masalah ini dengan brilian. Padahal keselamatan mereka sendiri sedang terancam,” kata Robert Michael Darren, atasan Louise.
“Tentu saja, Sir. Malam ini mereka begitu bersemangat mencicipi makanan restoran ini. Dalam dua hari ini mereka telah berhasil memecahkan empat kasus yang rumit, meskipun diantaranya karena ketidaksengajaan.Pencurian peralatan ski dan adiknya Russell, mengungkap peneror Alpineverest, memecahkan misteri hilangnya Theodore Marquine de Rouza, dan mereka sudah mendapat titik terang dimana lukisan Bonsoir itu berada,” kata Louise.
“Selain mengadakan pesta dansa, AZ. Rouze juga mengadakan pelelangan empat puluh lukisan karya Rolland Marquine. Menurutku ini akan menjadi pesta yang sangat meriah. Jadi, untuk keselamatan tamu undangan lebih baik kita gunakan cara halus untuk menangkap pelaku dan membebaskan sandera,” kata Sir Robert.
“Kita tinggal bilang,‘FBI! Jangan bergerak! Lepaskan senjata kalian! Jangan ada yang menembak, atau kupecahkan kepala orang ini!” kata Russell sambil memperagakan apa yang dikatakannya. Ia meringkus Dawson dengan telunjuk menempel di pelipis temannya seolah dia sedang mengncam penjahat dengan pistol. Dawson meringis kesakitan. Russell mencengkeram tangannya terlalu kuat.
“Lepaskan tanganmu, Russell! Seharusnya kau melakukan ini pada Rouze, bukan padaku!”
Russell tersenyum. Lalu Dawson didorongnya ke kursinya. “Sorry,” katanya sambil menepuk-nepuk tangannya. Sir Robert tersenyum geli.
“Tapi serapi-rapinya rencana kita, tetap saja buntut-buntutnya akan kacau. Setiap orang akan kalang kabut apabila melihat polisi mengancam dengan pistol. Sebelum meringkus tersangka, alangkah baiknya kita membebaskan Jack terlebih dahulu. Ini semua demi keselamatan Jack dan supaya tidak terjadi saling mengancam,” kata Louise.
“Tentu saja, Louise,” kata Russell. “Terlebih dahulu aku akan mencari wanita Rusia yang ditangannya terdapat bekas gigitan kucing russian blue karena aku yakin Zhenya atau Gyordine Claire atau KM atau Nona Gesit tidak memperlihatkan wujud aslinya di pesta itu. Kalau sudah bertemu, aku bersumpah akan membongkar semua kejahatannya di hadapan para tamu supaya mereka tahu orang macam apa yang mengundangnya berpesta.”
“Terserah kau saja, Russell. Tindak saja wanita itu dengan cara yang paling kau sukai,” kata Bob Rayner.
Sir Robert melihat jam tangannya. “Oke. Sudah pukul delapan. Saatnya pesta dimulai. Kita harus secepatnya bertindak. Kita hanya punya waktu empat jam untuk membebaskan Jack dan meringkus komplotan AZ. Rouze.”
“Semoga saja adikku ada disana. Aku tidak bisa membayangkan jika dugaanku meleset,” kata Russell.
“Percayalah padaku, Russell. Adikmu ada di hotel itu,” kata Sir Robert.
Pada pukul delapan malam mereka meninggalkan restoran. Tetapi yang ikut hanya True Friends, Nyonya Charleston, Sir Robert, Johson McCraig, Louise, tiga orang polisi, dan tiga orang agen FBI. Sisanya ikut bergabung dengan polisi Oakland yang telah mengepung hotel. Aksi mereka begitu rapi dan menuruti instruksi pemimpinnya untuk tidak bertindak gegabah.
Malam ini salju tidak turun. Lalu lintas di depan hotel cukup padat. Hotel itu ramai oleh pengunjung tetapi tidak sampai terdengar ada keributan. Di depan Hotel Paradise mobil-mobil mewah diparkir. Dari dalamnya keluar pemiliknya yang berpakaian gemerlap. Rombongan True Friends pun bergabung dengan mereka dan sama-sama masuk ke hotel mewah itu.
Hotel milik ayah Rolland Marquine itu benar-benar mewah. Kabarnya enam tahun yang lalu Sir Rouze membeli hotel itu dari seorang jutawan Amerika. Menurut hasil penyelidikan polisi, sebelum membeli hotel itu AZ. Rouze alias Theodore menjual semua kekayaannya yang ada di Prancis dan setelah itu menghilang. Tidak ada seorangpun yang tahu ia menjadi warga Amerika Serikat dan memiliki hotel mewah di Oakland.
“Apakah nyonya memiliki undangan?” tanya seorang resepsionis wanita dengan ramah. Nyonya Charleston memperlihatkan undangan itu dari tas kecilnya.
“Ini keluarga anda, Nyonya?” tanyanya dengan mata tertuju ke arah Russell.
“Ya. Ini keluarga saya yang tinggal di luar negeri.”
Wanita itu tersenyum, sementara Russell terus memandanginya dengan sedikit gugup. Ia takut wanita itu mengenalinya.
“Kenapa kau memandangiku seperti itu?” tanya Russell dengan ketus. Resepsionis itu jadi serba salah. Ia tidak menyangka Russell pun memperhatikannya.
“Maafkan saya. Kalau boleh berpendapat, peci bulu anda bagus sekali. Anda terlihat seperti tentara Rusia.”
Russell nyengir nyinyir. “Itu urusanku! Aku Yuri Mikhail Neptunovski jutawan Moskow, bukan tentara Rusia!” Russell mrninggalkan wanita itu dan menyusul rombongannya yang sudah menghilang di balik pintu.
Di dalam hotel banyak tamu undangan dari berbagai daerah dan ada pula yang berasal dari luar negeri. Mereka tampak bereputasi baik dan terhormat. Para undangan duduk-duduk di kursi yang indah dengan anggun. Sebagiannya lagi berdiri sambil minum sampanye dan ngobrol-ngobrol di ballroom.
“Setelah kasus ini selesai aku harap kau mau memberiku contekan matematika karena aku sudah menepati janjiku untuk mengajakmu ke pesta dansa,” kata Russell.
“Baiklah, kalau kau mau jadi orang bodoh seumur hidup. Aku akan lebih senang jika kau memintaku untuk mengajarimu daripada meminta pekerjaanku. Aku tidak mau punya teman malas sepertimu,” kata Justin.
“Baiklah kalau begitu. Aku mau, asalkan nilainya tidak membuatku malu di hadapan publik,” kata Russell seraya menepuk pundak Justin.
Mereka keluar dari ruang dansa menuju taman yang membatasi bangunan depan dan bangunan belakang. Taman bunga itu sangat indah. Di tengah-tengahnya terdapat air mancur raksasa dengan kolam berair jernih dan patung wanita yang tengah duduk bersama seorang pria yang bertelanjang dada. Para tamu undangan banyak yang hadir di tempat itu dengan tak kalah banyaknya dengan yang ada di ruang dansa.
“Bagaimana, Justin? Apakah disini ada gadis yang kau sukai?” tanya Russell.
Justin menggeleng dengan mata tertuju ke arah wanita-wanita muda yang cantik dan berorang tua kaya raya. Terdengar olehnya mereka tengah emmbicarakan perhiasan, mode baju terbaru dari produk terkemuka, dan membicarakan pacar-pacarnya yang sekelas dengan mereka.
“Tidak. Disini tidak ada satupun gadis yang kusukai. KLurasa mereka lebih menyukai uang daripada otak.”
“Aku juga berpikiran sama seperti apa yang kau pikirkan di otakmu,” komentar Dawson.
Rombongan itu kembali hening. Mereka melnagkah ke sebuah meja yang terletak di tempat paling pojok.
Di meja itu mereka duduk-duduk dengan serius sambil minum sampanye. Russell melihat seorang pria setengah baya dan seorang wanita muda yang cantik keluar dari ruang dansa emnuju ke taman. Pria itu memakai setelan jas hitam kualitas terbaik. Sedangkan wanita yang mnyertainya memakai gaun ungu yang indah. Seuntai kalung berliontin berlian cat’s eye melingkar di lehernya yang jenjang. Seiring dengan keluarnya pasangan itu, para tamu undangan yang tengah berdiri kembali ke kursinya. Setelah itu tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulut mereka.
Pasangan itu berdiri di depan para tamu. Ia memberikan sambutan-sambutan kepada tamu terpentingnya dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran para undangannya.
“Terima kasih kepada Dokter Barker yang hadir pada acara ini. Saya rasa anda bisa datang karena anda mengundurkan jadwal operasi pasien-pasien anda,” kata pria berjas mahal itu yang sepertinya pemilik hotel.
Pria yang disebut Dokter Barker berdiri dan menghampirinya. “Ya, tentu saja kau benar, Sir Rouze. Rasanya malam ini aku lebih berhasrat untuk bersenang-senang bersama anda dan Nona Gyordine. Tentunya dengan istri saya juga, yang tercinta Morryse Barkeley. Pasien-pasienku hanya menginginkan dagu indah, bibir seksi, dan maaf, payudara yang montok,” kata Dokter Barker disusul tawa renyah para hadirin.
“Maaf, aku memang kurang ajar. Tapi aku selalu berkata jujur. Sir Rouze, kurasa sambutanmu harus diakhiri saja. Aku tidak sanggup menunggu lama. Anda lihat ini?” tanyanya sambil memperlihatkan sebotol wiski yang sudah kosong.
“Ya. Mataku masih bagus. Aku melihat kau sudah mulai mabuk, Dokter Barker.”
Russell nyengir nyinyir. Sungguh ia merasa sebal melihat tingkah dokter itu. “Kurasa dia bukan dokter yang baik. Dia bertingkah sangat memalukan. Dad selalu bilang, mabuk di depan publik adalah suatu hal yang sangat tidak terhormat. Apalagi kalau sampai meracau tak karuan seperti dokter itu. Sekarang aku butuh udara segar. Rasanya tubuhku gerah ada di antara orang seperti itu,” kata Russell sambil mengipasi badannya dengan selembar koran.
Kau memang menepati janjimu, Russell. Tapi sedikitpun aku tidak pernah menikmati pesta semacam ini,” kata Justin.
“Nikmati saja, Justin. Setidaknya kita bisa menggunakan kesempatan ini untuk cuci mata,” kata Russell.
“Cuci mata dengan melihat orang tua yang sok muda?” tanya Aimee dengan jengkel.
“Ya. Tapi setelah kuperhatikan kaulah yang paling cantik di antara remaja yang hadir di pesta ini. Kau jangan cemberut begitu, Aimee. Wajahmu jadi mirip rubah fenex Afrika daripada seorang gadis Inggris cantik yang bernama Aimee,” kata Russell. Aimee tersenyum manja dengan pipi memerah.
“Kau punya rencana bagus, Russell?” tanya Dawson.
“Tentu. Kalian tangan kirinya Gyordine Claire?” tanya Russell seraya menunjuk wanita itu dengan gerakan dagunya.
“Tangannya pakai perban!” seru Aimee.
“Masuk akal bukan, wanita itulah yang membawa Spears ke Pine House. Bagaimana menurutmu, Louise? Dia Zhenya, kan?”
“Tidak salah lagi. Meskipun aku belum pernah bertemu dengan orang itu tapi aku tahu seperti apa rupa adik suamiku,” jawab Zhenya dengan mata menyorot tajam ke arah wanita itu. “Kau, Aimee, dan Johson McCraig dekati orang itu. Berpura-puralah sebagai calon pembeli lukisan yang termahal.”
“Ide yang bagus,” puji mereka.
Tal selang lama mereka mendekati AZ. Rouze dan kekasihnya yang tengah duduk di meja paling depan. Dengan langkah yang berlenggak-lenggok genit Aimee menghampiri Sir Rouze dan mengusap pipinya dengan lembut. Lalu ia tersenyum manis seperti yang sedang merayu.
“Bolehkah saya duduk bersama anda, Sir?” tanya Aimee dengan tatapan nakal. Tubuh langsingnya melenggak-lenggok seolah ingin memperlihatkan pada orang itu betapa cantiknya dia.
Pria paruh baya itu tersenyum, lalu mempersilahkannya duduk bersama kedua pria yang menyusulnya. Sementara itu wanita cantik yang duduk di samping Sir Rouze tampak marah. Ia memandangi gadis yang ikut bergabung dengannya itu dengan pandanganyang tidak ramah. Aimee sadar Gyordine mencemburuinya. Ia sengaja bersikap seperti itu pada Sir rouze untuk sekadar pendekatan supaya ia dan kawannya dipersilahkan duduk bersamanya.
“Maafkan saya, Nona Gyordine. Saya tidak bermaksud menyakiti perasaan anda,” kata Aimee dengan senyum yang bagaikan magnet. Gyordine pun membalas senyumnya.
“Perkenalkan. Saya Jessica Clouney Watts, ini Yuri Mikhail Neptunovski, dan ini ayah saya McCraig,” kata Aimee.
“Senang bertemu dengan anda, Sir. Saya Yuri, tunangannya Jessica. Saya dari Moskow dan dia dari Inggris, datang kesini bersama ayahnya,” kata Russell seraya berjabat tangan dengan kedua orang itu. Ia bicara dengan menggunakan aksen Rusia untuk menyesuaikan dengan nama samarannya.
“Senang juga bertemu dnegan anda, Sir Yuri,” kata AZ. Rouze.
“Kami datang ke pesta ini bukan sekadar untuk berdansa dengan tamu-tamu wanita anda. Tapi saya ingin membawa pulang lukisan Rolland yang paling istimewa. Berapapun akan saya beli, Sir. Ketahuilah. Saya sangat menggilai putra…maksud saya Rolland Marquine. Saya salut pada anda yang bisa memiliki semua koleksi pribadi Rolland. Padahal semua koleksinya hilang bersamaan dengan hilangnya ayahnya,” pancing McCraig.
Sir Rouze tersenyum hambar. “Tidak semua, Sir. Hanya sebagian kecil. Saya membeli lukisan ini seminggu sebelum Rolland meninggal. Oh, lupakan saja masalah ini. Tadi anda bilang akan membeli yang paling istimewa, bukan begitu?”
“Ya. Tunjukkan padaku!”
“Baiklah. Anda bisa melihatnya sendiri di galeri. Lukisan Bounette d’Plateau yang dipajang di dalam kotak kaca itu yang paling istimewa. Tentu saja anda harus membayar mahal. Dulu saya membelinya seharga satu juta dolar.”
“Oh…Aku tahu lukisan itu. Kalau tidak salah itu lukisan seorang wanita. Bukankah Bounette d’Plateau koleksi Rolland yang sangat pribadi? Mengapa dia menjualnya pada anda?” tanya McCraig.
“Karena satu juta dolar adalah uang yangs angat besar. Untuk apa dia menyimpannya hanya untuk dijadikan koleksi? Ah, bodoh sekali kalau begitu.”
“Anda benar,” kata Russell. “Oh ya, Nona Gyordine. Saya melihat telapak tangan anda diperban. Kalau boleh tahu, kenapa itu bisa terjadi?”
Gyordine mendongak. Lalu diperlihatkannya luka itu padanya. “Aku…aku…kemarin aku…teriris,” jawabnya dengan gugup. Ia terus menatap mata Russell seolah ingin tahu seperti apa reaksinya setelah mendengar pengakuannya.
Russell tersenyum. Pikirannya kembali melayang ke dua hari yang lalu ketika adik dan peralatan skinya hilang. Di jendela kamarnya terdapat bercak darah dan seekor kucing russian blue yang kepalanya terluka. Ia pun teringat akan wanita bersepatu KM, Nona Gesit yang menabrak Jarvis di tempat parkir sekolah, dan Zhenya yang berkunjung ke rumahnya. Beberapa jam yang lalu ia menyimpulkan bahwa pencuri peralatan skinya adalah pacar ZA. Rouze alias Theodore yang mirip dengan Zerelda Farrell. Ia mempunyai dugaan tangan pencuri itu terluka karena gigitan kucing russian blue yang sebelumnya diduga disakiti orang itu. Dan kini wanita yang ada di hadapannya memang benar-benar sosok Zhenya yang sangat mirip dengan Zerelda Farrell…
“Hai!” tegur Aimee sambil menepuk pundaknya. Russell tersadar dari lamunannya.
“Maaf. Aku sangat lelah.”
“Perjalanan dari Moskow kesini memang sangat jauh, Yuri. Anda bisa melihatnya dalam atlas,” kata Gyordine.
“Aku sudah sering melihatnya. Ngomong-ngomong anda memotong apa waktu itu? Apakah wanita secantik dan seanggun anda suka memegang pisau?” selidiknya.
“Saya suka belajar memasak dari pelayan-pelayanku. Waktu aku memotong buncis telapak tanganku teriris.”
“Oh, itu bagus sekali, Nona Gyordine. Seorang wanita harus bisa memasak. Jessica pun sangat pandai memasak. Padahal dia putri tunggal seorang Duke,” kata Russell disusul senyum geli Aimee. Putri tunggal bangsawan? Ah, yang benar saja!
“Ah, yang benar saja, Gyordine. Masa iya telapak tangan anda teriris saat memotong buncis. Apakah anda terbiasa memotong buncis di atas telepak tangan? Itu sulit, Nona. Tepatnya…katakanlah itu tidak lazim,” komentar Aimee. Seketika air muka wanita itu berubah. Tetapi Aimee tidak peduli.
“Kecelakaan bisa terjadi dengan cara yang tidak lazim, Yang Mulia.”
“Kuhargai pendapatmu, Miss,” kata Aimee dengan angkuh. Ia jadi merasa seolah-olah bualan Russell yang menyebutnya putri tunggal Duke adalah nyata.
Russell menoleh ke arah kawannya dan Sir Robert yang duduk di meja yang hanya berjarak beberapa meter darinya. Ia mengedipkan matanya sebagai isyaratpenyelidikannya membuahkan hasil. Mereka tersenyum puas seraya mengacungkan ibu jarinya di bawah meja. Sir Rouze dan kekasihnya tidak menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya adalah Russell yang datang dengan menggandeng polisi dan FBI untuk menyelesaikan permainan mereka. Orang-orang itu pun tidak menyadari Russell membawa alat perekam suara dan orang yang duduk di meja lain mendengarkan pembicaraannya.



BAB 15


Russell, Aimee, dan Johnson McCraig beranjak dari tempat duduknya. Mereka berpamitan pada kedua orang itu setelah bernegosiasi masalah harga Bounette d’Plateau. Sir Rouze melepas lukisan itu seharga 1,3 juta dolar dan McCraig sepakat.
Mereka kembali berkumpul dengan teman-temannya. Tetapi tidak di meja itu. Mereka pindah ke meja pojok yang ditempatinya tadi supaya pembicaraannya tidak terdengar orang itu.
“Kau benar-benar akan membelinya, McCraig?” tanya Sir Robert.
McCraig tertawa. “Yang benar saja, Sir. Darimana aku punya uang sebesar itu?”
“Kau yakin pria yang bersama Zhenya itu Theodore Marquine de Rouza?” tanya Louise sangsi.
“Aku yakin. Wajahnya memang berubah total. Tapi dia tetap seorang Theodore Marquine de Rouza. Kau tahu tentang lukisan Bounette d’Plateau?” tanya Russell.
“Ya. Kurasa semua detektif yang menyelidiki kasus hilangnya ayahnya Rolland tahu tentang lukisan itu. Bounette d’Plateau adalah koleksi Rolland yang sangat pribadi dan itu termasuk lukisan yang hilang bersamaan dengan hilangnya Theodore Marquine de Rouza,” kata Louise.
“Lukisan itu dipamerkan disini, Louise. Mengapa dia memajangnya di depan umum?” tanya Aimee.
“Entahlah. Mungkin dia kira semua orang sudah melupakan kepergiannya. Lagipula tidak semua orang tahu bahwa lukisan itu adalah lukisan koleksi pribadi Rolland yang katakanlah agak bermasalah.”
“Apakah kau bisa memberi penjelasan yang tepat mengapa orang itu menerorku?”
“Tidak. Kecuali ada sesuatu yang tidak kita duga.”
“Misalnya?”
“Misalnya ada seseorang yang memanfaatkan AZ. Rouze untuk meneror keluarga kita supaya identitas orang itu tidak kita ketahui.”
“Setahumu, apakah keluarga kita ada yang kenal dengan mereka?”
“Entahlah. Mungkin Quentyne tahu. Quentyne dan Rolland adalah pelukis dari negara yang terletak di Eropa Selatan. Mereka sama-sama seniman besar. Besar kemungkinannya untuk bisa saling kenal. Bahkan ketika Rolland meninggal, persaingannya dengan Quentyne setengah memuncak. Tapi Quentyne bukan keluarga dekat kita. Rasanya kurang lazim jika mereka meneror keluarga kita karena adanya hubungan keluarga dengan Quentyne. Kurasa ada sesuatu yang sangat rahasia di balik kasus ini dan kita sama sekali tidak mengetahuinya. Bagaimana kau bisa yakin bahwa pria itu ayahnya Rolland?”
“Hanya ada satu alasan yang bisa kutebak. Ketika Rolland masih hidup, wajah Theodore tidak sebesar itu. Dulu ia mempunyai wajah yang tirus. Aku yakin setelah kabur dari Prancis ia melakukan operasi plastik dan kurasa dokter yang mengoperasinya adalah dokter Barker mabuk itu. Dia ahli bedah plastik Oakland, Randall Hudson Barker—tamu-tamu di pesta ini mengatakan namanya seperti itu. Dengan uang yang banyak bisa saja Theodore mampu membungkam orang itu agar tidak membuka jati dirinya. Tapi kalau kita membuka celana dalamnya penyamaran Theodore akan terbongkar. Dia bukan AZ. Rouze,” kata Russell.
“Mengapa bisa begitu?” tanya mereka bingung.
“Theodore Marquine de Rouza punya tato Monalisa di bokongnya. Katanya Rolland sendiri yang membuat tato itu. Aku tahu dari sebuah majalah. Itu memang menggelikan. Tapi bagi Theodore tato itu punya keistimewaan. Kalau dia memang sangat mencintai anak satu-satunya itu dia tidak akan menghapus tato itu. Lagipula tatonya dibuat permanen,” kata Russell.
Dari saku celana dikeluarkannya secarik kertas dan diperlihatkan pada mereka. “Ini gambar pantat orang itu. Aku mengguntingnya dari majalah sebelum kita berangkat kesini,” kata Russell.
Mereka memperhatikannya dengan seksama. “Wow! Sungguh fantastis! Theodore memang benar-benar berselera gila,” komentar Dawson.
“Ya. Sekarang pun dia sedang membuat sensasi yang lebih gila lagi. Tapi malam ini aku akan mengakhirinya,” kata Russell.
“Ini sungguh memalukan! Dia terlalu berlebihan dalam selera. Garis pantat orang itu membuatku mual,” kata Justin seraya mengembalikan gambar itu.
“Kau mau melakukannya untuk menarik wanita?” tanya Aimee.
“Maaf, bokongku bukan untuk santapan kamera!”
“Jadi apa tindakan kita sekarang?” tanya Dawson.
“Berpikir dan mencari tahu dimana adikku disembunyikan.”
Mereka terpaku dalam kebingungan. Hotel ini memiliki ratusan kamar tidur dan ratusan ruangan lainnya yang tidak mereka ketahui. Mengingat hal itu mereka mendesah dengan pesimis. Harus dimulai darimana mereka memeriksa ruangannya? Berapa lamakah waktu yang diperlukan untuk itu?
“Oh Jack, berilah aku petunjuk dimana kau sekarang! Kau tahu morse, kan? Kau tahu bahasa isyarat, kan? Ayolah Jack, keluarkanlah kemampuanmu! Aku tahu kau pasti ingin memberikan tanda padaku. Tapi mungkin kau dijaga ketat oleh orang-orang brengsek itu! Ingat tidak Jack, waktu kau terkurung di ruang bawah tanah kau memberiku sinyal dengan mematikan semua lampu di rumahku? Kau rupanya ingat bahwa sakelar rumahku ada di ruang bawah tanah. Kau memang cerdik!” gumamnya.
Tiba-tiba dari ruang dansa muncul seorang wanita bergaun biru muda yang menggendong seekor kucing besar yang warna bulunya sama dengan pakaiannya. Wanita itu melepaskan kucingnya di ats meja begitu dokter Barker menghampirinya. Agaknya ia mengajak wanita itu berdansa. Setelah basa-basi dan berciuman mereka berjalan ke tempat dimana Sir Rouze dan Gyordine berdansa dengan bergandengan tangan. Sangat mesra. Mereka tampak sangat akrab dengan Sir Rouze. Apalagi dengan Gyordine.
Russell menelan liurnya dengan susah payah. Kehadiran wanita itu di pesta ini dan keakrabannya dengan Sir Rouze seolah mengejutkannya seperti ada petir di siang bolong. Dengan perlahan tapi pasti ia mengepalkan tangannya dan memukulkannya di atas meja. “Ternyata memang dia!”
Melihat ulah Russell mereka terheran-heran. “Dia siapa, Russell?” tanya Aimee.
“Kalian ingat nama-nama vila yang ada di hutan Redwood?” tanya Russell.
“Ya. Seingatku ada enam buah vila. Pine House, Spruce, Decidus, Rosse-Marry, Kimberley, dan…” kata Aimee. Tetapi sebelum ia menyebutkan nama vila yang terakhir Russell memotongnya.
“Morryse Vila!”
“Vila milik astronom wanita yang akan menyabotase misi Jupiter Bright? Jarvis yang bilang kan, bahwa vila itu milik Morryse?” tanya Justin.
“Benar! Wanita itu bergentayangan di pesta ini dan begitu akrab dengan AZ. Rouze. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri!”
“Jadi?”
“Coba kalian lihat kucing russian blue yang duduk di meja itu,” kata Russell seraya menunjukkan tempat itu dengan gerakan dagunya.
Di atas meja urutan paling depan tampak seekor kucing berbulu biru duduk dengan manis. Ia tampak lucu dengan baju berwarna merah muda dan pita biru tua yang melingkar di lehernya. Tetapi itu tidak menarik perhatian. Mereka hanya tertarik dengan perban yang menempel di kepalanya.
“Bukankah itu Spears?” tanya mereka.
Russell mengangguk pasti. “Ya. Itu memang Spears, kucing yang dibawa Zhenya alias Gyordine tempo hari ke Pine House. Tadi aku melihat Spears digendong wanita itu,” kata Russell seraya menunjuk wanita yang tengah berdansa dengan dokter Barker.
“Morryse Barkeley? Orang yang keluar dari misi ayahmu?” tanya Louise.
“Tepat sekali!”
Mereka terhenyak di kursi masing-masing.
“Kehadirannya patut diperhitungkan,” komentar Sir Robert.
“Anda benar. Bagaimanapun juga dia bermusuhan dengan Sir Thomasevich,” kata McCraig.
Russell tersenyum penuh arti. Dari sakunya ia mengeluarkan potongan berita majalah Ski yang berisi petikan wawancara ayahnya yang ditemukannya di Crawley Valley. Anehnya berita itu ditandai seolah sebuah berita yang sangat penting.
“Bacalah ini sekali lagi.”
“Aku sangat bahagia. Permainan perdana putraku di tahun ini akan sangat menghiburku. Akhir-akhir ini aku sangat disibukkan oleh isu sabotase pada Jupiter Bright dan aku hampir frustasi. Dengan kembalinya Russell bermain ski, pikiranku akan jernih kembali. Satu ketakutan telah berlalu, tinggal menghadapi yang satunya lagi. Aku sangat menyayangi Russell, Jack, dan Stanley. Mereka putra-putraku yang hebat. Aku akan benar-benar hancur kalau mereka terenggut begitu saja dariku…”
“Aku tahu jawabannya mengapa berita ini ditandai dan seolah penting bagi mereka!” kata Russell. “Morryse Barkeley bersekongkol dengan mereka! Ini mungkin yang dimaksud Louise tadi. Ada orang yang memanfaatkan AZ. Rouze untuk meneror keluarga kita supaya identitas orang itu tidak kita ketahui. Melalui petikan wawancara ini Morryse tahu kelemahan Daddy. Inilah alasannya mengapa mereka mencuri peralatan ski, menculik Jack, dan mengacaukan keluargaku. Dengan kacaunya keluargaku, Dad akan hancur. Bacalah kaliamat terakhir dari petikan wawancara ini.’
“Morryse ingin Dad Frustasi. Kalau Dad frustasi, dia tidak akan fokus pada Jupiter Bright. Akibatnya misi itu akan diabaikannya. Itu adalah misi penting NASA yang sangat mahal. Cepat atau lambat NASA akan menggeser Dad dari kursi kepemimpinannya dan mengalihkannya pada orang lain yang punya andil besar. Selama ini Morryse dikenal publik dan NASA sebagai orang yang menjunjung tinggi misi itu walaupun ia memilih untuk keluar dan berperan di balik layar. Tapi di sisi lain, Dad tahu Morryse itu jahat. Sedangkan NASA dan publik tidak mengetahui tidak-tanduknya selama ini. Secara otomatis NASA akan menunjuknya karena memang Morryse adalah salah satu calon terkuat pemimpin misi selain Dad pada saat pemilihan dulu.’
“Dia berkomplot dengan orang yang sangat tepat. Rouze telah menunggu selama enam tahun untuk menemukan wanita yang mirip dengan Zerelda Farrell, dan celakanya wanita itu adalah Zhenya yang menjadi penggoyang keutuhan Fedorovski. Morryse telah memanfaatkan jasa dokter Barker yang menjadi suaminya mengoperasi Rouze untuk mengacau dengan cara bersembunyi dalam komplotannya. Selama ini Morryse memang punya laibi yang sangat kuat. Tapi siapa sangka, orang itulah nenek moyang dari dalang kekacauan ini. Potongan hasil wawancara ini yang memberiku ilham akan siapa biang keroknya. Morryse memboncengi AZ. Rouze untuk membuat alibi.’
“Secara sepintas juga agak janggal rasanya kalau Rouze yang menandai petikan wawancara itu karena dia tidak ada sangkut pautnya dengan Jupiter Bright. Lagipula kalau dipikir-pikir untuk apa mereka mencuri peralatan ski, menculik adikku, dan mengebom Alpineverest? Padahal selama ini aku tidak pernah mengenal mereka. Kalaupun ini kehendak Zhenya, itupun tidak mungkin. Zhenya tidak akan senekat itu kecuali kalau dia dipaksa oleh orang-orang itu. Zhenya sangat mirip dengan Zerelda Farrell dan musuh keluargaku. Dia bisa dimanfaatkan orang itu dengan sangat mudah.’
“Mungkin Morryse sengaja tidak secara langsung meneror Dad agar orang tidak curiga padanya. Dengan menggunakan orang lain mencuri peralatan ski dan menculik adikku akan membuat kasus ini seolah aku diteror oleh sainganku dalam kompetisi ski, dan tidak ada indikasi menghancurkan Dad.’
“Okelah, Theodore alias AZ. Rouze balas dendam pada Quentyne yang masih ada hubungan dengan keluargaku. Tapi aku dan Quentyne jauh. Jadi untuk apa mereka menerorku? Toh Quentyne tidak akan merasa diteror karena kasus ini mutlak mengarah ke keluargaku.”